wartawan singgalang

Minggu, 28 April 2013

Ibu-ibu Tangguh yang Tidak Senang Hanya Menerima

Ibu-ibu Tangguh yang Tidak Senang Hanya Menerima

Sicincin---Siang kemarin cuaca hari sedikit agak manenggang. Panas tidak terlalu trik, sehingga amak-amak dan uniang-uniang yang menjual talua asin merasa senang sendiri. Ada sejumlah kaum perempuan tangguh dan gigih yang setiap hari menggantungkan hidupnya di pelataran parkir Masjid Jami' Muhammadiyah, Sicincin. Mereka menjual makanan. Yang paling terkenal; talua asin.
    "Talua asin, talua, sala lauak, cubadak, pisang abuih," kira-kira begitu sejumlah ibuk-ibuk itu bersuara ketika melihat ada mobil pribadi yang berhenti di masjid tersebut. Mereka menghabiskan harinya disitu, demi untuk kehidupan rumah tangganya yang lebih layak lagi. Bagi mereka tak kenal hujan dan panas. Yang penting tiap hari harus menjual dagangannya.
    Bagi mereka, ketika ada mobil berhenti, agaknya anugrah tersendiri. Apalagi kalau pemilik dan penumpang mobil sempat pula membeli talua asin. "Kalau sebuah talau Rp3.500. Tapi kalau bali tigo, bisa Rp10 ribu. Iko punyo urang pulo nan awak juakan mah nak. Lumayan juga. Kadang lai banyak habisnya," kata Janimar.
    Uniang Janimar, begitu dia sering disapa banyak orang, merupakan salah seorang pedagang talua asin yang terbilang sudah lama mangkal di Sicincin, Kecamatan 2x11 Enam Lingkung, Padang Pariaman tersebut. Dengan cara itu pula dia membantu suaminya mencarikan kemasukan buat rumah tangga. Bagi dia, tidak ada istilah capek dalam berusaha. "Yang penting halal. Sering juga pergi jauh, bahkan sampai ke Padang, ketika naik pada salah bus angkutan umum," ujar dia.
    Tak heran, Uniang dengan lima orang putra-putri ini sangat akrap pula dengan sejumlah sopir, karena acapkali naik mobilnya. "Kalau ongkosnya tidak boleh membayar oleh sopirnya. Kita seolah-olah langganan saja. Ya, adalah sekedar basa-basi untuk sang sopir. Kadang lai nyo ambiak, kandang dia tidak suka. Mungkin lagi kenyang perutnya barangkali," cerita uniang berkisah.
    Uniang menjual talau asin itu hanya mendapatkan persentase dari induk semangnya. Pagi-pagi dia datangi rumah induk semangnya di Pauah Sicincin. Tak jauh dari rumahnya. Dia angkut dagangan itu. Kadang dia mangkal di SPBU. Diterminal Sicincin ada pula. "Yang paling sering di masjid ini. Sebab, disamping kita mangurehkan hidup, bisa sekalian menjalankan ibadah dengan shalat berjamaah setiap waktunya," ungkap dia.
    Baginya, jadi perempuan tidak boleh hanya menunggu pitih dari suami. "Membangun rumah tangga itu, ya berdua. Alhamdulillah, dengan ikut berjualan ini, semua anak-anak sekolah. Bahkan, seorang anak sedang kuliah pula. RA Kartini mengajarkan kepada kita kaum perempuan tentang emansipasi wanita. Artinya, ada persamaan hak, antara laki-laki dan perempuan. Kita juga boleh berusaha seperti yang dilakukan suami, asalkan tidak menyia-nyiakan keluarga," ucap Uniang lagi.
    Memang nasib Uniang ini lagi dibawah. Selama itu dia berjualan talua asin, bahkan berbilang tahun, masih tetap menjadi anak buah orang. "Ndak ado modal untuk buka surang. Ini saja sanggup sudah syukur. Namun, kita tetap berharap, suatu ketika nanti usaha ini bisa gadang, dan mampu pula mempekerjakan banyak orang," mimpinya. (damanhuri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar