Kekurangan Modal Ditengah Larisnya Batubata
Lima Pulu Kota---Pagi
itu cuaca masih mendung. Maklum, saat ini lagi musim hujan. Tapi,
Iswardi Engku Nan Biru tetap bersemangat sekali melakukan aktivitasnya,
membakar batubata yang telah siap disusun rapi dalam tungku untuk
dibakar. Membuat batubata alias tembok, adalah profesi yang telah lama
digeluti bapat empat orang putra-putri ini.
Dia menggarap
tanahnya sendiri untuk dijadikan bahan pembuat rumah itu di Jorong
Belubus, Nagari Sungai Talang, Lima Puluh Kota. Tungkunya cukup besar.
Untuk satu kali masak mencapai 20 ribu batubata. Tapi waktu membakarnya
selama sepekan, karena dibakar pakai sekam. Tidak dengan kayu. Kini,
Iswardi menjual batubatanya seharga Rp700 sampai ditujuan untuk Kota
Payakumbuh dan Lima Puluh Kota.
Batubata buatan Iswardi cukup
terkenal. Belakangan, banyak batubatanya sampai ke Pariaman. Pasalnya,
daerah itu setelah dihoyak gampo 2009 lalu, saat ini banyak
masyarakatnya membangun. Dengan serentaknya pembangunan yang dilakukan
masyarakat, sehingga batubata dalam daerah tak sanggup memenuhi
permintaan pasar. Iswardi juga dapat berkah tersendiri dari musibah itu,
sehingga batubatanya banyak dibeli oleh rang Piaman.
Dulu,
Iswardi sempat punya sejumlah karyawan lantaran tingginya permintaan
batubata. Namun, belakangan karyawannya tinggal satu orang, yang setiap
harinya membuat batubata dari tanah yang telah dilunakkan oleh kerbau
milik Iswardi. Sebab, batubata yang dibuatnya masih menggunakan pola
tradisional atau manual. Setiap yang sudah dicetak dipajang dulu untuk
dijemur barang seminggu atau lebih. "Melihat cuaca. Kalau musim panas,
batubata itu cepat keringnya sehingga bisa cepat pula dibakar. Tapi saat
musim hujan saat ini, lama juga menjemurnya," kata Iswardi pada
Singgalang Minggu pekan lalu.
Untuk mendapatkan sekam, Iswardi
cukup kewalahan juga. Bahkan, sampai mencari sekam jauh keluar daerah,
seperti Solok, Pariaman dan daerah lainnya. Sementara, karyawan yang
membuat batubata dia beri upah sesuai berapa banyaknya batubata yang
diselesaikan. Untuk satu unit batubata dinilai Rp90 upahnya.
Dengan batubata itulah Iswardi mampu mengayuh biduk kehidupannya. Semua
anaknya mampu menyelesaikan pendidikannya sampai SMA. Bahkan, dua bulan
belakangan, anak bungsunya baru saja diwisuda di UNP Padang. "Hanya
dengan tanah inilah anak-anak dibiayai semua. Mereka disilahkan
mengembangkan ilmunya sampai kemana saja, sesuai dengan kemampuan
kitalah selaku orangtuanya," ujarnya.
Iswardi merasa kesulitan
untuk menambah modal usahanya. "Seperti untuk mengantarkan batubata
ketempat konsumen, kita masih menyewa mobil orang lain. Begitu juga
untuk mencari sekam. Agaknya, agar usaha ini bisa berkembang lebih besar
lagi, butuh bapak angkat. Soal permintaan batubata, lihat sajalah.
Tidak ada batubata yang siap dibakar yang parkir lama-lama. Baru saja
masak dari tunggu, pembeli telah menunggu. Ada yang untuk pribadinya dan
ada pula pedagang yang membeli," kata Iswardi. (damanhuri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar