wartawan singgalang

Selasa, 04 Oktober 2016

Jejak Ajaran Wahdatul Wujud

Tidak semua ajaran agama Islam itu bisa disebarkan dan diamalkan oleh penganutnya secara umum. Hal itu karena ketinggian tingkat kesulitan pemahaman dalam ilmu tersebut. sehingga dikhawatirkan kesalah pahaman dalam memahami ajaran agama tersebut. lebih parahnya lagi bisa menimbulkan kekafiran dan kesyirikan dalam ilmu tersebut. Para pemimpin pada waktu itu pun mengambil tindakan tegas yaitu hukuman mati bagi penganut ajaran tersebut.

Contohnya saja ajaran Manunggaling Kawula gusti atau dalam istilah ibnu Arabi yaitu Wahdatul Wujud membawa konsekuensi bagi pengamalnya pada zaman dan tempatnya masing-masing. Pada abad ke-10 misalnya, seorang sufi asal   Persia bernama al-Hallaj harus menerima hukuman mati karena terang-terangan mengaku diri sebagai pengamal ajaran kesatuan hamba dengan Tuhan. Sedangkan pada abad ke-16, seorang wali dari tanah Jawa bernama Syaih Siti Jenar mengalami nasib serupa atas pengakuannya.
Akan tetapi, sang penggagas wahdatul wujud, Ibnu Arabi tidak pernah mengalami nasib seperti mereka berdua. Lantaran beliau mampu menyembunyikan keyakinannya dihadapan khalayak. Ia lebih suka menuangkan keyakinannya ini dalam bentuk karya tulis.  (hal.7). sehingga dia terlepas dari jeratan hukuman dari sang penguasa pada zaman itu.
Sekitar 4 abad setelah wafatnya Ibnu Arabi, muncullah seorang sufi dari India bernama Ibnu Fadhillah yang meneruskan ajaran wahdatul wujud dalam bentuk karya tulis, yakni Tuhfah al-Mursalah. Kitab ini berisi tentang martabat tujuh, sebuah konsep sufistik yang dapat mengantarkan manusia menjadi insan kamil. (hal.16)
Kitab ini bukan saja menjadi rujukan tapi juga menjadi pangkal perdebatan para ulama di tanah Melayu terkait pemahaman atau penafsiran isi kitab tersebut. yaitu pertentangan antara kaum sufi ortodoks yang diwakili oleh Syekh ar-Ranniri dan kaum sufi heterodoks yang diwakili Hamzah Fanshuri.
Perdebatan ini pun disampaikan pada ulama Timur Tengah, Al-Kurani. Untuk meredam perdebatan tersebut beliau pun menyusun Ithaf adz-Dzakiy. Kitab ini bertujuan untuk memperjelas dan menjauhkan ulama Melayu dari kesalahan dalam memahami kitab Tuhfah al-Mursalah. (hal.20)
Sementara di Jawa, menurut hasil penelitian A.H. Johns diketahui bahwa Serat Tuhfah berbahasa Jawa diketemukan dalam bentuk Sekar Macapat di Tegal. Serat ini ditulis pada tahun 1680, sekitar 20 tahun setelah wafatnya Nuruddin ar-Ranniri. Selain serat tersebut tidak dijumpai lagi tulisan sejenis yang berisi martabat tujuh atau sangkan paraning dumadi. Sampai 140 tahun kemudian, tepatnya tahun 1814-1823, ditulislah Serat Chentini yang didalamnya terdapat penjabaran tentang martabat tujuh. (hal.24-25)
Serat Chentini yang ketebalannya mencapai 4.200 halaman folio ini memuat hampir semua ilmu pengetahuan termasuk tasawuf. Serat ini laksana ensiklopedi tentang kejawaan. Yang menarik, dalam serat ini terdapat dua kali penjabaran tentang martabat tujuh, dan keduanya memiliki versi yang berbeda, yakni pada Serat Chentini jilid I dan III.
Versi pertama, isinya sama dengan yang termaktub di dalam Tuhfah al-Mursalah, dan Syarah Tuhfah Melayu. Maka bisa diasumsikan bahwa ajaran martabat tujuh dalam serat Chentini jilid I bersumber dari Serat Tuhfah Tegal. Sedang dalam jilid III, meskipun tidak disebut sebagai martabat tujuh tapi namanya sama dengan martabat tujuh, sedang perinciannya atau pembahasanya berbeda dengan kitan Tuhfah. (hal.27)
Dari sini terlihat sebuah kenyataan menarik bahwa di Jawa telah ada dua pemahaman martabat tujuh sebagai jalan menuju kesempurnaan yang berbeda. Pemahaman pertama bersumber dari para sufi Melayu yang bermuara pada ajaran Ibnu Arabi, sedang pemahaman kedua bertumpu pada kitab Daqa’iqul Haqa’aq dan Daqa’iqul Akhbar yang dipoles dengan mistis kejawen.
Perbedaan mendasar antara ajaran manunggaling kawula Gusti dan wahdatul wujud. Pada prinsipnya, kedua ajaran tersebut sama, namun berbeda dalam penerapan yang didasar latar belakangan budaya dan kondisi daerah, tempat kedua ajaran tersebut berkembang (hal. 128).
Dalam buku ini juga kita akan melihat sejarah perkembangan agama islam di jawa, kita bisa mengetahui bahwa ajaran wahdatul wujud berkembang pada masa Demak. Sedangkan ajaran manunggaling kawula gusti berkembang pada masa pajang dan Mataram. Selamat membaca....
____________________
Judul    : Bersatu (Manunggaling Kawula Gusti)
Penulis    :Agus Wahyudi
Penerbit    : Diva Press
Cetakan    : Pertama, Januari 2014
Tebal        : 168 halaman
ISBN        : 978-602-255-395-3  

Nuruddin Ar-Raniri, Negarawan dan Ulama Ahli Fiqh

A. Riwayat hidup

Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniri. Ia lahir di Ranir (Rander), Gujarat, India, dan mengaku memiliki darah suku Quraisy, suku yang juga menurunkan Nabi Muhammad SAW. Ayahnya adalah seorang pedagang Arab yang bergiat dalam pendidikan agama (Piah dkk., 2002: 59-60).

Nuruddin adalah seorang polymath, yaitu orang yang pengetahuannya tak terbatas dalam satu cabang pengetahuan saja. Pengetahuannya sangat luas, meliputi bidang sejarah, politik, sastra, filsafat, fikih, dan mistisisme. Nuruddin mula-mula mempelajari bahasa Melayu di Aceh, lalu memperdalam pengetahuan agama ketika melakukan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari Mekah, ia mendapati bahwa pengaruh Syamsuddin as-Sumatrani sangat besar di Aceh. Karena tidak cocok dengan aliran wujudiyah yang disebarkan oleh Syamsuddin, Nuruddin pindah ke Semenanjung Melaka dan memperdalam ilmu agama dan bahasa Melayu di sana.

Selama tinggal di semenanjung, Nuruddin menulis beberapa buah kitab. Ia juga membaca Hikayat Seri Rama dan Hikayat Inderaputera, yang kemudian dikritiknya dengan tajam, serta Hikayat Iskandar Zulkarnain. Ia juga membaca Taj as-Salatin karya Bukhari al-Jauhari dan Sulalat as-Salatin yang populer pada masa itu. Kedua karya ini memberi pengaruh yang besar pada karyatamanya sendiri, Bustan as-Salatin (Piah dkk., 2002: 60)

Pada tahun 1637 ia kembali ke Aceh dan tinggal di sana selama tujuh tahun. Saat itu Syeh Syamsuddin as-Sumatrani telah meninggal. Berkat keluasan pengetahuannya, Sultan Iskandar Tani (1636-1641) mempercayainya untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan oleh Syamsuddin. Nuruddin menjabat sebagai Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, dan Syeikh di Masjid Bait al-Rahman.

Pada saat ia berjaya sebagai pejabat kesultanan inilah, dengan dibantu oleh Abdul Rauf Singkel, ia melakukan gerakan pemberantasan aliran wujudiyah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin as-Sumatrani. Karya-karya kedua ulama sufi itu dibakar dan para penganut aliran wujudiyah dituduh murtad serta dikejar-kejar karena dituduh bersekongkol untuk membunuh istri Sultan, Ratu Safiatun Johan Berdaulat.

Keadaan berbalik melawan Nuruddin ketika Sultan Iskandar Tani mangkat dan digantikan oleh istrinya, Sultanah Safiatuddin Johan Berdaulat (1641-1675). Polemik antara Nuruddin dan aliran wujudiyah bangkit kembali. Kali ini yang menang adalah seorang tokoh yang namanya sama dengan salah satu karya Hamzah Fansuri, yaitu Saif ar-Rijl, yang berasal dari Minangkabau dan baru kembali ke Aceh dari Surat (Braginsky, 1998: 473). Saif ar-Rijl mendapat dukungan sebagian besar kalangan Aceh, yang merasa tidak senang dengan besarnya pengaruh orang asing di istana Aceh. Untuk menyelesaikan pertikaian itu mereka mencari nasihat sang ratu, tetapi sang ratu menolak dengan dalih tidak berwenang dalam soal ketuhanan.

Sesudah berpolemik selama sekitar satu bulan, Nuruddin terpaksa meninggalkan Aceh dengan begitu tergesa-gesa, sehingga ia tidak sempat menyelesaikan karangannya yang berjudul Jawahir al-‘Ulum fi Kasyfi al-Ma‘lum (Hakikat Ilmu dalam Menyingkap Objek Pengetahuan) (Takeshi Ito, 1978: 489-491; via Braginsky, 1998: 473-474). Nuruddin akhirnya ia kembali ke Ranir. Ia meninggal di kota kelahirannya pada tanggal 21 September 1658 (Piah dkk., 2002: 60).

B. Pemikiran

1. Teologi

Mungkin yang diingat orang ketika pertama kali membicarakan Nuruddin al-Raniri adalah pertentangannya dengan aliran wujudiyah, yang disebarkan oleh penyair sufi Hamzah Fansuri dan para pengikutnya. Berkat kedekatannya dengan Sultan Iskandar Tani, Nuruddin berhasil menggerakkan kekuatan militer untuk memberantas aliran yang dihujatnya sebagai penyimpangan itu.

Kegigihan Nuruddin dalam memberantas gerakan wujudiyah adalah konsekuensi logis dari penalarannya dalam bidang teologi. Ia memang dikenal sebagai seorang ortodoks dan bersemangat besar dalam memurnikan ajaran Islam. Dalam Sirat al-Mustakim, ia berkomentar dengan nada sinis tentang Hikayat Inderaputera. Menurutnya, seperti juga Hikayat Seri Rama, hikayat ini dapat digunakan di dalam jamban saja, oleh karena di dalamnya nama Allah tidak disebut-sebut (Braginsky, 1998: 293).

Nuruddin menulis beberapa kitab khusus untuk melawan premis-premis wujudiyah, antara lain Hill az-Zill (Sifat Bayang-bayang), Syifat al-Qulb (Pengobatan Hati), Tibyan fi Ma‘rifat al-Adyan (Penjelasan tentang Kepercayaan), Hujjat al-Siddiq li Daf az-Zindiq (Pembuktian Ulama dalam Membantah Penyokong Bidah), Asrar al-Insan fi Ma‘rifat ar-Ruh wal ar-Rahman (Rahasia Manusia dalam Pengenalan Ruh dan Yang Maha Pengasih).

Posisi teologis Nuruddin dapat dilacak hingga seorang sufi India yang terkenal, Ahmad Sirhindi (1593-1624), walaupun seakan-akan tidak ditemukan petunjuk tentang hal ini. Karena, pandangan Nuruddin umumnya sangat dekat dengan aliran wahdat asy-syuhud yang dikembangkan oleh Sirhindi. Yang mendekatkan dua tokoh sufi ini adalah kecenderungan mereka yang mencolok pada hukum syariat ketimbang pada pengalaman ekstasis, penarikan garis tegas antara Yang Maha Esa dengan dunia, dan kritik mereka yang tajam terhadap kecenderungan sifat-sifat bidah dalam tasawuf, antara lain sifatnya yang dalam anggapan mereka panteistis (Farman dalam via Braginsky 1998: 472).

Dalam Hujjat al-Siddiq Li daf al-Zindiq (Dalil orang Benar untuk Menolak Itikad Orang yang Zindiq), Nuruddin berpendapat bahwa wujud Tuhan adalah wujud yang hakiki, sementara segala yang lain, karena diciptakan dari ketiadaan (atau ketidakadaan), tidak mungkin menjadi analogi dari wujud yang hakiki itu. Membadingkan kedua wujud itu adalah perbuatan yang murtad. Nuruddin juga menyatakan bahwa Yang Ilahi adalah wujud yang pasti, sementara eksistensi dunia hanyalah merupakan salah satu saja dari potensi eksistensi. Tuhan adalah sang pencipta, dunia adalah ciptaan-Nya. Tidak membedakan di antara Tuhan dan dunia akan menimbulkan kebingungan di antara kaum Muslim dan menyimpang dari wahyu dan akal sehat (Piah dkk., 2002: 365).

Selain itu, Nuruddin juga menulis sebuah kitab berjudul Jawahir al-‘Ulum fi Kasyfi al-Ma‘lum (Hakikat Ilmu dalam Menyingkap Objek Pengetahuan). Di dalam kitab ini, ia berpendapat bahwa Tuhan adalah satu-satunya realitas yang hakiki. Zat Tuhan dinyatakan dengan nama-nama suci Allah (Asmaul Husna). Ada banyak nama yang digunakan oleh manusia untuk merujuk pada sifat-sifat Tuhan Yang Maha Sempurna. Sifat-sifat ini tidak dapat dipisahkan dari zat Tuhan, walaupun dalam pikiran manusia sifat-sifat itu tampak berbeda. Memisahkan antara zat hakiki Tuhan dengan sifat-sifat-Nya adalah perbuatan yang paling murtad, karena hal itu berarti menyangkal keesaan Tuhan (Ahmad Daudy dalam Piah dkk., 2002: 367).

Selanjutnya, Nuruddin memberikan daftar Sifat-sifat Ilahi, yaitu qidam (dahulu), baqa (kekal), mukhalafah al-hawadits (berbeda dengan makhluk), qiamuhu bi nafsih (berdiri sendiri), dan wahdaniyah (tunggal). Sifat-sifat Ilahi (berdasarkan analogi) ada tujuh, yaitu al-hayat (hidup), al-ilmu (mengetahui), al-qudrah (kuasa), al-iradah (kehendak), al-sama‘u (mendengar), al-basaru (melihat), dan al-kalamu (berbicara). Dari sifat-sifat ini muncullah sifat ma‘nawiyah, yaitu al-Hayatu (Yang Maha Hidup), al-‘Alimun (Yang maha Mengetahui), al-Qadiru (Yang Maha Kuasa), al-Muridu (Yang Maha Berkehendak), al-Sami‘u (Yang Maha Mendengar), al-Basiru (Yang Maha Melihat), al-Mutakallimu (Yang Maha Berfirman). Dari sifat-sifat ma‘nawiyah ini lahirlah sifat-sifat fi il yang mempunyai hubungan dengan alam makhluk, antara lain al-Khaliq (Sang Maha Pencipta), al-Raziq (Sang Pemberi Rezeki), al-Hadi (Sang Pemberi Petunjuk), al-Muhyi (Yang Maha Menghidupkan), al-Mumit (Yang Maha Mematikan), dan lain-lain (Ahmad Daudy 1983: 94-95 via Piah dkk., 2002: 366).

Dalam karya-karya polemiknya terhadap Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin selalu menuduh mereka sebagai pendakwah ajaran-ajaran bidah yang sesat, bahwa Allah bersifat imanen belaka, tidak transenden, dan dunia ini kekal. Menurut Nuruddin, mereka juga tidak mengakui bahwa Al-Quran tidak bersifat makhluk, yaitu tercipta. Lebih dari itu semua, demikian menurut Nuruddin, mereka bahkan mendewakan diri sendiri, dengan penegasannya bahwa tidak ada perbedaan antara mereka dan Allah. Lebih lanjut Nuruddin berusaha membuktikan, bahwa ajaran mereka sama dengan Zoroasterisme dan agama Kristen, dengan Vedanta Hindu dan Buddhisme Mahayana di Tibet, dengan Kadariyyah, Mutazillah, dan doktrin “falasifah” (Braginsky, 1998: 472).

Uraian Nuruddin tentang konsep-konsep Hamzah Fansuri dan Syamsuddin dikemukakan dalam bentuk pemutarbalikan dan bernada karikatural. Sementara itu Nuruddin, seperti halnya kalangan pengikut awam wujudiyah, tidak selalu bisa memahami istilah-istilah campuran Arab-Melayu yang digunakan lawannya. Misalnya, bagi Nuruddin sama sekali tidak jelas masalah perbedaan, yang dalam peristilahan Hamzah bersifat mendasar, yaitu antara istilah Melayu “ada”, yang merujuk pada eksistensi luar (wahmi), dan istilah Arab “wujud”, yang sesuai dengan eksistensi dalam (hakiki) (Attas dalam Braginsky, 1998: 472).

Walaupun sepintas lalu lawan-lawan ideologi utama Nuruddin adalah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin, tetapi sesungguhnya ia pun lebih menentang para pengikut mereka yang memang besar pengaruhnya dikalangan rakyat dan penguasa Aceh. Dalam hal ini, Nuruddin tidak hanya hendak mempertahankan kemurnian Islam semata-mata (Braginsky, 1998: 472), tetapi agaknya juga ingin merebut dan mempertahankan tempat di sisi Sultan Iskandar Tani.

Selama beberapa saat, Nuruddin berhasil membungkam aliran wujudiyah. Tetapi aliran itu bangkit kembali di Aceh tak lama setelah Sultan Iskandar Tani mangkat, dan akhirnya bahkan tersebar hingga ke daerah-daerah lain, seperti Jawa, yang kemudian memperoleh bentuk sebagai doktrin manunggaling kawulo gusti (Teeuw, 1994: 67).

2. Sejarah

Dalam bidang sejarah, sepak terjang Nuruddin tidak “seberingas” dalam bidang teologi. Bustan as-Salatin karangannya adalah karyatama historiografi yang menjadi dokumen penting tentang kesultanan Aceh. Karya ini merupakan titah dari Sultan Iskandar Tani. Walaupun dibebani oleh kewajiban untuk mengagungkan sang patron, tetapi pencapaian intelektual ini mengandung juga nilai-nilai historis dan sastrawi yang tinggi. Selain itu, kitab ini juga berbeda dari kitab-kitab sejarah Melayu yang lain pada masa itu terutama karena tidak lagi memasukkan mitos dan legenda.

Bustan as-Salatin ditulis antara tahun 1638-1641 dan terbagi ke dalam tujuh bagian dan terdiri dari empat puluh bab.

Bagian 1 terdiri dari tiga bab, yang membahas tentang Bumi dan ketujuh petala langit, Nur Muhammad, janji Tuhan terhadap seluruh umat manusia, arasy (tahta) Tuhan, dan sebagainya.

Bagian 2 membahas tentang sejarah nabi-nabi dan raja-raja. Dua bab terakhir pada bagian ini ditekankan pada Semenanjung Melaka dan Sumatra. Bab 12 diadaptasi dari Sejarah Melayu dan diakhiri dengan pembahasan tentang penobatan Sultan Iskandar Tani yang megah. Bab 13 membahas tentang sejarah raja-raja Aceh.

Bagian 3 menceritakan tentang para raja yang adil dan wazir yang bijak.

Bagian 4 membatas tentang raja-raja Muslim yang saleh dan para pahlawan Muslim.

Bagian 5 menceritakan tentang raja-raja yang bengis dan para bangsawan yang dungu yang berusaha memberontak kepada raja mereka.

Bagian 6 terdiri dari dua bab dan bercerita tentang orang-orang yang mulia dan rendah hati serta para pendekar yang gagah berani.

Bagian 7 membahas beragam topik, seperti kebijaksanaan, pengetahuan, pengertian, ada kaum wanita, dan mencakup juga beberapa cerita hantu yang ganjil dan menarik.

Ketika menulis Bustan as-Salatin, Nuruddin berusaha keras agar karya ini dapat menyamai atau bahkan melebihi kitab legendaris Taj as-Salatin—ia memang gemar berpolemik, seperti yang terlihat dalam karya-karya polemisnya dengan aliran wujuidyah yang cukup banyak. Karena itulah tema-tema dalam kedua kitab ini hampir sama, tetapi Nuruddin menambahkan pembahasan yang luas tentang sejarah lokal. Nuruddin juga berusaha mengikuti jejak Tas as-Salatin dengan menggunakan bentuk sajak yang diambil dari khasanah Persia, yaitu syair, seperti terlihat pada bait dari bab 13 Bagian 2 ini: Ialah perkasa terlalu berani, Turun-temurun nasab Sultani, Ialah menyunjung inayat rahmani, Bergelar Sultan Iskandar Tani.

(Braginsky, 1998: 335)

Menilik isinya, Bustan as-Salatin merupakan sebuah gubahan ensiklopedis yang menggabungkan genre “sejarah universal” dengan “cermin didaktis”. Karangan ini begitu besar sehingga tidak tersimpan sebuah pun naskah yang mengandung semua babnya. Biasanya naskah-naskahnya berisi hanya satu atau dua-tiga bab tertentu (Braginsky, 1998: 336).

Bustan memberikan gambaran tentang Aceh pada abad ke-17, walaupun Nuruddin sama sekali tidak menyebutkan tentang Hamzah Fansuri—tetapi Nuruddin menyebutkannya dalam beberapa kitab lain. Namun, kitab ini sering dianggap gagal dan tidak mampu menyamai kebesaran Taj as-Salatin.

Jika dibandingkan, maka Taj as-Salatin adalah sebuah kitab teologis-etis. Maka yang ditunjukkan oleh kitab ini adalah, bagaimana hukum Ilahi menegakkan harmoni dunia, yang di dalam kehidupan masyarakat diwujudkan dalam pemerintahan yang bersendi atas akal dan keadilan. Perjalanan sejarahnya pun, misalnya dalam hal genealogi raja-raja Iran sebelum Islam, pada hakikatnya tidak lain merupakan ilustrasi untuk konsepsi etika yang dirumuskan oleh Bukhari al-Jauhari, sang pengarangnya. Melalui perumusan itu, bangsa Melayu diberi kemungkinan untuk masuk ke dalam golongan Islam yang berbudaya.

Adapaun Bustan as-Salatin adalah sebuah kitab yang bersifat teologis-historis. Di dalamnya dilukiskan gambaran dinamis tentang penciptaan alam semesta dan kelanjutan proses itu, yaitu sejarah dunia, namun terutama sejarah dunia Islam. Pada pasal-pasal terakhir bab sejarahnya, Bustan dengan tegas memasukkan sejarah bangsa Melayu ke dalam sejarah dunia yang dipaparkan sebelumnya. Dengan demikian ia seakan-akan menamatkan pekerjaan yang dimulai oleh pengarang Sejarah Melayu, yang kroniknya dari versi tahun 1612 diketahui dengan baik oleh syek kelahiran Gujarat ini (Braginsky, 1998: 339).

Berdasarkan uraian tersebut, dunia Melayu, melalui sejarahnya yang bermula dari Iskandar Zulkarnain, mempunyai akarnya di dalam sistem budaya Islam. Barulah kemudian kepada bangsa Melayu dianjurkan konsepsi tentang etika sosial, tingkah laku raja-raja dan pembesar-pembesar negara, seperti yang yang diceritakan dalam Tas as-Salatin, juga tentang dasar-dasar pendidikan dan ilmu pengetahuan Islam.

C. Karya

Secara keseluruhan, Nuruddin Ar-Raniri menulis sekitar tiga puluh naskah, di antaranya adalah:

Karya-karya Besar Syeikh Nurruddin Ar-Raniry: 1. Kitab Al-Shirath al-Mustaqim (1634) 2. Kitab Durrat al-faraid bi Syarh al-‘Aqaid an Nasafiyah (1635) 3. Kitab Hidayat al-habib fi al Targhib wa’l-Tarhib (1635) 4. Kitab Bustanus al-Shalathin fi dzikr al-Awwalin Wa’l-Akhirin (1638) 5. Kitab Nubdzah fi da’wa al-zhill ma’a shahibihi 6. Kitab Latha’if al-Asrar 7. Kitab Asral an-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman 8. Kitab Tibyan fi ma’rifat al-Adyan 9. Kitab Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah 10. Kitab Hill al-Zhill 11. Kitab Ma’u’l Hayat li Ahl al-Mamat 12. Kitab Jawahir al-‘ulum fi Kasyfi’l-Ma’lum 13. Kitab Aina’l-‘Alam qabl an Yukhlaq 14. Kitab Syifa’u’l-Qulub 15. Kitab Hujjat al-Shiddiq li daf’I al-Zindiq 16. Kitab Al-Fat-hu’l-Mubin ‘a’l-Mulhiddin 17. Kitab Al-Lama’an fi Takfir Man Qala bi Khalg al-Qur-an 18. Kitab Shawarim al- Shiddiq li Qath’I al-Zindiq 19. Kitab Rahiq al-Muhammadiyyah fi Thariq al-Shufiyyah. 20. Kitab Ba’du Khalg al-samawat wa’l-Ardh 21. Kitab Kaifiyat al-Shalat 22. Kitab Hidayat al-Iman bi Fadhli’l-Manaan 23. Kitab ‘Aqa’id al-Shufiyyat al-Muwahhiddin 24. Kitab ‘Alaqat Allah bi’l-‘Alam 25. Kitab Al-Fat-hu’l-Wadud fi Bayan Wahdat al-Wujud 26. Kitab ‘Ain al-Jawad fi Bayan Wahdat al-Wujud 27. Kitab Awdhah al-Sabil wa’l-Dalil laisal li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil 28. Kitab Awdhah al-Sabil laisan li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil. 29. Kitab Syadar al-Mazid 30. dll

D. Pengaruh

Walaupun dianggap lebih rendah ketimbang Taj as-Salatin, Bustan as-Salatin adalah karyatama yang tetap dibaca orang bahkan setelah Nuruddin meninggal. Kitab ini kemungkinan besar juga mempengaruhi pengarang Hikayat Hang Tuah karena pelukisan tentang taman istana Istanbul di dalam karya itu mengambil contoh dari pelukisan Nuruddin tentang taman istana Sultan Iskandar Tani (Piah dkk., 2002: 440).

Selain itu, posisi Nuruddin Ar-Raniri yang cenderung pro-hukum syariat ketimbang pengalaman ekstasis dalam pengalaman ilahiah masih dapat dilihat juga dalam pertentangan antara, misalnya, Wali Songo di Jawa dengan paham manunggaling kawulo gusti di Jawa, yang disebarkan oleh sosok semi-mitis Syeh Siti Jenar. Sedangkan gaya historiografinya yang tidak lagi memperhitungkan mitos dan legenda secara ketat adalah gaya penulisan yang merupakan alternatif segar bagi historiografi Islam-Melayu, yang baru dipraktekkan lagi secara utuh pada masa modern.

Daftar Bacaan:

    * Braginsky, K.I., 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS
    * Harun Mat Piah, dkk., 2002. Traditional Malay Literature. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
    * Teeuw, A., 1994. Iindonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya