Hingga saat ini, SMP Negeri 5 Kecamatan Lubuk Alung, Kabupaten Padang
Pariaman belum bisa melakukan proses belajar mengajar. Persoalannya
masih soal yang lama, yakni problematika dengan pemilik tanah tempat
sekolah itu beroperasi yang tak kunjung ketemu penyesuaiannya.
Kepala SMP yang terletak di Nagari Aie Tajun Lubuk Alung itu, Abdul Hadi
kepada Singgalang mengaku tidak terlaksananya proses belajar mengajar
pascalebaran ini, lantaran pihak pemilik kembali memagari sekolah
demikian dengan plang, sehingga pelajar dan guru tak bisa masuk sekolah.
"Masalah ini tidak lagi kita sampaikan ke Dinas Pendidikan Padang
Pariaman. Tetapi langsung ke orang nomor satu; Bupati Ali Mukhni. Sebab,
dulu sudah ada kejelasan antara sekolah dengan pemilik tanah yang
disponsori oleh Dinas Pendidikan, dimana dua orang pemilik tanah yang
masing-masingnya diberikan honor Rp1,5 juta setiap bulannya," kata Abdul
Hadi.
Menurut Abdul Hadi, persetujuan untuk membayar honor itu
juga disaksikan pihak kepolisian Padang Pariaman. "Saat kita bayarkan
uang demikian, malah sebaliknya sang pemiliknya kembali membalikan uang
tersebut ke sekolah. Mereka maunya tidak dibayar honor, tetapi menuntut
ganti rugi tanah mereka yang terpakai untuk bangunan sekolah itu,"
ujarnya.
Walinagari Aie Tajun Lubuk Alung Syamsurizal
menyebutkan, bahwa kasus SMP N 5 Lubuk Alung ini telah cukup lama. "Atas
nama pemerintahan nagari, saya telah datangi yang punya tanah. Ada
semacam bolak-balik pikiran orang itu. Awalnya mereka menerima apa yang
menjadi tawaran pemerintah, dimana mereka dikasih honor tiap bulan,"
katanya.
"Malah diawal-awal honor mereka berdua itu hanya Rp800
ribu seorang. Sekarang dinaikan jadi Rp1,5 juta masing-masingnya. Tapi,
mereka inginkan ganti rugi tanah yang mencapai miliaran rupiah. Tentu
persoalannya tambah berat, yang tak lagi sanggup diselesaikan oleh
sekolah dan Dinas Pendidikan Padang Pariaman itu sendiri," ungkapnya.
SMP N 5 Kecamatan Lubuk Alung dalam sejarahnya pernah meraih prestasi
ditengah problema yang cukup pelik tersebut. Nur Hendri dan Siyus yang
mengelola tanah demikian, awalnya menuntut jatah PNS dari pemerintah
yang tak kunjung tercapai. Apalagi, sekarang untuk jadi PNS tidak
seperti pejaga sekolah zaman saisuak yang sangat mudah. Sekarang harus
ikut tes, seperti yang dilakukan CPNS lainnya.
Bagaikan ayam kehilangan induk saja para pelajar SMP Negeri 5 Kecamatan
Lubuk Alung. Mereka datang tiap pagi ke sekolah. Dilihatnya tak ada guru
dan kepala sekolah, lalu mereka kembali balik kanan, dan memilih
keluyuran di sepanjang jalan, atau duduk di kedai pinggir jalan tak jauh
dari sekolah demikian.
Apa pasal? Sekolah yang terletak di
Nagari Aie Tajun Lubuk Alung ini kabarnya sejak bulan puasa tak lagi
menggelar proses belajar mengajar. Rabu kemarin, Singgalang sengaja
bertandang ke sekolah tersebut. Tampak sekolah tempat mencetak kader
bangsa itu sepi dan merimpa. Gerbangnya dikasih betung bersilang,
mungkin tanda dilarang masuk.
Disana Singgalang bersua dengan
Sardiman, Wakil Ketua Komite sekolah, Irwan, seorang pemilik tanah
bangunan sekolah, dan Erman, seorang tokoh masyarakat. Tak berselang
lama, mencogok seorang ibuk guru kelas, mengaku tinggal di Padang. Dia
naik ojek dari Simpang Jambak Lubuk Alung untuk sampai ke Aie Tajun.
Sardiman yang juga salah seorang orangtua pelajar mengaku sedih melihat
sekolah yang dibangun semasa Bupati Muslim Kasim itu. "Otomatis
anak-anak jadi korban. Kalau guru PNS iyalah. Mereka tetap menerima gaji
dari negara, meskipun tak mengajar," kata dia.
SMP Negeri 5
Lubuk Alung tak sekarang saja bermasalah. Boleh dibilang punya masalah
sepajang sekolah itu beraktivitas. Namun, setiap kali ada pertemuan
dengan pihak terkait; Dinas Pendidikan Padang Pariaman, bahkan sampai ke
Polres bagai, tak ada titik temu antara pemilik tanah dengan pemerintah
selaku penyelenggara pendidikan itu sendiri di kampung itu.
"Ini
akibat dari ketidak-jelasan dari tokoh masyarakat yang bertindak selaku
Komite Pembangunan sekolah ini awalnya. Si pemilik seolah-olah
dibungkus saja, asal rencana ini mulus. Tentu susah dicarikan
penyelesaianya saat ini. Masak pemilik tanah tak tahu sama sekali, kalau
tanahnya sudah punya sertifikat," ungkapnyanya.
Irwan yang adik
oleh Nur Hendri, sang pemilik tanah sebenarnya tidak ingin ada masalah
di sekolah itu. "Sekarang berikan saja ganti rugi tanah ini. Kalau tak
mampu pemerintah menggantinya, ya serahkan saja kembali baik-baik. Kami
tak ingin bertele-tele," tegas Irwan.
Sebenarnya, kata Irwan
lagi, perjanjian tertulis dulu tak begitu sulit. Yakni, seorang pemilik
dijadikan PNS, dan dibuatkan sebuah kantin dalam sekolah. Tapi, janji
itu hanya tinggal janji. Tak satupun yang dipenuhi, termasuk membuatkan
kantin. Kalau tidak, janganlah menjanjikan yang seperti itu.
Anehnya, H. Azwar dan sejumlah tokoh masyarakat Aie Tajun dulunya selaku
Komite Sekolah menjanjikan itu, sekarang tidak tahu-menahu lagi. "Tentu
ketika muncul masalah, dikadukan ke Pemkab, DPRD dan pihak terkait di
kecamatan dan nagari, sangat tidak bersua titik temunya," sambung
Sardiman.
Hingga kini, sudah sekian lama anak-anak tak
bersekolah, belum ada upaya lain, bagaimana anak-anak itu terus belajar.
Kepala sekolah Abdul Hadi, pengakuan masyarakat di sana agak merasa
takut datang ke sekolah. "Kami selaku pemilik tanah tak ingin disalahkan
dalam hal ini. Sebab, atas kejadian ini, hampir semua pihak menghadap
ke kami. Seolah kami yang salah. Tolong lihat secara jernih. Termasuk
oleh walinagari, selalu pemimpin di nagari ini," kata Irwan.
Sebelumnya, Kepala sekolah Abdul Hadi mengaku telah menyerahkan
sepenuhnya hal demikian ke Bupati Padang Pariaman Ali Mukhni. Kata dia,
lebih dari 100 pelajar SMP yang dia pimpin sejak beberapa tahun
belakangan itu. Walinagari Aie Tajun Lubuk Alung Syamsurizal juga ikut
bersama mencari titik persamaannya. Namun, belum berhasil juga.
Lagi-lagi, anak dibiarkan keluyuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar