PNS yang Bekerja Sepenuh Hati
Anis Hayati Bebaskan 11 Orang Gila dari Pasungan
Sungai
Limau--Bekerja sepenuh waktu (full time) mungkin sudah merupakan hal
biasa. Bahkan, tak sedikit orang yang seakan lupa waktu karena keasyikan
bekerja. Namun, mengabdi sepenuh hati (full heart), mungkin tak banyak
yang melakukannya. Apalagi bekerja dengan ketulusan cinta!
Anis
Hayati Sarjana Keperawatan (SKep) barangkali merupakan satu dari sedikit
pegawai negeri sipil (PNS) yang mengabdi sepenuh hati dan dengan
ketulusan cinta. Setidaknya begitulah kesan yang diperoleh sewaktu
mendapat informasi tentang perawat yang satu ini.
Menurut pemberi
informasi, Anis Hayati telah berhasil memfasilitasi pengobatan 20 orang
gila atau penderita gangguan kejiwaan di Kecamatan Sungai Limau,
Kabupaten Padang Pariaman, dalam tahun 2014 lalu, 11 di antaranya
dipasung oleh keluarganya atau oleh masyarakat. Para penderita pun
berangsur pulih dan menjalani kehidupan normal. Ketika dihubungi via
telepon selulernya, diketahui ternyata Anis Hayati merupakan figur
perawat yang tidak muda lagi. Perempuan kelahiran 28 Desember 1958
ini sudah mengabdikan diri sebagai perawat dengan status PNS sejak Maret
1982, hampir 33 tahun. Namun, semangatnya terkesan masih sangat belia!
Perempuan yang bertugas di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Sungai
Limau ini mengaku melakukan hal itu karena dorongan hati nurani.
"Mereka juga manusia, sama seperti kita. Jadi, selayaknyalah kita
membantu mereka untuk sembuh. Alhamdulillah, Tuhan menunjukkan jalan dan
memberi kekuatan kepada kami," ujarnya.
Anis mengaku, untuk
melepaskan penderita dari pasungan bukanlah urusan mudah. Umumnya
keluarga dan masyarakat menyatakan sikap menentang, bahkan dengan
sengaja menyembunyikan tempat penderita mereka pasung. Mereka beralasan
jika orang gila dilepaskan dari pasungan bisa mengganggu keamanan dan
ketentraman.
"Namun, saya tak menyerah. Insya Allah, dengan
izin-Nya, saya terus berupaya melakukan pendekatan kekeluargaan. Langkah
awal saya melepaskan penderita dari pasungan, kemudian berusaha
memandikannya. Keluarga dan masyarakat hanya melihat dari kejauhan
karena alasan takut. Padahal, kondisi fisik penderita sudah sangat
lemah," papar Anis.
Ternyata sentuhan dengan hati yang dia
lakukan segera membuahkan hasil. Pasien menunjukkan respons, bahkan ada
yang meminta sandal. Langkah selanjutnya, Anis mengirim pasien ke Rumah
Sakit Jiwa (RSJ) HB Saanin di Padang dengan surat pengantar rujukan dari
Pimpinan Puskesmas Sungai Limau.
Ditanya dari mana sumber biaya
untuk mengirim pasien ke RSJ seperti pembeli bahan bakar minyak (BBM)
mobil Puskesmas dan biaya perawatan pasien, Anis menjelaskan, ia
menggunakan dana pribadi. Selain itu, ia juga mengetuk pintu hati
rekan-rekan kerja di Puskesmas dan mereka urun-rembug sesuai kemampuan
masing-masing.
"Biaya perawatan kan ditanggung Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Saya hanya mengeluarkan
dana untuk mengurus kartu BPJS atas nama pasien yang hendak dikirim ke
RSJ," kata Anis pula sembari menambahkan, penggantian dana resmi yang ia
terima selama 2014 hanya Rp350 ribu.
Setelah menjalani perawatan
sekian lama di RSJ, lanjut Anis, pasien-pasien yang dia kirim dulu ia
jemput dan ia kembalikan kepada keluarga masing-masing. Meski demikian,
ia tetap melakukan pengawasan dan memberikan obat secara berkelanjutan.
Sebab, setelah keluar dari RSJ pasien tidak langsung sembuh total.
Selain 11 penderita gangguan kejiwaan yang dia lepaskan dari pasungan,
masih ada sembilan penderita lainnya di Sungai Limau yang ditangani
Anis. Ke-9 penderita itu memang tidak dipasung tetapi berkeliaran di
tengah masyarakat. Data kesemua pasien itu masih ia simpan dengan
lengkap tetapi tidak etis dipublikasikan.
Menjawab pertanyaan
wartawan, Anis menyatakan kesediaan jika ditugaskan Bupati Padang
Pariaman melalui Dinas Kesehatan untuk melakukan rehabilitasi kesehatan
jiwa penderita di kecamatan lainnya. "Insya Allah, saya siap jika
ditugaskan," katanya lagi.
Selama hampir 33 tahun jadi PNS, Anis
Hayati telah bertugas ke berbagai pelosok di Kabupaten Padang Pariaman,
termasuk ke hampir semua desa di Kepulauan Mentawai. Bahkan, pascagempa
dan tsunami melanda Mentawai, Oktober 2010, Anis Hayati pun ditugaskan
ke daerah itu selama dua minggu, bahkan tanpa diberi bekal biaya oleh
instansi yang mengirim.
"Saya menerima penugasan dengan senang
hati dan tulus. Sebelum berangkat, saya siapkan bekal makanan seperti
rendang, beras dan alat memasak. Sebab, terbayang oleh saya kondisi di
sana akan sangat sulit. Lagipula, saya tidak ingin mengosumsi makanan
yang disediakan relawan asing yang belum tentu halal," cetus Anis
Hayati. (damanhuri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar