wartawan singgalang

Jumat, 06 Mei 2016

KH. Mahfudz Termas Sejajar dengan Ibnu Hajar al-Haitami

KH. Mahfudz Termas Sejajar dengan Ibnu Hajar al-Haitami

    Islam Nusantara sebagai varian dari interpretasi Islam yang menggabungkan nilai-nilai ajaran agama Islam dengan budaya lokal mendapat ruang lebih dan simpati masyarakat Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari kecenderungan umat Islam di Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Seperti kita ketahui bersama bahwa dalam sejarah penyebaran Islam oleh Wali Songo, jalan hikmah ditempuh demi mengurangi resistensi masyarakat yang saat itu masih sangat kental dengan budaya Hindu dan Budha.
    Pasca dibentuknya jaringan ulama nusantara di Makkah yang dipelopori oleh Syekh Yusuf al-Makasari pada abad ke-16 M, kemudian dikuatkan oleh Syekh Khatib al-Mingkabawi (Minangkabau) dan Syekh Khatib al-Sambasi (Sambas) menjadikan kiprah ulama nusantara semakin menjulang tinggi di bidang ilmu pengetahuan dan pemikiran Islam. Salah satu ulama yang berpengaruh di beberapa bidang disiplin pengetahuan Islam seperti, ilmu al-Qur’an, hadits, fiqih, dan ushul fiqih, yaitu KH. Mahfudz Termas atau Syekh Mahfudz Termas.
    Nama besar KH. Mahfudz Termas layak disejajarakan dengan Ibnu Hajar al-Haitami yang notebene anak ideologis dari Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari yang tidak lain Mujtahid Fatwa Madzhab Syafii. Pandangan di atas bukan tanpa berdasar pada rujukan ilmiah dan argumentasi logis, banyak rujukan-rujukan yang melarbelakangi, salah satunya adalah karya fenomenal beliau yang berjudul "Hasyiah al-Tirmisi al-Musammah al-Manhal al-Amim bi Hasyiah al-Manhaj al-Qawim wa Mauhibah dzi al-fadl ala Syarhil Allamah Ibni Hajar al-Haitami".
    KH. Mahfudz Termas yang mempunyai nama lengkap al-Imam al-Allamah al-faqih al-Ushuli al-Muhaddits al-Muqri Muhammad Mahfudz bin Abdullah bin Abd. Mannan al-Termasi al-Jawi al-Indonesi lahir di salah satu desa yang bernama Termas, Pacitan, Jawa Timur, Indonesia pada 12 J. Tsani 1285 H. Pada saat KH. Mahfudz Termas dilahirkan, beliau hanya dapat melihat sang bunda, karena ayahandanya, Syekh Abdullah tidak berada di sampingnya lantaran sedang berada di Makkah. Walaupun begitu, KH. Mahfudz Termas kecil tumbuh berkembang di bawah bimbingan ibu dan bibinya dalam lingkungan agamais. Berkat bimbingan sang ibu yang begitu peduli akan pendidikan anaknya tersebut tidak mengherankan jika dalam usia yang masih sangt belia, KH. Mahfudz Termas dengan mudah menghafal al-Qur’an. Tidak hanya itu, berkat ketekunannya dalam belajar, dalam masa yang relatif singkat, dasar-dasar ilmu agama ia pelajari dari beberapa guru sekitar tempat tinggalnya dapat dikuasainya dengan baik.
    Pada tahun 1291 H. KH. Mahfudz Termas pergi ke Makkah dan belajar beberapa disiplin ilmu pengetahuan kepada para masyayikh, namun hal itu tidak berlangsung lama, karena beberapa tahun kemudian beliau kembali lagi ke tanah Jawa dan berguru kepada KH. Shaleh Darat di Semarang. Menurut data sejarah, saat belajar ke KH. Shaleh Darat terebut, KH. Mahfudz Termas satu halaqah bersama salah seorang pahlawan nasional, yakni R.A Kartini dan beberapa tokoh lainnya.
    Setelah dirasa cukup belajar kepada KH. Shaleh Darat, KH. Mahfudz Termas kembali lagi ke Makkah. Di sinilah kemudian beliau memantapkan pengembaraan intelektualnya dengan berguru kepada beberapa ulama terkemuka, seperti Syekh Abu Bakar Syatha al-Dhimyathi. Dalam pandangan penulis, dari Syekh Abu Bakar Syata al-Dhimyathi inilah ideologi KH.  Mahfudz Termas dibentuk. Karena bila dilihat dari corak pemikiran beliau tentang fiqih, maka Syekh Abu Bakar Syata merupakan ulama fiqih syafii yang sangat disegani. Karya-karya besarnya banyak dikaji di beberapa pesantren dan perguruan tinggi Islam di Indonesia. Adapun karya yang dimaksud adalah I’anatut Thalibin Syarah Fathul Mu’in.
    Rupanya rasa dahaga KH. Mahfudz Termas akan ilmu pengetahun tidak hanya dalam wilayah fiqih saja. Dari sekian banyak karya-karya yang telah ditelurkan dalam bentuk kitab dan buku, kesemuanya bervariasi dan terdiri dari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Salah satu ilmu yang beliau tekuni adalah ilmu hadits. Hal itulah yang kemudian melatarbelakangi kesungguhan KH. Mahfudz Termas dalam menghimpun beberapa transmisi sanad.

    KH. Mahfudz Termas Sebagai Pioner Ilmu Sanad

    Penulis mengambil kesimpulan walau masih dalam konteks aksiomatis bahwa pioner ilmu transmisi sanad adalah KH. Mahfudz Termas. Alasan penulis berdasar pada penelitian pada salah satu karya yang secara khusus beliau tulis dalam mengurai transmisi sanad, yaitu “Kifayah al-Mustafidz lima Ala Min al-Asanid”. Karya KH. Mahfudz Termas tersebut kemudian dita’liq (diberi catatan) oleh Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, yang mana usaha dalam melestarikan ilmu sanad yang digagas oleh KH. Mahfudz Termas selanjutnya diteruskan oleh Syekh Yasin al-Fadani itu sendiri.
    Kesungguhan KH. Mahfudz Termas dalam mempelajari ilmu hadits ini dengan mempelajari prinsip-prinsipnya kepada beberapa guru-guru yang terkenal dan memang ekspert di dalamnya. Sebut saja semisal al-Muhaddits Sayyid Husein bin Muhammad al-Habsy dan Syakh Muhammad Said Babashil. Dalam hierarki ilmu al-Qur’an, disiplin ilmu Qiraah menjadi bagian yang sangat fundamental, mengingat ada beberapa macam bentuk bacaan berdasar varian yang juga berbeda.
    Di bidang ilmu Qiraah ini, KH. Mahfudz Termas belajar kepada Syekh Muhammad al-Syirbini, serta mendapat ijazah sanad dalam empat  belas macam qiraah yang ada dan masyhur di kalangan umat Islam. Dengan demikian, Berkat ketekunannya dalam belajar ilmu agama, kemudian nama besar KH. Mahfudz Termas muncul ke permukaan dan disegani oleh para ulama haramain dari berbagai madzhab. Tidak hanya itu, kepakaran beliau dalam beberapa disiplin ilmu pengetahuan, menjadikannya sebagai mutafannin, yaitu menguasai dan menjadi pakar di berbagai macam ilmu. Menurut pandangan penulis, setidaknya ada empat disiplin ilmu yang dikuasai oleh syekh mahfudz, yaitu Ushul Fiqih, Fiqih, Hadits dan Ilmu Qiraah.
    Keberhasilan KH Mahfudz Termas menjadi ulama besar yang disegani tidak lepas dari peran para guru yang membimbingnya di berbagai macam aspek. Bimbingan yang diterima dari sang guru tidak hanya dalam ranah intelektual saja, kecerdasan emosional, dan spritualnya pun menjadi bagian dari bimbingan yang setiap hari beliau terima di masa belajarnya. Di sini penulis ingin menguraikan secara singkat beberapa guru-guru KH. Mahfudz Termas yang penulis kutip dari karyanya yang berjudul “Kifayatul Mustafidz lima ala min al-Asanid”.
    Adapun guru-guru beliau adalah (1) Syekh Musthafa bin Muhammad bin Sulaiman al-Afifi. Dari beliau Syekh Mahfudz termas mempelajari kitab “Syarah al-Mahalli ala Jam’il Jawami” dan kitab “Mughni al-Labib an Kutub al-A’arib”. kemudian (2) Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha al-Dhimyathi. Kepada beliau inilah Syekh Mahfudz mempelajari kitab “Hasyiah al-Syarqawi ala al-Tahrir” dan “Hasyiah Syinwani”. Catatan dari penulis terkait kitab Hasyiah al-Syinwani di sini lebih ke ilmu gramatikal bahasa Arab, mengingat transmisi sanad dalam bidang gramatikal bahasa Arab, KH. Mahfudz Termas banyak meriwayatkannya dari jalur Syekh Abu Bakar al-Syinwani.
    Sebenarnya guru KH. Mahfudz Termas sangat banyak dan kalau dihitung berdasar periwayatan sanad keilmuan yang beliau tulis di dalam Kifayatul Mustafidz, maka jumlahnya mencapai ratusan orang, di antaranya adalah Syekh Umar Barakat, Syekh Muhammad al-Minsyawi, Sayyid Ahmad al-Zawawi, Syekh Muhammad al-Syirbini, Syekh Amin Ridwan al-Madani, dan lain sebagainya. Sedangkan guru KH. Mahfudz Termas yang lain dan berasal dari Indonesia adalah (1) Syekh Abdullah bin Abdul Mannan al-Tirmisi yang tidak lain ayah kandung beliau, dan (2) Syekh Shaleh Darat al-Samarani.
    Sebagai seorang ulama yang berasal dari Indonesia serta mumpuni di berbagai disiplin ilmu agama, nama besar KH. Mahfudz Termas kemudian didengar oleh para pemuda Islam yang saat itu memang ingin belajar agama ke Mekkah. Rupanya  angin segar ini tidak disia-siakan oleh santri di Indonesia untuk belajar kepada beliau. Tidak sedikit murid KH. Mahfudz yang nantinya menjadi tokoh di berbagai bidang. Bahkan kalau boleh dikata, transmisi sanad keilmuan organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama bermuara pada pada sosok KH. Mahfudz Termas ini. Di antara murid-murid beliau yang berasal dari Indonesia adalah (1) Syekh Arsyad al-Banjari, (2) Syekh Baqir bin Muhammad Nur al-Jogjawi, (3) Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari al-Jumbani, (4) Syaikh Ihsan al-Jampesi, (5) Syaikh Abd. Muhith bin Ya’qub al-Surbawi (Surabaya), (6) Syaikh Baidhawi al-Lasemi, (7) Syaikh Abd. Wahhab bin Hasbullah al-Jumbani, dan lain sebagainya.
    Aktivitas KH. Mahfudz Termas tidak hanya mengasuh dan membimbing para murid yang belajar kepadanya. Kemasyhuran beliau sebagai ulama yang produktif dalam melahirkan karya juga bukan kabar angin. Tidak sedikit karya-karya besar dan monumental lahir dari buah pikirannya yang hampir mencapai ratusan buah. Namun dalam tulisan ini, penulis hanya menulis karya yang sudah ditahqiq dan diterbitkan serta menjadi diktat di berbagai madrasah, pondok pesantren atau universitas-universitas Islam, baik di Indonesia atau di Negara-negara Islam lainnya. Di antara karya karya KH. Mahfudz termas adalah : (1) Is’af al-Mathali’ bi Syarhi al-Badri al-Lami’ Nadzmu Jam’I al-Jawami’, (2) al-Badru al-Munir fi Qira’ati al-Imam Ibni Katsir, (3) Bughyah al-Atqiya’ (4) Bughyah al-Adzkiya fi al-Bahtsi an Karaamah al-Auliya, (5) Mauhibah dzi al-fadhl Hasyiah Ala Syarhi Mukhtashar Bafadhal, dan lain sebagainya.

    KH. Mahfudz Termas Sebagai Neo Ibnu Hajar al-Haitami

    Sub judul di atas bukan langkah seorang marketing untuk menarik simpati dan minat pembaca sebanyak-banyaknya, walaupun memang harus diakui bahwa salah satu tujuan daripada tulisan adalah untuk dibaca. Alasan penulis memilih sub judul di atas adalah karena ada semacam keterkaitan batin antara KH. Mahfudz Termas dengan Ibnu Hajar al-Haitami. Keterkaitan tersebut hampir menyerupai keterikatan antara Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli walaupun mereka berdua hidup di tempat dan di waktu yang berbeda. Inilah salah satu alasan mengapa penulis memberikan nama pada sub judul di atas dengan KH. Mahfudz Termas merupakan neo Ibnu Hajar al-Haitami ala Islam Nusantara.
    Jika mengkaji beberapa karya KH. Mahfudz Termas yang mempunyai hubungan erat dengan Ibnu Hajar al-Haitami, maka yang karya yang tepat untuk dijadikan fokus utama adalah Mauhibah dzi al-fadhl Hasyiah Ala Syarhi Mukhtashar Bafadhal yang tidak lain Syarah yang diulas oleh Ibnu Hajar, lalu diulas lagi secara luas dan lebih detail oleh KH Mahfudz Termas, dalam konteks kenusantaraan. Masyarakat Indonesia yang dalam pandangan fiqih mengikuti madzhab Syafii, menjadikan semua rujukan masalah keagamaan bersandar pada Kutub al-Syafiiyah.
    Tidak semua kitab fiqih Syafii tersebut berhasil menjadi jawaban permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia. Artinya adalah paradigma fiqih yang ada pada saat itu masih dalam konteks Timur Tengah sentris, dan tidak mengglobal sampai pada Asia Tenggara, terlebih Indonesia. Berangkat dari fenomena tersebut KH. Mahfudz Termas mencoba memperluas lagi ulasan Ibnu hajar al-Haitami dalam konteks kenusantaraan dan keindonesiaan.
    Dalam pandangan penulis, kitab Mauhibah dzi al-fadhl Hasyiah Ala Syarhi Mukhtashar Bafadhal yang ditulis oleh KH. Mahfudz Termas merupakan salah satu ulasan tentang fiqih Imam Syafii yang paling detail, luas dan komprehensif. Dengan kata lain, nuansa fiqih di dalamnya tidak an sich terhadap teks-teks, namun disesuaikan dengan dinamika sosial yang ada pada masyarakat Indonesia. Hal ini juga diamini oleh sang pentahqiq, yaitu Dr. Muhammad Abdurrahman al-Ahdal dalam muqaddimahnya di kitab tersebut.
    Kitab setebal 6 jilid ini bukan hanya mengulas berbagai macam problematia umat  berdasar ruang lingkup fiqih, namun juga mengulas beberapa term yang dianggap penting dan itu dibutuhkan dalam  mengurai istilah kontemporer dalam konteks kebahasaan. Dengan merujuk kepada beberapa kamus besar seperti Muktar al-Shihhah karya Syekh Muhammad bin Abu Bakar Abdul Qadir al-Razi, Tahdzib al-Lughah karya Syekh Abu Mansur Muhammad bin Ahmad al-Azhari, dan al-Qamus al-Muhith karya Syekh Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzzabadi, menjadkan kitab Hasyiah Tirmisi ini kaya akan defenisi Istilah, sehingga pembahasannya pun tidak keluar dari konteks yang telah digariskan pada awal bab dari masing-masing bab.
    Yang menarik pada kitab ini adalah kemampuan KH. Mahfudz Termas dalam mengambil istinbat secara kontekstual dari berbagai pendapat para ulama sebelumnya setelah melakukan uji pendapat dan perbandingan di antara pendapat para mujtahid fatwa semisal IbnuHajar al-Haitami yang dlama hal ini lebih kontekstual daripada Imam Syihabuddin al-Ramli yang dalam banyak pandangannya selalu tekstual dan terkesan kaku. Tidak hanya itu, kemampuan KH. Mahfudz Termas dalam mengurai hadits dalam konteks fiqih dan kemudian mengambil istinbat dari pendapat ulama yang rajih, menjadikan kitab ini sehaluan dalam konteks dinamika sosial dan jauh dari kesan kaku dan konservatif pada nash.
    Dengan demikian, tidak salah kiranya jika dalam konteks dinamika fiqih, Syekh Mahfudz Termas dianggap sebagai Neo Ibnu Hajar al-Haitami dalam konteks Islam Nusantara. Anggapan berdasar pada setiap pengamalan syariah berdiri dan konsisten atas dua metode yaitu tekstual dan kontekstual. Kontekstualisasi atas teks yang ada pada al-Qur’an, al-Hadits atau bahkan al-Ijma’ adalah keniscayaan, hal itu sesuai dengan kaidah ushul fiqih yang menyatakan: al-Hukmu Yaduuru ma’al Illah Wujuudan wa ‘Adaman”, artinya adalah suatu hukum berlaku dan diterapkan berdasar pada illah/Causa yang ada. Inilah kemudian yang melatar-belakangi KH. Mahfudz Termas untuk melakukan aktualisasi atas nilai-nilai Islam yang Shalihun Fi Kulli Makan Wa Zaman.
    Berbicara fiqih, berkaitan erat dengan dinamika sosial suatu masyarakat pada bangsa dan Negara manapun. Nilai-nilai luhur Islam yang ajarannya menembus ruang dan waktu menjadikannya selalu relevan dalam setiap problematika yang ada, baik pada masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Syekh Mahfudz Termas salah seorang ulama Nusanntara yang secara khusus membahas problematika sosial kenusaantaraan menawarkan fiqih yang dinamis yang tidak melabrak budaya. karyanya “Mauhibah dzi al-fadhl Hasyiah Ala Syarhi Mukhtashar Bafadhal” adalah bukti kongkret betapa beliau di samping seorang ulama yang kaya akan khazanah keilmuan juga mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi sehingga dengan demikian beliau mendapat julukan Ibnu Hajar al-Haitami fi Zamanihi. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar