Ketika Aceh Singkil Melawan
Namanya Rusli (35). Dia merupakan tokoh pemuda di Singkil. Sabtu
(10/10/2015) dia menunjukkan sebuah broadcast tentang akan adanya aksi
penertiban undung-undung (gereja kecil-red) yang semakin banyak
bertumbuh di Aceh Singkil.
Usai menunjukkan sms itu, dia mendapatkan panggilan telepon dari
seseorang. Sepertinya dia dimarahi oleh seseorang. Di akhir
perbincangan, Rusli mengatakan: “Aku hanya memberikan informasi ini ke
abang. Kalau bisa tolong dikoordinasikan dengan pihak lainnya di Banda
Aceh. Agar aksi tidak meluas. Abang jangan alergi dengan agama sendiri.
Warga bergerak, karena Pemerintah Singkil tak kunjung mengambil sikap,”
Usai berbicara dengan telepon, Rusli kembali bicara dengan penulis.
“Masyarakat sudah siap bang untuk menertibkan undung-undung liar yang
didirikan tanpa izin,”
***
Minggu (11/10/2015) sekitar pukul 09.00 WIB, di pinggir Sungai
Singkil di Kawasan Suka Makmur, Kecamatan Singkil, beberapa lelaki
berusia matang duduk sambil mengopi. Bahan perbincangan mereka adalah
rencana aksi “jihad” untuk merubuhkan undung-undung yang menurut mereka
semakin menjamur di Singkil.
“Jumlah mereka tidak banyak. Namun undung-undung semakin intens dibangun,” ujar salah seorang warga.
“Iya, saya pun sudah siap berangkat. Kalau kali ini kita lembek lagi,
dipastikan anak cucu kita akan terancam akidahnya,” tambah lainnya.
Menurut hasil penelusuran penulis, setiap berjumpa dengan kumpulan
masyarakat yang sedang duduk-duduk di warung maupun di bantaran sungai,
pembicaraannya mengenai rencana penertiban gereja. Mereka mengaku sudah
siap bergerak demi menjaga marwah Islam di tanah Syeikh Abdul Rauf
As-Singkil (Syiah Kuala-red).
***
Pada Selasa (13/10/2015) massa muslim berkumpul di Suka Makmur
Kecamatan Gunung Meriah. Ada yang menumpang truk bak terbuka sepeda
motor dan tarnsportasi lainnya. Usai beraksi di daerah itu dengan
membakar satu unit undung-undung, warga asli Singkil itu bergerak ke
Simpang Kanan. Sekitar pukul 12.00 WIB, mereka tiba di Dangguran.
Di sana, pasukan TNI sudah melakukan pengamanan. Kepada warga, mereka
meminta agar tidak membawa senjata apapun ketika masuk ke kawasan
undung-undung. Warga patuh. Mereka kemudian bergerak dengan tangan
kosong.
Rupanya, di sana, warga Dangguran beragama Kristen sudah menunggu dengan senjata tajam dan senpi rakitan.
“Posisi desa yang berada di atas bukit membuat kami tidak bisa
membaca suasana. Apalagi kami tidak pernah ke sini,” ujar seorang warga
yang ikut aksi.
Bentrokan tidak dapat dihindari. Saat itulah Syamsul, warga Buloh
Seuma, Kecamatan Suro, terkena tembakan di bagian mata. Dia tumbang dan
kemudian ditikam dengan pisau oleh beberapa massa dari pihak Kristen.
Efek dari pembakaran undung-undung di Gunung Meriah dan bentrok d
Dangguran, membuat penganut agama Kristen di beberapa tempat di Singkil
mulai ketakutan. Aalagi mereka mendapatkan kabar bahwa satu warga muslim
ikut meninggal dunia.
Sejak hari kejadian bentrokan, umat Kristen secara berkelompok mulai
mengungsi ke Sumatera Utara. Aksi eksodus tersebut semakin banyak
dilakukan pada Rabu (14/10/2015) dan hari-hari sesudahnya.
Tercatat sekitar dua ribuan umat Kristen meninggalkan Singkil menuju
titik-titik aman di wilayah Sumatera Utara. Tercatat 1.000 orang
ditampung di Kabupaten Tapanuli Tengah dan 900 jiwa di Kabupaten Pakpak
Bharat.
Melihat bentrokan tidak meluas ke daerah-daerah lain di Singkil,
Pemerintah setempat, Kamis (16/10/2015) berinisiatif melakukan
penjemputan terhadap warga yang eksodus. Pemerintah membentuk dua tim
penjemput yang masing-masing dipimpin oleh Bupati Singkil, Safriadi dan
Dulmusrid, Wabup Singkil.
Tim yang dipimpin oleh Bupati menjemput pengungsi di Mandua Mas,
Tapanuli Tengah. Tim kedua menjemput pengungsi ke Sibagindar, Pak Pak
Bharat.
Pada Jumat (17/10/2015) pengungsi mulai kembali ke Singkil.
Bukan Sengketa Keyakinan
Aksi yang terjadi pada 13 Oktober 2015, bukanlah kejadian tunggal.
Namun merupakan rentetan dari beberapa kejadian, termasuk peristiwa
1978. Persoalannya pun sama, yaitu soal rumah ibadah yang tidak memiliki
izin.
Ketua MPU Aceh Singkil, Kamis (15/10/2015) kepada awak media
mengatakan pada saat itu dilakukan kesepakatan damai. Hal yang sama juga
kembali terulang pada 2001, yang melahirkan kesepakatan bersama yang
isinya menyetujui adanya satu rumah ibadah di Kuta Kerangan dan empat
undung-undung (rumah ibadah dalam bentuk tertentu), masing-masing di
Desa Keras, Tuhtuhan, Sukamakmur dan Desa Lae Gecih.
“Tidak ada kaitan dengan keyakinan. Ini memang persoalan izin rumah
ibadah. Ini sudah saya sampaikan ke Kapolda dan Pangdam,” ujarnya.
Hasil penelusuran penulis, sejauh ini di Singkil belum pernah ditemukan sengketa keyakinan.
“Walau kami mayoritas di Singkil. Tapi tidak pernah mengganggu mereka
dalam beribadah dan mencari ekonomi .Buktinya mereka tetap bisa bekerja
sebagai buruh di berbagai Perkebunan swasta di Singkil. Bahkan mereka
bebas membeli tanah dari masyarakat,” terang Chaniago. Salah seorang
warga Singkil.
“Yang kami protes cuma persoalan semakin maraknya dibangun
gereja-gereja kecil. Padahal jemaatnya sangat sedikit. Padahal kan bisa
beribadat di rumah atau di gereja yang sudah ada,” ujar seorang warga
yang minta namanya tidak dituliskan.
Banyak Sekte
Informasi yang berhasil dikumpulkan dari kalangan Kristen, lahirnya
banyak undung-undung di Singkil, karena penganut agama tersebut memiliki
banyak aliran (sekte).
“Kami berbeda dalam beribadah. Ini sesuai dengan daerah asal kami di
Pak Pak Bharat, Sumatera Utara, yang umat Kristennya terpecah dalam
berbagai paguyuban gereja,” ujar salah seorang penganut Kristen.
Terkait dengan adanya undung-undung illegal, menurut warga Kristen, hal ini karena sulitnya mengurus izin.
“Di satu sisi izin sulit sekali diurus. Padahal urusan bertemu Tuhan harus tetap dilaksanakan,” katanya.
SMS yang Diabaikan
Sejatinya bentrokan di Singkil bisa dicegah, andai saja pesan
berantai yang dikirimkan beberapa hari sebelum kejadian, ditindaklanjuti
oleh para pihak.
“Saya sudah menyampaikan informasi tersebut kepada para pihak di
Banda Aceh pada Senin (12/10/2015) pada sebuah rapat kerukunan beragama
di kantor Kontras Aceh. Saya tidak tahu apakah mereka menindaklanjuti
atau tidak,” Ujar Hendra Saputra, Koordinator Kontras Aceh.
Cerita yang sama disampaikan Rusli, tokoh pemuda Singkil. “Bahkan
orang Jakarta sudah menelpon saya mempertanyakan isu tersebut. Saya
membenarkan bahwa aksi itu betul-betul akan dilaksanakan. Tapi akhirnya
bentrok terjadi dan polisi sepertinya kurang sigap,” kata Rusli.
Informasi yang berhasil didapatkan dari sumber di kalangan Kristen,
mereka juga membenarkan bahwa aksi bentrokan di Dangguran, karena
masyarakat di sana sudah tahu akan ada aksi penertiban undung-undung.
“Mereka sudah tahu sebelumnya. Makanya mereka sudah siap. Mungkin
yang di Dangguran, orangnya lebih berani mempertahankan sesuatu yang
dianggap benar,” imbuh sumber itu. []
Penulis bernama Muhajir Juli, pegiat jurnalistik dan hak asasi manusia di Aceh. Email:
muhajirjuli@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar