Labai Berdiri di Halaman Syarak dan Tepian Adat
Padang
Pariaman---Di Padang Pariaman labai adalah urang siak. Tak heran setiap
surau di daerah ini punya seorang labai yang diangkat oleh kaum atau
masyarakat korong terkait. Tergantung surau milik siapa. Kalau surau
milik kaum, labainya terdiri dari yang patut dari suku bersangkutan.
Tapi kalau suraunya sistim korong, labai diambilkan dari yang patut
menurut masyarakat dalam korong itu. Sebab, di Padang Pariaman surau ada
yang kepunyaan kaum dan ada juga yang kepunyaan korong. Semisal di VII
Koto Sungai Sariak, itu surau kepunyaan suku. Setiap suku punya surau
masing-masingnya. Dengan ini, setiap suku itu tentu punya seorang labai
pula.
Labai menurut ketentuannya, adalah insan yang berdiri di
halaman syarak (agama) dan tepian adat. Artinya, setiap seseorang yang
diangkat menjadi labai, setidak-tidaknya dia harus sedikit banyaknya
paham soal agama dan adat yang berlaku di nagarinya. Mengangkat
seseorang jadi labai, itu juga berbeda pula cara dan tradisinya setiap
kampung di Padang Pariaman.
Di Kecamatan VII Koto Sungai Sariak
lama (Padang Sago, Patamuan dan VII Koto), itu proses pelantikan
seseorang jadi labai memakan waktu cukup panjang. Bila telah disepakati
yang bersangkutan untuk jadi labai, itu dilakukan prosesinya di
suraunya. Ratik petang Kamis dinamakan. Yakni, Setiap Kamis malam para
urang siak selingkaran kampung itu ikut melakukan ratik petang Kamis
selama sebulan.
Sehabis itu, yang akan jadi labai diangkut ke
Ulakan, makam Syekh Burhanuddin oleh labai yang tua dalam nagari. Di
Ulakan itu dia melakukan shalat, yang dinamakan dengan shalat 'Buraha',
yakni shalat yang pahalanya dihadiahkan ke Syekh Burhanuddin. Ini
disebut sebagai tawasul dalam beragama, karena yang bersangkutan akan
menjalankan titah agama dan adat yang dibawa oleh Syekh Burhanuddin
dulunya.
Lain pula caranya di Nagari Ulakan. Di sini surau milik
korong. Dalam satu korong ada tiga sampai lima unit surau, tergantung
luas dan banyaknya penduduk dalam korong yang ada di Ulakan. Di Korong
Padang Toboh misalnya, ada empat surau. Surau Rimbo Aka terletak di
Dusun Rimbo Aka, Surau Kampuang Paneh terletak di Dusun Kampuang Paneh,
Surau Kariang dan Surau Rambai terletak di Dusun Kampuang Tangah. Dari
empat surau yang ada di Padang Toboh ini, hanya tiga surau yang pakai
labai. Sedangkan Surau Rambai tak pakai labai, karena surau kecil itu
dianggap sebagai pengembangan dari Surau Kariang.
Labai ada yang
minta berhenti dari jabatannya, dan ada pula yang diberhentikan oleh
masyarakat korong. Tentu tergantung dinamika yang terjadi di tengah
masyarakat bersangkutan. Meskipun dia berhenti atau diberhentikan, orang
banyak atau yang lebih tua dari dia tetap saja memanggilnya dengan
sebutan mak labai, ajo labai, pak labai, inyiak labai dan lain
sebagainya. Labai, sama juga dengan pemimpin lainnya di tengah
masyarakat. Dia juga nyaris 24 jam bekerja secara sukarela. Tidak ada
gaji tetap dari masyarakat, atau insentif dari pemerintah daerah.
Kerja yang nyaris 24 jam demikian, ada yang bersifat kewajiban bagi
dirinya selaku urang siak di tengah masyarakat, dan ada pula yang fardlu
kifayah. Yakni, suatu kewajiban berdosa orang sekampungnya, bila tidak
dilakukan. Semisal menyelenggarakan jenazah. Nah, disinilah peran dan
tugas penting yang diemban oleh insan yang namanya labai. Bila ada
anggota keluarga yang meninggal, mencari labai yang pandai mencuci dan
menyelenggarakan mayat ini sudah mulai dirasakan sulitnya.
Usman
Labai, satu dari ratusan labai yang ada di Padang Pariaman yang dinilai
jauh melangkah kedepan. Disamping jadi labai yang dia jalani sejak
berusia 14 tahun hingga sekarang di nagarinya; Parit Malintang,
Kecamatan Enam Lingkung, dia juga seorang pejabat di lingkungan Pemkab
daerah itu. Sekarang Usman Labai dipercaya sebagai Kepala Dinas Kelautan
dan Perikanan (DKP) Padang Pariaman oleh induk semangnya, Bupati Ali
Mukhni. Dia tahu persis bagaimana parasaian dan beratnya beban yang
diemban oleh seorang labai dalam masyarakat.
"Labai dengan tuanku
memang sama-sama urang siak atau ulama. Namun, labai inggok basicakam,
tagak basitumpu. Punya kekuatan yang lebih sedikit dari tuanku dalam
kampunya. Labai orang dipilih oleh masyarakat dari sekian banyak anggota
masyarakat yang patut dan mungkin. Sedangkan tuanku orang yang tamat
dalam sebuah perguruan surau atau pesantren, yang kalau tuanku tiba di
kampungnya dia akan sama dengan tokoh masyarakat biasa," kata Usman
Labai.
Usman Labai ingin ikut memberikan kontribusi positif
terhadap komunitas labai ini di Padang Pariaman. Untuk itulah, dia
mencoba melangkah kedepan, masuk dalam pusaran politik yang akan di
mainkan pada masa Pilkada tahun ini atau tahun depan. Kalau jadi, dan
berhasil nantinya, mungkin inilah baru sejarahnya labai bisa jadi Bupati
di Padang Pariaman sejak daerah itu ada. "Selama ini, baik labai maupun
tuanku belum ada yang memegang tampuk kekuasaan. Kalau jadi anggota
dewan, sudah banyak tuanku yang jadi. Bahkan, saling berganti setiap
lima tahunnya dari partai yang berbeda pula," ujarnya.
"Kita
tahu, H. Iskandar Tuanku Mudo, ulama dan pimpinan Pondok Pesantren
Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan pernah jadi anggota DPRD Padang Pariaman
dari Golkar. H. Muhammad Zen, tokoh ulama dari NU naik lewat PPP,
Darwinis Jen Tuanku Sutan, tokoh Perti dari PPP, Zulhelmi Tuanku Sidi
dari PKB. Tentu para labai dan tuanku punya hak yang sama dengan
masyarakat lainnya dalam soal politik, baik di eksekutif maupun di
legislatif," ungkapnya. (damanhuri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar