wartawan singgalang

Selasa, 04 Oktober 2016

Jejak Ajaran Wahdatul Wujud

Tidak semua ajaran agama Islam itu bisa disebarkan dan diamalkan oleh penganutnya secara umum. Hal itu karena ketinggian tingkat kesulitan pemahaman dalam ilmu tersebut. sehingga dikhawatirkan kesalah pahaman dalam memahami ajaran agama tersebut. lebih parahnya lagi bisa menimbulkan kekafiran dan kesyirikan dalam ilmu tersebut. Para pemimpin pada waktu itu pun mengambil tindakan tegas yaitu hukuman mati bagi penganut ajaran tersebut.

Contohnya saja ajaran Manunggaling Kawula gusti atau dalam istilah ibnu Arabi yaitu Wahdatul Wujud membawa konsekuensi bagi pengamalnya pada zaman dan tempatnya masing-masing. Pada abad ke-10 misalnya, seorang sufi asal   Persia bernama al-Hallaj harus menerima hukuman mati karena terang-terangan mengaku diri sebagai pengamal ajaran kesatuan hamba dengan Tuhan. Sedangkan pada abad ke-16, seorang wali dari tanah Jawa bernama Syaih Siti Jenar mengalami nasib serupa atas pengakuannya.
Akan tetapi, sang penggagas wahdatul wujud, Ibnu Arabi tidak pernah mengalami nasib seperti mereka berdua. Lantaran beliau mampu menyembunyikan keyakinannya dihadapan khalayak. Ia lebih suka menuangkan keyakinannya ini dalam bentuk karya tulis.  (hal.7). sehingga dia terlepas dari jeratan hukuman dari sang penguasa pada zaman itu.
Sekitar 4 abad setelah wafatnya Ibnu Arabi, muncullah seorang sufi dari India bernama Ibnu Fadhillah yang meneruskan ajaran wahdatul wujud dalam bentuk karya tulis, yakni Tuhfah al-Mursalah. Kitab ini berisi tentang martabat tujuh, sebuah konsep sufistik yang dapat mengantarkan manusia menjadi insan kamil. (hal.16)
Kitab ini bukan saja menjadi rujukan tapi juga menjadi pangkal perdebatan para ulama di tanah Melayu terkait pemahaman atau penafsiran isi kitab tersebut. yaitu pertentangan antara kaum sufi ortodoks yang diwakili oleh Syekh ar-Ranniri dan kaum sufi heterodoks yang diwakili Hamzah Fanshuri.
Perdebatan ini pun disampaikan pada ulama Timur Tengah, Al-Kurani. Untuk meredam perdebatan tersebut beliau pun menyusun Ithaf adz-Dzakiy. Kitab ini bertujuan untuk memperjelas dan menjauhkan ulama Melayu dari kesalahan dalam memahami kitab Tuhfah al-Mursalah. (hal.20)
Sementara di Jawa, menurut hasil penelitian A.H. Johns diketahui bahwa Serat Tuhfah berbahasa Jawa diketemukan dalam bentuk Sekar Macapat di Tegal. Serat ini ditulis pada tahun 1680, sekitar 20 tahun setelah wafatnya Nuruddin ar-Ranniri. Selain serat tersebut tidak dijumpai lagi tulisan sejenis yang berisi martabat tujuh atau sangkan paraning dumadi. Sampai 140 tahun kemudian, tepatnya tahun 1814-1823, ditulislah Serat Chentini yang didalamnya terdapat penjabaran tentang martabat tujuh. (hal.24-25)
Serat Chentini yang ketebalannya mencapai 4.200 halaman folio ini memuat hampir semua ilmu pengetahuan termasuk tasawuf. Serat ini laksana ensiklopedi tentang kejawaan. Yang menarik, dalam serat ini terdapat dua kali penjabaran tentang martabat tujuh, dan keduanya memiliki versi yang berbeda, yakni pada Serat Chentini jilid I dan III.
Versi pertama, isinya sama dengan yang termaktub di dalam Tuhfah al-Mursalah, dan Syarah Tuhfah Melayu. Maka bisa diasumsikan bahwa ajaran martabat tujuh dalam serat Chentini jilid I bersumber dari Serat Tuhfah Tegal. Sedang dalam jilid III, meskipun tidak disebut sebagai martabat tujuh tapi namanya sama dengan martabat tujuh, sedang perinciannya atau pembahasanya berbeda dengan kitan Tuhfah. (hal.27)
Dari sini terlihat sebuah kenyataan menarik bahwa di Jawa telah ada dua pemahaman martabat tujuh sebagai jalan menuju kesempurnaan yang berbeda. Pemahaman pertama bersumber dari para sufi Melayu yang bermuara pada ajaran Ibnu Arabi, sedang pemahaman kedua bertumpu pada kitab Daqa’iqul Haqa’aq dan Daqa’iqul Akhbar yang dipoles dengan mistis kejawen.
Perbedaan mendasar antara ajaran manunggaling kawula Gusti dan wahdatul wujud. Pada prinsipnya, kedua ajaran tersebut sama, namun berbeda dalam penerapan yang didasar latar belakangan budaya dan kondisi daerah, tempat kedua ajaran tersebut berkembang (hal. 128).
Dalam buku ini juga kita akan melihat sejarah perkembangan agama islam di jawa, kita bisa mengetahui bahwa ajaran wahdatul wujud berkembang pada masa Demak. Sedangkan ajaran manunggaling kawula gusti berkembang pada masa pajang dan Mataram. Selamat membaca....
____________________
Judul    : Bersatu (Manunggaling Kawula Gusti)
Penulis    :Agus Wahyudi
Penerbit    : Diva Press
Cetakan    : Pertama, Januari 2014
Tebal        : 168 halaman
ISBN        : 978-602-255-395-3  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar