KH Saleh Darat yang Penulis Politik
KH Muhammad Shalih bin Umar as-Samarani, terkenal dan akrab dengan
nama KH Saleh Darat, adalah ulama terkemuka di peralihan abad 20 yang
menjadi guru para ulama Jawa terkemuka generasi berikutnya. Selain itu,
ia juga dikenal sebagai penulis prolifik kitab-kitab keagamaan beraksara
Arab dalam Bahasa Jawa. Kiai Saleh Darat adalah putera Kiai Umar, yang
seperti Kiai Maja, merupakan pejuang dan penasehat keagamaan Pangeran
Diponegoro dalam Perang Jawa.
Ia dilahirkan di Kedung Jumbleng,
Mayong, Jepara sekitar tahun 1820. Pelajaran agamanya yang awal
diperolehnya dari ayahnya sendiri, dan dilanjutkan berguru kepada
beberapa ulama, antara lain: KH Muhammad Syahid (Kajen, Pati), KH Raden
Muhammad Shalih bin Asnawi (Kudus), Kiai Ishak Damaran (Semarang), Kiai
Abu Abdillah Muhammad al-Hadi bin Baquni (Semarang), Ahmad Bafaqih
Ba`alwi (Semarang), dan Syekh Abdul Ghani Bima (Semarang).
Ketika Diponegoro ditangkap dan perlawanannya dihancurkan oleh
Belanda, Kiai Umar beserta anak lelakinya Saleh, melarikan diri ke
Singapura dan kemudian ke Makkah. Selanjutnya di kota suci ini Saleh
mempelajari Islam hingga bertahun-tahun. Teman seangkatannya adalah
Syeikh Nawawi Banten dan Syaikhuna Cholil Bangkalan.
Dalam kitab Al-Mursyid al-Wajiz yang ditulisnya, tersebut nama-nama
gurunya ketika belajar di Mekkah antara lain: Syekh Muhammad al-Maqri
al-Mashri al-Makki, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah, Sayid Ahmad
bin Zaini Dahlan, Syekh Ahmad al-Nahrawi al-Mishri al-Makki, Sayid
Muhammad Shalih az-Zawawi al-Makki, Syekh Zaid, Syekh Umar al-Syami,
Syekh Yusuf as-Sanbalawi al-Mashri, dan Syekh Jamal.
Sekembali dari Makkah, Kiai Saleh diambil menantu oleh Kiai Murtadha,
salah seorang kiai terkemuka zaman itu, dan kemudian membuka sebuah
pesantren di Kampung Mlayu Darat, Semarang. Dari sinilah asal nama
‘Darat’ yang disematkan kepadanya.
Santri-santrinya yang berjumlah ratusan datang baik dari Semarang
sendiri maupun daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur lainnya
seperti Kendal, Pekalongan, Demak, Rembang, Salatiga, Yogyakarta, Tremas
dan lainnya.
Beberapa santrinya menjadi tokoh dan ulama terkemuka di paro pertama
abad 20 seperti KH Hasyim Asy`ari (Tebuireng Jombang, pendiri NU), KH
Ahmad Dahlan (Yogyakarta, pendiri Muhammadiyah), KH Mahfuzh (Tremas),
KHR Dahlan (Tremas), Kiai Amir (Pekalongan), Kiai Idris (Surakarta), KH
Abdul Hamid (Kendal), Kiai Khalil (Rembang), Kiai Penghulu Tafsir Anom
(Kraton Surakarta). Tak berlebihan jika beliau disebut sebagai ‘guru
ulama Jawa.’
Kitab-kitab yang ditulis oleh Kiai Saleh semuanya menggunakan Bahasa
Jawa pesisiran atau istilah di dalam kitabnya ditulis al-Lughah
al-Jawiyyah al-Merikiyyah (Bahasa Jawa Setempat), dan sebagian besar
merupakan karya saduran dan terjemahan atau khulashah (ringkasan) dari
suatu kitab.
Seperti ditulis di bagian akhir dalam salah satu kitabnya, Majmu’ah
asy-Syari’ah al-Kafiyatu lil ‘Awam, ‘…kerono arah supoyo pahamo
wong-wong amsal ingsun awam kang ora ngerti boso Arab muga-muga dadi
manfaat bisa ngelakoni kabeh kang sinebut ing njeroni iki tarjamah…,”
kitab-kitab yang ditulis Kiai Saleh jelas ditujukan untuk kalangan yang
tidak mengerti Bahasa Arab.
Kiai Saleh menerjemah, menyadur dan meringkas kitab-kitab besar
seperti Ihya ‘Ulumuddin karya al-Ghazali atau Matan al-Hikam karya Ahmad
bin `Athaillah al-Iskandari untuk disajikan ke pembelajar awam dan
tidak mengerti bahasa Arab tersebut. Saduran dan ringkasan yang dibuat
Kiai Saleh sangat padat, ringkas, dan mengena. Tidak aneh kalau hingga
sekarang pun sebagian dari kitab-kitabnya masih dicetak oleh Karya Toha
Putera, Semarang, dan itu artinya masih terus dibaca dan dipelajari,
terutama di daerah Jawa Tengah pesisiran.
Dalam kitab-kitabnya, namanya ditulis secara resmi sebagai “As-Syaikh
Haji Muhammad Saleh bin Umar As-Samarani.” Sebagai penghormatan,
mendahului namanya juga diterakan sebutan “As-Syaikh al-‘Alim
al-‘Allamah wal Bahrul Fahhamah (Sang Guru Besar yang Alim, Teramat Alim
dan Memiliki Lautan Pengetahuan).”
Di dalam kitab-kitabnya, Kiai Saleh dengan terbuka dan kerendahan
hati senantiasa menyebut bahwa ia hanya menghimpun, meringkas, dan
menerjemah suatu kitab jika memang demikian adanya: “…metik saking Ihya
‘Ulumuddin Al-Ghazali (diambil dari Ihya ‘Ulumuddin Al-Ghazali),”
demikian ia tulis disampul kitabnya Kitab Munjiyat.
Tercatat ada duabelas kitab yang dinisbatkan dengan nama Kiai Saleh,
yaitu: Majmu`atusy Syari`at al-Kafiyah li al-`Awam (Himpunan hukum
syariat bagi orang awam), Kitab Munjiyat (Kitab Ilmu Jiwa dipetik dari
Ihya’ `Ulum ad-Din), Matan al-Hikam (Kitab Hikmah diambil dari karya
Ahmad bin `Athaillah al-Iskandari).
Kemudian Latha’ifuth Thaharah wa Asrar ash-Shalah (Rahasia dan
hakikat salat dan puasa), keutamaan bulan Muharram termasuk `Asyura,
keutamaan bulan Rajab dan keutamaan bulan Sya`ban; Manâsik al-Hajji wa
al-‘Umrah (Tata Cara Haji dan Umrah); Kitab Pasolatan (Kitab tentang
Shalat).
Sabilul Abid `ala Jauharatit Tauhid (Kitab Tauhid [ketuhanan] yang
merupakan terjemahan dari kitab tauhid karya Ibrahim Laqqani);
Al-Mursyid al-Wajiz (kitab tentang Al-Qur’an); Haditsul Mi`raj (kitab
mengenai Isra Mi’raj); Kitab al-Mahabbah wa al-Mawaddah fi Tarjamah Qaul
al-Burdah fi al-Mahabbah wa al-Madh ‘ala Sayyid al-Mursalin (Syarah
atas kitab Maulid al-Burdah karya Muhammad bin Sa`id al-Bushiri
[1212-1296 H.]; Faidh ar-Rahmân fi Tarjamah Tafsir Kalam al-Malik
al-Dayyan (Tafsir Quran); dan Minhaj al-Atqiya’ fi Syarh Hidayat
al-Adzkiya’ ila Thariq al-Auliya’ (Syarah atas kitab Hidayatul Adzkiya’
ila Thariq al-Auliya’ karya Zainuddin bin `Ali al-Malibari [872-928
H.]).
Tiga dari karyanya yang diambil dari Al-Ghazali, Ibn `Ata’illah dan
Zainuddin al-Malibari, menunjukkan bahwa Kiai Saleh memiliki
kecenderungan pada pengajaran tasawuf, meski ia juga menulis topik-topik
yang lain. Kehidupannya yang sangat sederhana membuatnya dikenal
sebagai seorang sufi sejati. Tak aneh kalau di kalangan ulama Jawa yang
lebih muda, Kiai Saleh dijuluki sebagai ‘Ghazali Kecil’ (al-Ghazali
al-Saghir).
Kiai Saleh Darat juga dianggap sebagai guru R. A. Kartini, pengobar
perjuangan perempuan di Indonesia yang terus dikenang hingga kini. Dalam
suatu riwayat diceritakan bahwa seusai mengikuti pengajian tafsir
al-Fatihah yang diberikan oleh Kiai Saleh Darat di Pendopo Agung Demak,
Kartini secara halus meminta Kiai Saleh untuk menerjemahkan Al-Qur’an ke
dalam Bahasa Jawa agar Al-Qur’an lebih bisa dimengerti kalangan awam.
Di antaranya, atas dasar permintaan Kartini itulah, Kiai Saleh
menulis kitab Faidlur Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam al-Malik al-Dayyan
pada tahun 1312 H/1894 M, kitab yang berisi tafsir Al-Quran dalam
Bahasa Jawa.
Ketika Kartini menikah, Kiai Saleh Darat menghadiahkan kepadanya
terjemahan Al-Qur’an juz pertama. Berkat terjemahan ini, Kartini, yang
sebelumnya memandang Al-Quran sebagai kitab yang hanya dimonopoli
pengertiannya oleh para ulama saja, mengaku menjadi lebih memahami dan
mencintai Al-Quran. Sayang, tafsir Al-Quran pertama dalam Bahasa Jawa
ini hanya sempat ditulis hingga juz enam karena Kiai Saleh Darat keburu
wafat.
Kiai Saleh dikenal memiliki sikap politik yang anti-Belanda yang
tercermin dalam banyak karyanya. Ia mengajarkan murid-muridnya untuk
sebisa mungkin menghindari Belanda dan memperingatkan mereka untuk tidak
meniru-niru cara hidup Belanda.
Dalam kitabnya, Majmu`at al-Shari`at al-Kafiyya li-l-`awam, ia
menyatakan haram hukumnya bagi umat Islam menggunakan pakaian Eropa
seperti jas dan dasi. Jika pun tidak bisa dihindarkan lagi harus datang
ke kantor pemerintah, Kiai Saleh menyarankan agar yang bersangkutan
masuk dengan kaki kiri terlebih dulu sebagaimana memasuki toilet dan
tempat-tempat sejenis lainnya.
Karena itu, tidak aneh kalau sekali waktu Kiai Saleh pernah dicurigai
memiliki hubungan dengan para aktivis politik. Pada tahun 1883, Konsul
Belanda di Jeddah melaporkan bahwa Kiai Saleh pernah meminta Sultan
Turki Ustmani untuk menghancurkan dominasi Belanda di Jawa.
Kiai Saleh wafat di Semarang pada 28 Ramadhan 1321 H. bertepatan
dengan 18 Desember 1903, dalam usia 83 tahun, dan dimakamkan di
Pemakaman Umum Bergota, Semarang. Makamnya kini menjadi subjek ziarah
keagamaan yang penting di Jawa. Pada tiap tanggal 5 Syawal masyarakat
menggelar haul untuk memperingati wafatnya ulama terkemuka ini. Tahun
ini, umat Islam memperingati haulnya yang ke-112.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar