wartawan singgalang

Minggu, 28 Agustus 2016

Gus Dur dalam Bingkai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah

Gus Dur dalam Bingkai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
Oleh : Ahmad Damanhuri

    Sumatera Barat atau Minangkabau memiliki falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Artinya, adat atau tradisi yang berlangsung di tengah masyarakat selalu bersendi kepada syarak atau agama (Islam). Dan agama Islam itu sendiri jelas bersendi ke Kitabullah, yakni al-Quran. Falsafah ini lahir adalah perpaduan antara pemangku agama dengan pemangku adat.
    KH. Abdurrahman Wahid yang paling populer dengan sebutan Gus Dur menilai, bahwa ABS-SBK di Minangkabau sangat cocok sebenarnya dengan ajaran Ahlussunah wal jamaah yang dikembangkan di Nahdlatul Ulama (NU). “ABS-SBK itu, ya Aswaja,” kata dia saat menghadiri acara Basafa di komplek makam Syekh Burhanuddin, Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat pada tahun 2008 silam.
    Falsafah ini muncul pertama kali ketika peristiwa Sumpah Satie Bukik Marapalam di dengungkan tahun 1837. Peristiwa ini terjadi seusai Perang Paderi. Rusli Amran dalam Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang menyebutkan, sumpah ini lahir dari win-win solution demi mempertautkan kembali Minangkabau yang terbelah akibat Perang Paderi.
    Setelah sumpah ini digemakan, kaum adat dan kaum syarak atau agama pun saling berangkulan dan melupakan konflik di antara mereka yang berlangsung lebih dari 30 tahun. Hasil dari Sumpah Satie Bukik Marapalam itu dituangkan dalam filsafat adat berbunyi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah". Syarak mangato-Adat mamakai. Adat yang buruk dibuang, adat yang baik dipakai. Syara dengan adat bagaikan aur dan tebiang, yang saling sandar manyandar kaduanya.
    Maksudnya, adat Minangkabau itu didasarkan pada agama Islam, dan agama berdasarkan kitabullah atau Alquran. Agama memberikan fatwa, adat melaksanakannya. Adat yang baik adalah sesuai dengan norma-norma Islam, harus dipertahankan. Sementara adat yang buruk, yang bertentangan dengan Islam, harus dibuang. Antara syarak (agama) dan adat tidak dipertentangkan sebagai filosofi pandangan hidup orang Minangkabau.
    Seperti kita ketahui, setiap bulan Syafar ada acara Basafa namanya di komplek makan Syekh Burhanuddin. Dan selama sebulan itu, kegiatan Basafa dilakukan dua kali. Orang Syattariyah yang menjadi peserta Basafa menyebutnya dengan; Safa Ketek dan Safa Gadang. Gus Dur hadir saat puncaknya Basafa, yakni Safa Gadang. Tak tanggung-tanggung. Ribuan umat Islam dari berbagai belahan daerah di Sumatrera Barat hadir saat itu.
    Kunjungan Gus Dur ke makan penyebar Islam di Minangkabau melalui Tareqat Syattariyah saat itu merupakan kunjungan kedua kalinya, setelah sebelumnya Presiden RI ketiga itu berkunjung ke Sumbar pada 2002, saat melantik pengurus DPW PKB Sumbar. Sebenar, pengakuan Gus Dur saat itu dia sudah lama ingin ziarah ke makam Syekh Burhanuddin itu. Namun, karena berbagai hal dan kesibukan yang amat padat, baru tahun 2008 itu dia bisa hadir untuk ziarah. Dan momennya sangat pas pula, saat umat Islam Syattariyah sedang berkumpul bersama di makam orang yang sangat mereka hormati.
    Dihadapan banyak orang, termasuk waktu itu Ali Mukhni yang kala itu menjabat Wakil Bupati Padang Pariaman ikut melihat dan mendengarkan langsung apa yang disampaikan Gus Dur, tentang konsep ABS-SBK dan Aswaja yang menjadi landasan bagi NU dalam mengembangkan nilai-nilai di tengah masyarakat.
    Kenapa falsafah demikian yang menjadi kekuatan kultur masyarakat Minangkabau? Bila kita telusuri lebih dalam lagi, memang benar adanya bahwa secara kultur masyarakat Sumbar itu penganut faham Aswaja. Kiai di Jawa, sama halnya dengan Tuanku di Minangkabau. Kedua gelar itu dimiliki oleh orang-orang pesantren. Mereka dapat tempat dan sangat dihormati di tengah komunitasnya sendiri.
    Tradisi yang dibawa Syekh Burhanuddin dulunya, adalah tradisi yang saat ini terus dikembangkan oleh para Tuanku hasil lulusan pesantren. Mereka para Tuanku yang pada umumnya mendirikan lembaga pendidikan pesantren, yang istilah Minangkabau-nya adalah surau setelah mereka tamat di suatu persantren. Dan pesantren ala surau itu lumayan berkembang dengan dinamikanya di tengah masyarakat.
    Surau itulah tempat memperdalam ABS-SBK dan ajaran Islam Aswaja. Hanya saja lembaga NU yang kurang dapat tempat di daerah ini. Sumbar telah dicap oleh orang Jawa sebagai gudangnya Muhammadiyah. Padahal, organisasi yang berdiri pada tahun 1912 di Yogyakarta itu hanya berkembang di bagian perkotaan saja. Untuk masyarakat perkampungan atau di nagari-nagari, yang paling dominan itu adalah penganut paham Aswaja.
    Dan itu sangat kuat hingga saat ini. Dari dulu sampai sekarang, yang namanya tradisi mengajikan orang meninggal sampai 100 hari masih begitu kuat di tengah masyarakat Sumatera Barat. Begitu juga Shalat Tarawih 23 rakaat juga masih banyak dan dominan, dan tradisi lainnya yang berhubungan dengan agama Islam itu sendiri.
    Kehadiran Gus Dur saat itu mendapat tempat di hati masyarakat. Orang yang sebelumnya memang Gus Dur hanya dari berita-berita media massa, akhirnya percaya kalau Gus Dur betul-betul seorang ulama besar dan hebat. Gus Dur mengaku, Syeh Burhanuddin, Ulakan (1646 – 1704) adalah ulama besar yang sangat dihormatinya.
    Ulama ini telah diterbitkan dalam tulisan Arab Melayu oleh Syehk Harun At-Tobohi al Faryamani (1930) dengah judul Riwayat Syehk Burhanuddin dan Imam Maulana Abdul Manaf al Amin dalam Mubalighul Islam. Buku ini menerangkan dengan jelas mengenai diri Pono, yang kemudian bergelar Syehk Burhanuddin. Diceritakan dengan jelas kehidupan keluarga, masa mengenal Islam dengan Tuanku Madinah kemudian berlayar ke Aceh untuk menimba ilmu kepada Syehk Abdurrauf al Singkli.
    Syehk Burhanuddin adalah salah seorang murid Syehk Abdur Rauf al-Singkli yang dikenal juga dengan panggilan Syehk Kuala. Sekembali dari Aceh, Syehk Burhanuddin membawa ajaran Tarikat Syattariyah ke Ulakan pada bagian kedua abad ke-17. Dari Ulakan ajaran tarikat menyebar melalui jalur perdagangan di Minangkabau terus ke Kapeh-kapeh dan Pamansiangan, kemudian ke Koto Laweh, Koto Tuo, dan ke Ampek Angkek.
    Di sebelah barat Koto Tuo berdiri surau-surau tarikat yang banyak menghasilkan ulama. Daerah ini dikenal dengan nama Ampek Angkek, berasal dari nama empat orang guru yang teruji kemasyhurannya. Murid-murid yang belajar di surau Syattariah terbuka untuk mempelajari seluruh rangkaian pengetahuan Islam. Salah satu buku yang dipelajari Syehk Burhanuddin dan murid-muridnya adalah karya Abdurrauf yang memperlihatkan penghargaan yang tertinggi terhadap “syariat”. Beberapa surau Syattariyah mempelajari cabang ilmu agama, sehingga terjadi spesialisasi pengajaran agama Islam di Minangkabau. Masing-masing surau itu memperdalam salah satu cabang ilmu agama, seperti: Surau Kamang dalam ilmu alat (nahu sharaf dan tata bahasa Arab), Koto Gadang dalam mantik ma’ani, Koto Tuo dalam ilmu tafsir Quran, tarbiyah dan hadith), Surau Sumanik dalam ilmu faraidh (pewarisan) hadits; Surau di Talang dalam badi’, maani dan bayan (tata bahasa Arab).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar