Tidak semua ajaran agama Islam itu bisa disebarkan dan diamalkan oleh
penganutnya secara umum. Hal itu karena ketinggian tingkat kesulitan
pemahaman dalam ilmu tersebut. sehingga dikhawatirkan kesalah pahaman
dalam memahami ajaran agama tersebut. lebih parahnya lagi bisa
menimbulkan kekafiran dan kesyirikan dalam ilmu tersebut. Para pemimpin
pada waktu itu pun mengambil tindakan tegas yaitu hukuman mati bagi
penganut ajaran tersebut.
Contohnya saja ajaran Manunggaling Kawula gusti atau dalam
istilah ibnu Arabi yaitu Wahdatul Wujud membawa konsekuensi bagi
pengamalnya pada zaman dan tempatnya masing-masing. Pada abad ke-10
misalnya, seorang sufi asal Persia bernama al-Hallaj harus menerima
hukuman mati karena terang-terangan mengaku diri sebagai pengamal ajaran
kesatuan hamba dengan Tuhan. Sedangkan pada abad ke-16, seorang wali
dari tanah Jawa bernama Syaih Siti Jenar mengalami nasib serupa atas
pengakuannya.
Akan tetapi, sang penggagas wahdatul wujud, Ibnu Arabi tidak
pernah mengalami nasib seperti mereka berdua. Lantaran beliau mampu
menyembunyikan keyakinannya dihadapan khalayak. Ia lebih suka menuangkan
keyakinannya ini dalam bentuk karya tulis. (hal.7). sehingga dia
terlepas dari jeratan hukuman dari sang penguasa pada zaman itu.
Sekitar 4 abad setelah wafatnya Ibnu Arabi, muncullah seorang
sufi dari India bernama Ibnu Fadhillah yang meneruskan ajaran wahdatul
wujud dalam bentuk karya tulis, yakni Tuhfah al-Mursalah. Kitab ini
berisi tentang martabat tujuh, sebuah konsep sufistik yang dapat
mengantarkan manusia menjadi insan kamil. (hal.16)
Kitab ini bukan saja menjadi rujukan tapi juga menjadi pangkal
perdebatan para ulama di tanah Melayu terkait pemahaman atau penafsiran
isi kitab tersebut. yaitu pertentangan antara kaum sufi ortodoks yang
diwakili oleh Syekh ar-Ranniri dan kaum sufi heterodoks yang diwakili
Hamzah Fanshuri.
Perdebatan ini pun disampaikan pada ulama Timur Tengah,
Al-Kurani. Untuk meredam perdebatan tersebut beliau pun menyusun Ithaf
adz-Dzakiy. Kitab ini bertujuan untuk memperjelas dan menjauhkan ulama
Melayu dari kesalahan dalam memahami kitab Tuhfah al-Mursalah. (hal.20)
Sementara di Jawa, menurut hasil penelitian A.H. Johns diketahui
bahwa Serat Tuhfah berbahasa Jawa diketemukan dalam bentuk Sekar Macapat
di Tegal. Serat ini ditulis pada tahun 1680, sekitar 20 tahun setelah
wafatnya Nuruddin ar-Ranniri. Selain serat tersebut tidak dijumpai lagi
tulisan sejenis yang berisi martabat tujuh atau sangkan paraning dumadi.
Sampai 140 tahun kemudian, tepatnya tahun 1814-1823, ditulislah Serat
Chentini yang didalamnya terdapat penjabaran tentang martabat tujuh.
(hal.24-25)
Serat Chentini yang ketebalannya mencapai 4.200 halaman folio ini
memuat hampir semua ilmu pengetahuan termasuk tasawuf. Serat ini
laksana ensiklopedi tentang kejawaan. Yang menarik, dalam serat ini
terdapat dua kali penjabaran tentang martabat tujuh, dan keduanya
memiliki versi yang berbeda, yakni pada Serat Chentini jilid I dan III.
Versi pertama, isinya sama dengan yang termaktub di dalam Tuhfah
al-Mursalah, dan Syarah Tuhfah Melayu. Maka bisa diasumsikan bahwa
ajaran martabat tujuh dalam serat Chentini jilid I bersumber dari Serat
Tuhfah Tegal. Sedang dalam jilid III, meskipun tidak disebut sebagai
martabat tujuh tapi namanya sama dengan martabat tujuh, sedang
perinciannya atau pembahasanya berbeda dengan kitan Tuhfah. (hal.27)
Dari sini terlihat sebuah kenyataan menarik bahwa di Jawa telah
ada dua pemahaman martabat tujuh sebagai jalan menuju kesempurnaan yang
berbeda. Pemahaman pertama bersumber dari para sufi Melayu yang bermuara
pada ajaran Ibnu Arabi, sedang pemahaman kedua bertumpu pada kitab
Daqa’iqul Haqa’aq dan Daqa’iqul Akhbar yang dipoles dengan mistis
kejawen.
Perbedaan mendasar antara ajaran manunggaling kawula Gusti dan
wahdatul wujud. Pada prinsipnya, kedua ajaran tersebut sama, namun
berbeda dalam penerapan yang didasar latar belakangan budaya dan kondisi
daerah, tempat kedua ajaran tersebut berkembang (hal. 128).
Dalam buku ini juga kita akan melihat sejarah perkembangan agama
islam di jawa, kita bisa mengetahui bahwa ajaran wahdatul wujud
berkembang pada masa Demak. Sedangkan ajaran manunggaling kawula gusti
berkembang pada masa pajang dan Mataram. Selamat membaca....
____________________
Judul : Bersatu (Manunggaling Kawula Gusti)
Penulis :Agus Wahyudi
Penerbit : Diva Press
Cetakan : Pertama, Januari 2014
Tebal : 168 halaman
ISBN : 978-602-255-395-3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar