wartawan singgalang

Senin, 09 Mei 2016

Ketika Aceh Singkil Melawan

Ketika Aceh Singkil Melawan

Namanya Rusli (35). Dia merupakan tokoh pemuda di Singkil. Sabtu (10/10/2015) dia menunjukkan sebuah broadcast tentang akan adanya aksi penertiban undung-undung (gereja kecil-red) yang semakin banyak bertumbuh di Aceh Singkil.

Usai menunjukkan sms itu, dia mendapatkan panggilan telepon dari seseorang. Sepertinya dia dimarahi oleh seseorang. Di akhir perbincangan, Rusli mengatakan: “Aku hanya memberikan informasi ini ke abang. Kalau bisa tolong dikoordinasikan dengan pihak lainnya di Banda Aceh. Agar aksi tidak meluas. Abang jangan alergi dengan agama sendiri. Warga bergerak, karena Pemerintah Singkil tak kunjung mengambil sikap,”

Usai berbicara dengan telepon, Rusli kembali bicara dengan penulis. “Masyarakat sudah siap bang untuk menertibkan undung-undung liar yang didirikan tanpa izin,”
***

Minggu (11/10/2015) sekitar pukul 09.00 WIB, di pinggir Sungai Singkil di Kawasan Suka Makmur, Kecamatan Singkil, beberapa lelaki berusia matang duduk sambil mengopi. Bahan perbincangan mereka adalah rencana aksi “jihad” untuk merubuhkan undung-undung yang menurut mereka semakin menjamur di Singkil.

“Jumlah mereka tidak banyak. Namun undung-undung semakin intens dibangun,” ujar salah seorang warga.

“Iya, saya pun sudah siap berangkat. Kalau kali ini kita lembek lagi, dipastikan anak cucu kita akan terancam akidahnya,” tambah lainnya.

Menurut hasil penelusuran penulis, setiap berjumpa dengan kumpulan masyarakat yang sedang duduk-duduk di warung maupun di bantaran sungai, pembicaraannya mengenai rencana penertiban gereja. Mereka mengaku sudah siap bergerak demi menjaga marwah Islam di tanah Syeikh Abdul Rauf As-Singkil (Syiah Kuala-red).
***

Pada Selasa (13/10/2015) massa muslim berkumpul di Suka Makmur Kecamatan Gunung Meriah. Ada yang menumpang truk bak terbuka sepeda motor dan tarnsportasi lainnya. Usai beraksi di daerah itu dengan membakar satu unit undung-undung, warga asli Singkil itu bergerak ke Simpang Kanan. Sekitar pukul 12.00 WIB, mereka tiba di Dangguran.

Di sana, pasukan TNI sudah melakukan pengamanan. Kepada warga, mereka meminta agar tidak membawa senjata apapun ketika masuk ke kawasan undung-undung. Warga patuh. Mereka kemudian bergerak dengan tangan kosong.

Rupanya, di sana, warga Dangguran beragama Kristen sudah menunggu dengan senjata tajam dan senpi rakitan.

“Posisi desa yang berada di atas bukit membuat kami tidak bisa membaca suasana. Apalagi kami tidak pernah ke sini,” ujar seorang warga yang ikut aksi.

Bentrokan tidak dapat dihindari. Saat itulah Syamsul, warga Buloh Seuma, Kecamatan Suro, terkena tembakan di bagian mata. Dia tumbang dan kemudian ditikam dengan pisau oleh beberapa massa dari pihak Kristen.

Efek dari pembakaran undung-undung di Gunung Meriah dan bentrok d Dangguran, membuat penganut agama Kristen di beberapa tempat di Singkil mulai ketakutan. Aalagi mereka mendapatkan kabar bahwa satu warga muslim ikut meninggal dunia.

Sejak hari kejadian bentrokan, umat Kristen secara berkelompok mulai mengungsi ke Sumatera Utara. Aksi eksodus tersebut semakin banyak dilakukan pada Rabu (14/10/2015) dan hari-hari sesudahnya.

Tercatat sekitar dua ribuan umat Kristen meninggalkan Singkil menuju titik-titik aman di wilayah Sumatera Utara. Tercatat 1.000 orang ditampung di Kabupaten Tapanuli Tengah dan 900 jiwa di Kabupaten Pakpak Bharat.
Melihat bentrokan tidak meluas ke daerah-daerah lain di Singkil, Pemerintah setempat, Kamis (16/10/2015) berinisiatif melakukan penjemputan terhadap warga yang eksodus. Pemerintah membentuk dua tim penjemput yang masing-masing dipimpin oleh Bupati Singkil, Safriadi dan Dulmusrid, Wabup Singkil.

Tim yang dipimpin oleh Bupati menjemput pengungsi di Mandua Mas, Tapanuli Tengah. Tim kedua menjemput pengungsi ke Sibagindar, Pak Pak Bharat.
Pada Jumat (17/10/2015) pengungsi mulai kembali ke Singkil.

Bukan Sengketa Keyakinan
Aksi yang terjadi pada 13 Oktober 2015, bukanlah kejadian tunggal. Namun merupakan rentetan dari beberapa kejadian, termasuk peristiwa 1978. Persoalannya pun sama, yaitu soal rumah ibadah yang tidak memiliki izin.

Ketua MPU Aceh Singkil, Kamis (15/10/2015) kepada awak media mengatakan pada saat itu dilakukan kesepakatan damai. Hal yang sama juga kembali terulang pada 2001, yang melahirkan kesepakatan bersama yang isinya menyetujui adanya satu rumah ibadah di Kuta Kerangan dan empat undung-undung (rumah ibadah dalam bentuk tertentu), masing-masing di Desa Keras, Tuhtuhan, Sukamakmur dan Desa Lae Gecih.

“Tidak ada kaitan dengan keyakinan. Ini memang persoalan izin rumah ibadah. Ini sudah saya sampaikan ke Kapolda dan Pangdam,” ujarnya.

Hasil penelusuran penulis, sejauh ini di Singkil belum pernah ditemukan sengketa keyakinan.

“Walau kami mayoritas di Singkil. Tapi tidak pernah mengganggu mereka dalam beribadah dan mencari ekonomi .Buktinya mereka tetap bisa bekerja sebagai buruh di berbagai Perkebunan swasta di Singkil. Bahkan mereka bebas membeli tanah dari masyarakat,” terang Chaniago. Salah seorang warga Singkil.

“Yang kami protes cuma persoalan semakin maraknya dibangun gereja-gereja kecil. Padahal jemaatnya sangat sedikit. Padahal kan bisa beribadat di rumah atau di gereja yang sudah ada,” ujar seorang warga yang minta namanya tidak dituliskan.

Banyak Sekte
Informasi yang berhasil dikumpulkan dari kalangan Kristen, lahirnya banyak undung-undung di Singkil, karena penganut agama tersebut memiliki banyak aliran (sekte).

“Kami berbeda dalam beribadah. Ini sesuai dengan daerah asal kami di Pak Pak Bharat, Sumatera Utara, yang umat Kristennya terpecah dalam berbagai paguyuban gereja,” ujar salah seorang penganut Kristen.

Terkait dengan adanya undung-undung illegal, menurut warga Kristen, hal ini karena sulitnya mengurus izin.

“Di satu sisi izin sulit sekali diurus. Padahal urusan bertemu Tuhan harus tetap dilaksanakan,” katanya.

SMS yang Diabaikan
Sejatinya bentrokan di Singkil bisa dicegah, andai saja pesan berantai yang dikirimkan beberapa hari sebelum kejadian, ditindaklanjuti oleh para pihak.

“Saya sudah menyampaikan informasi tersebut kepada para pihak di Banda Aceh pada Senin (12/10/2015) pada sebuah rapat kerukunan beragama di kantor Kontras Aceh. Saya tidak tahu apakah mereka menindaklanjuti atau tidak,” Ujar Hendra Saputra, Koordinator Kontras Aceh.

Cerita yang sama disampaikan Rusli, tokoh pemuda Singkil. “Bahkan orang Jakarta sudah menelpon saya mempertanyakan isu tersebut. Saya membenarkan bahwa aksi itu betul-betul akan dilaksanakan. Tapi akhirnya bentrok terjadi dan polisi sepertinya kurang sigap,” kata Rusli.

Informasi yang berhasil didapatkan dari sumber di kalangan Kristen, mereka juga membenarkan bahwa aksi bentrokan di Dangguran, karena masyarakat di sana sudah tahu akan ada aksi penertiban undung-undung.

“Mereka sudah tahu sebelumnya. Makanya mereka sudah siap. Mungkin yang di Dangguran, orangnya lebih berani mempertahankan sesuatu yang dianggap benar,” imbuh sumber itu. []

Penulis bernama Muhajir Juli, pegiat jurnalistik dan hak asasi manusia di Aceh. Email: muhajirjuli@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar