KH Muhammad Yahya, Mursyid Tariqat dan Pejuang Kemerdekaan
”Manusia dilahirkan dalam keadaan mengangis, sementara orang di
sekelilingnya tertawa bahagia atas kelahirannya. Maka pada saat ia
meninggal, harusnya yang terjadi adalah sebaliknya. Ia meninggal dalam
keadaan senyum, sementara orang di sekelilingnya menangis bersedih atas
kepergiannya.” Mungkin syair inilah yang tepat untuk menggambarkan
kepergian sosok kiai kharismatik yang terkenal dengan nilai-nilai
kesufiannya, Almagfurlah KH Muhammad Yahya, 23 November 1971 lalu.
Bagi
kaum tarekat di Indonesia, khususnya pengikut Thariqah Qodiriyyah wa
Naqsyabandiyyah (TQN), nama KH Muhammad Yahya tentu sudah sangat
masyhur. Keberadaannya sebagai salah seorang mursyid TQN membuat
murid-muridnya menyebut Kiai Yahya sebagai Syekhul Mursyidin.
Dilahirkan
tahun 1900 M di Desa Jetis, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa
Timur, KH Muhammad Yahya sejak kecil sudah bersentuhan dengan ilmu agama
melalui pendidikan khas ala pesantren yang diajarkan langsung oleh
ayahnya, Kiai Qoribun dan ibunya, Nyai Ratun. Hidup di tengah keluarga
yang religius, Kiai Yahya juga mengikuti pendidikan dasar agama yang
diasuh oleh pamannya, yaitu Kiai Abdullah yang juga salah satu mursyid
Thariqah Kholidiyah. Di surau pesantren pamannya inilah Kiai Yahya
mengenal dasar-dasar aqidah, bimbingan ibadah dan doktrin etika agama.
Penguatan dasar agama di masa kecil ini menjadikannya kuat dan kokoh
dalam mempertahankan prinsip.
Kiai Yahya kecil hingga remaja memang terkenal sangat mencintai ilmu. Terbukti, tidak kurang dari enam pesantren menjadi jujugan-nya
dalam menuntut ilmu selama kurun waktu 20 tahun. Mulai dari Pesantren
Bungkuk Singosari, Pesantren Cempaka Blitar, Pesantren Kuningan Blitar,
Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, Pesantren Kiai Asy’ari Tulungagung
hingga Pesantren Jampes Kediri. Keenam pesantren tersebut telah memberi maziyah keilmuan tersendiri bagi Kiai Yahya.
Setelah dirasa cukup, di tahun 1930 atas restu Kiai Ihsan, akhirnya Kiai Yahya boyong ke
kota kelahirannya di Malang. Dan di tahun itu pula, Kiai Yahya diambil
menantu oleh Kiai Isma’il, dan dinikahkan dengan putri angkat beliau
yang bernama Siti Khodijah. Kiai Isma’il mengambil putri angkat dari
kemenakannya sendiri, yaitu Kiai Abdul Majid. Kedua ulama ini merupakan
pengasuh generasi kedua Pondok Pesantren Gadingkasri Malang, nama Pondok
Pesantren Miftahul Huda saat itu, yang sekarang lebih dikenal dengan
Pondok Gading. Namun, baru lima tahun usia pernikahanannya, Kiai Abdul
Majid dan Kiai Isma’il wafat. Akhirnya, Kiai Yahya mengemban tugas
ganda, baik sebagai pengasuh pesantren maupun sebagai kepala keluarga.
Aktif di Medan Tempur
Saat
memimpin Pesantren Gading inilah, Kiai Yahya terpanggil untuk
mendarmabaktikan jiwa dan raga untuk membela kehormatan bangsa. Kiai
yang memiliki sebelas anak ini ikut terlibat aktif dalam upaya heroik
membela bumi pertiwi. Bersama seorang komandan batalyon tentara Badan
Keamanan Rakyat (BKR) bernama Mayor Sulam Syamsun, Kiai Yahya turut
serta merancang, menyusun strategi dan menggerakkan santri dan rakyat
untuk melakukan perang gerilya di Kota Malang dan sekitarnya. Bahkan,
saat Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari
menyerukan Resolusi Jihad pada 10 November 1945, Kiai Yahya juga
termasuk salah satu dari ratusan ribu pejuang yang ikut bertempur di
garis depan. Keikutsertaannya di pertempuran tersebut atas permintaan
khusus dari Panglima BKR Divisi Untung Soeropati, Mayor Jenderal Imam
Soedja’i.
Semasa perang gerilya berlangsung, Pondok Pesantren
Gading dijadikan sebagai markas pasukan dalam melakukan penyerangan ke
jantung kota. Karena letaknya yang strategis dan dianggap sebagai netral zone (daerah
netral), hal ini membuat pasukan merasa aman dan leluasa merancang dan
merencanakan serangan. Selain itu, Pondok Gading juga terkenal di
kalangan para pejuang sebagai tempat yang aman bagi berkumpulnya
pimpinan dalam melakukan pertemuan dan briefing.
Hal
ini sesuai dengan pernyataan KH Abdurrahman Yahya (putra ke-5 Kiai
Yahya) saat ditemui penulis di kediamannya, Minggu (5/7) lalu yakni,
“Walaupun terhitung lebih dari sepuluh kali mortir (bom) jatuh di darah
Gading namun tidak pernah terjadi ledakan yang membahayakan,” ujar Mbah
Kiai Man, sapaan akrab KH Abdurrahman Yahya.
Demikian pula
ketika meletusnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat yang mana hal
tersebut dikhawatirkan bakal merembet ke daerah lain, maka KH Abdul
Wahid Hasyim sebagai wakil pemerintah dan petinggi Nahdlatul Ulama
memilih berkunjung ke Pondok Gading. Didampingi Kepala Staf Divisi VII
Surapati Kolonel Iskandar Sulaiman, di pondok inilah diadakan rapat
terbatas bersama Komandan Batalyon Hamid Rusdi, Sullam Syamsun, Abdul
Manan, Kapten Yusuf bin Abu Bakar dan Kiai Yahya yang menekankan kepada
seluruh pejuang untuk tidak terpengaruh oleh provokasi DI/TII yang
ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Kiai Yahya di
kalangan para pasukan juga sangat terkenal dengan sikap pemberaninya.
Setelah agresi Militer Belanda 1 yang memaksa pejuang Indonesia dipukul
mundur. Dari pihak Indonesia, Mayor Sullam memikul tugas berat untuk
merebut kembali Kota Malang yang sudah terlanjur dikuasai oleh pasukan
asing. Disiapkanlah strategi perang gerilya. Semua kekuatan dikerahkan,
termasuk potensi dan kharisma Kiai Yahya. Ada empat tugas khusus yang
harus dilakukan Kiai Yahya. Di antaranya, tugas motivator, tugas
intelejen, tugas logistik, dan tugas teritorial. Meski tergolong berat,
namun tugas tersebut dijalankan dengan baik oleh Kiai Yahya yang mampu
menggerakkan santri dan masyarakat sekitar. Tidak heran jika Kiai Yahya
dikenal sebagai seorang ahli strategi dan mobilisator yang tangguh,
istiqomah, tegas dan cerdas.
Pagi, 4 Syawal 1392 H atau
bertepatan pada tanggal 23 November 1971 M sekitar pukul 09.30 WIB, Kiai
Yahya mengembuskan nafas terakhir, menghadap Allah SWT pada usia 71
tahun. Ada yang berpendapat ia meninggal pada usia 68 tahun karena Kiai
Yahya lahir pada 1903. Namun, menurut saksi hidup, KH Abdurrahman Yahya,
saat ditemui penulis, yang lebih valid adalah Kiai Yahya lahir tahun
1900, sehingga umur beliau 71 tahun. Terlepas dari itu semua,
kepergiannya yang mendadak dan begitu mudah, membuat keluarga ndalem,
tetangga dan santri setengah tidak percaya, termasuk Nyai Khodijah dan
KH Abdurrahman Yahya yang mendampingi hingga detik-detik terakhir. Namun
Allah SWT Maha Kuasa dan Maha Berkehendak untuk menciptakan makhluk
sekaligus mengambilnya. Akhirnya, Kiai Yahya wafat meninggalkan ilmu,
pesan, teladan dan kenangan tiada terukur bagi siapa pun.
Muhammad Faishol,
mantan wartawan Jawa Pos Radar Malang yang saat ini menjadi Koordinator
Redaktur Media Santri NU (MSN) Malang; Santri Sholawatul Qur’an
Banyuwangi dan Sabilurrosyad Gasek Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar