Korong Kuburan Massa
Pulau Aie Belum Bangkit
Pariaman---Setahun
sudah berlalu gempa bumi yang sangat dahsyat itu terjadi. Sebanyak 46
Kepala Keluarga (KK) di Korong Pulau Aie, Kenagarian Tandikek, Kecamatan
Patamuan, Padang Pariaman hingga kini masih setia menempati shelter
yang dibuatkan oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT). Pulau Aie, merupakan satu
korong yang mengalami longsor akibat gempa diakhir September 2009 lalu.
Dikampung itu juga dikuburkan sejumlah anggota masyarakat secara massal
di dua tempat, yang pascalongsor itu sangat tidak memungkinkan untuk
digali lagi. Pulau Aie ini bertetangga dengan Korong Cumanak, yang
juga kampung yang ikut tenggelam. Banyak cerita dari kampung yang
mayoritas masyarakat bertani itu mengalir dari satu mulut kemulut
lainnya. Hingga saat ini, gempa dan longsor bagi masyarakat tersebut
adalah sebuah cerita, kisah sedih yang tidak akan pernah terlupakan.
Apalagi saat ini, cerita kelam yang ditinggalkan oleh gempa, adalah
hancurkan sumber perekonomian masyarakat. Dua irigasi, yakni Banda Baru I
dan II, yang sebelum gempa terjadi berfungsi untuk mengaliri sawah
masyarakat. Sejak kejadian itu tidak lagi berfungsi. Bantuan yang datang
pascagempa dari berbagai pihak, merupakan setitik air yang turun
ditengah padang sahara, yang sangat gersang. Sebanyak 178 rumah
masyarakat yang ikut hancur, rusak berat dan tenggelam bersama
penghuninya, hingga kini belum ada yang bangkit. Bagi masyarakat,
bantuan shelter yang diberikan ACT, sungguh tiada ternilai harganya.
Rumah berupa pondok dari kayu, yang tersusun berjejeran dengan rapi,
yang dilengkapi dengan sarana ibadah, olahraga, sekolah itu menjadi
tempat pertama bagi masyarakat, setelah 15 hari tinggal dengan apa
adanya. Ali Azwar, salah seorang keluarga korban longsor yang masih
hidup saat ini, melihat peristiwa demikian sungguh sebuah cobaan yang
maha dahsyat, yang diberikan Tuhan kepada hamba-Nya. Saat kejadian naas
tersebut, Ali Azwar tidak sedang berada dikampung. Dia tengah melakukan
sebuah keperluan ke negara tetangga, Malaysia. Nun jauh disana. Dia
menyimak peristiwa demi peristiwa itu lewat layar kaca, yang sengaja dia
tonton. Saat menyaksikan hal itu, hatinya sangat galau. Dia ingin
cepat-cepat pulang. Kalau saja tiket yang telah dia pesan itu bisa
dipercepat pas setelah melihat tayangan TV itu, otomatis dia langsung
terbang dari Kuala Lumpur ke Ketaping, Kecamatan Batang Anai, tempat BIM
beroperasi. Memang selama dia melihat apa yang ditayangkan TV, tak
satupun yang menyebut nama tujuh anggota keluarganya yang ikut
tenggelam. Istri serta empat anaknya yang masih kecil-kecil, ibu dan
ayah mertuanya ikut menjadi maut. Dan diantara sebanyak itu ada yang
terpaksa dikuburkan secara massal, lantaran tidak lagi mungkin untuk
terus digali saat itu. Kini, Ali Azwar yang juga putra Lubuk Alung itu,
masih merasakan betapa gelak dan tawa manja anak-anaknya, saat dia
pulang bekerja, begitu memanggil-manggil ayahnya. "Suara itu seakan-akan
masih menghimbau saya. Apalagi tatkala saya menziarahi makam mereka.
Kenangan manis dan pahit, hidup bersama keluarga sekian tahun sangat
susah untuk dilupakan," ceritanya. Rivai Marlaut, selaku walikorong
di kampung itu agaknya orang yang paling super sibuk. Walikorong yang
dikenal dengan jujur, dekat dengan masyarakat itu memang menjadi tulang
punggung bagi masyarakat yang tersisa di Pulau Aie tersebut. "Saat
kejadian Rabu menjelang magrib itu, saya baru saja usai mencukur rambut
di pasar Tandikek. Suara pekikan histeris saling bersahutan dari warga
yang tinggal di komplek pasar tradisional itu. Pandangan tertuju pada
pohon kelapa, yang dilihat banyak orang bagaikan terbang disebelah barat
pasar Tandikek. Suara gemuruh memecahkan kampung, yang selama ini
terkenal dengan aman, nyaman dan penuh dengan kedamaian telah
meluluh-lantakkan dan membenamkan sejumlah perkampungan," ujarnya.
Pertolongan pertama yang dicari Rivai Marlaut selaku pemimpin ditengah
masyarakat, adalah kantor polisi. Pria kurus itu langsung mandacak
hondanya dengan cigin ke Sungai Sariak, tepatnya Kapolsek VII Koto
Sungai Sariak, sebagai aparat keamanan yang menaungi tiga kecamatan,
yang dulunya satu kesatuan. Dia melihat pemandangan yang maha
mengejutkan. Banyak orang berkendaraan menuju arah kampungnya, bila
dibandingkan kendaraan yang menuju Sungai Sariak tersebut. Dia tidak
menghiraukannya. Baginya penyelamatan masyarakat adalah paling utama.
Sesampainya di kantor Polsek itu, hanya betemu dengan seorang petugas
yang sedang piket. Dia langsung meninggalkan nomor hp nya pada petugas
tersebut, dan langsung balik ke Pulau Aie, melihat dari dekat kondisi
sanak kemenakan dan masyarakatnya sendiri. Rivai merasa bersyukur
dengan adanya kesehatan yang prima yang dia punyai. "Selama 15 hari,
siang dan malam, nyaris tidak tidur. Sibuk kesana kemari, bekerja
menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan. Aparat yang pertama kali masuk
kekampungnya, yang berada di kaki Gunuang Tigo itu, adalah Brimob dari
Palembang, Sumatra Selatan. Mereka itulah yang pertama kali melakukan
evakuasi mayat, yang masih bisa diselamatkan. Dan seterusnya, berbagai
elemen masyarakat LSM, pemerintah dalam dan luar negeri yang datang
sangat cepat. "Bantuan yang diberikan berbagai pihak di Pulau Aie,
memang terasa banyak. Tetapi yang namanya bantuan, tetap saja tidak
sanggup untuk membangkitkan masyarakat secara utuh. Buktinya, hingga
saat ini belum satupun masyarakat yang bisa membangun kembali rumah
tempat tinggalnya. Kini tengah berjalan bantuan rumah dari Kanada, yang
telah dialokasikan untuk 110 rumah, yang terserak dalam tiga kampung di
Korong Pulau Aie ini, yakni Kampuang Palak, Mudiak Balai dan Sialangan.
Rumah bantuan itu saat ini masih dalam tahapan pengerjaan. Kita berharap
rumah itu segera dihuni oleh masyarakat," ungkap Rivai. Menurut dia,
sebagai tempat yang sangat bersejarah, kuburan massal yang ada di Pulau
Aie itu akan dibuatkan tugunya, sebagai tempat duka nestapa yang pernah
dialami masyarakat Pulau Aie. Upaya untuk mewujudkan itu masih disimpan
begitu saja, lantaran belum waktunya dibuka dalam rapat-rapat bersama
masyarakat. "Apalagi ditengah perekonomian masyarakat yang saat ini
tidak jalan, tentu sangat tidak layak hal demikian dibicarakan bersama.
Tetapi yang jelas, keinginan untuk itu menjadi sebuah keharusan
nantinya, untuk dikenang bagi generasi yang akan mewarisi kampung yang
cukup subur ini," kata Rivai bercerita. Penanganan Korban Gempa
Penangan korban gempa yang dilakukan Pemkab Padang Pariaman selama
setahun ini penuh dengan dinamikanya. Banyak pihak menilai, bahwa
penanganan gempa di Padang Pariaman penuh dengan carut marut.
Suara-suara sumbang ditengah masyarakat, hingga saat ini masih saja
bersileweran. Suasana buncah terhadap hal itu, persis seperti pembagian
Uang Lauk Pauk (ULP) diawal-awal kejadian gempa dulu. Tim fasilitator
gempa yang ditempatkan di seluruh nagari, telah menjadi problem
tersendiri. Padahal, anggota dewan terhormat bersama sebagian aparat
terkait lainnya telah melakukan studi perbandingan penangan gempa yang
terjadi di daerah lainnya, di nusantara ini. Tetapi yang namanya
penanganan gempa di Padang Pariaman tetap saja dinilai banyak pihak
tidak tepat sasaran. Mulai dari pemotongan uang korban gempa, yang
dilakukan oknum camat, disebagian kecamatan, pemotongan uang ini dan
itu, yang sampai detik ini masih menimbulkan kontroversi didaerah yang
baru saja usai melakukan Pilkada itu. Begitu juga bantuan yang
meresahkan terhadap aqidah masyarakat, juga masih mewarnai di sejumlah
perkampungan. Anehnya, yang jadi korban iming-iming bantuan dari Bank
Dunia, rampasan perang dan lain sebagainya itu banyak dari kalangan
induak-induak. Ratusan kaum hawa di Padang Pariaman, menurut kajian yang
dilakukan pihak berkopeten, dinilai tengah terancam. Bagi kebanyakan
perempuan Padang Pariaman, bantuan yang tengah dijanjikan dengan nilai
ratusan juta itu sangat penting artinya. Tak peduli, apakah bantuan itu
memang ada, atau hanya sekedar menpengaruhi masyarakat itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar