wartawan singgalang

Minggu, 28 Agustus 2016

Gus Dur dalam Bingkai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah

Gus Dur dalam Bingkai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
Oleh : Ahmad Damanhuri

    Sumatera Barat atau Minangkabau memiliki falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Artinya, adat atau tradisi yang berlangsung di tengah masyarakat selalu bersendi kepada syarak atau agama (Islam). Dan agama Islam itu sendiri jelas bersendi ke Kitabullah, yakni al-Quran. Falsafah ini lahir adalah perpaduan antara pemangku agama dengan pemangku adat.
    KH. Abdurrahman Wahid yang paling populer dengan sebutan Gus Dur menilai, bahwa ABS-SBK di Minangkabau sangat cocok sebenarnya dengan ajaran Ahlussunah wal jamaah yang dikembangkan di Nahdlatul Ulama (NU). “ABS-SBK itu, ya Aswaja,” kata dia saat menghadiri acara Basafa di komplek makam Syekh Burhanuddin, Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat pada tahun 2008 silam.
    Falsafah ini muncul pertama kali ketika peristiwa Sumpah Satie Bukik Marapalam di dengungkan tahun 1837. Peristiwa ini terjadi seusai Perang Paderi. Rusli Amran dalam Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang menyebutkan, sumpah ini lahir dari win-win solution demi mempertautkan kembali Minangkabau yang terbelah akibat Perang Paderi.
    Setelah sumpah ini digemakan, kaum adat dan kaum syarak atau agama pun saling berangkulan dan melupakan konflik di antara mereka yang berlangsung lebih dari 30 tahun. Hasil dari Sumpah Satie Bukik Marapalam itu dituangkan dalam filsafat adat berbunyi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah". Syarak mangato-Adat mamakai. Adat yang buruk dibuang, adat yang baik dipakai. Syara dengan adat bagaikan aur dan tebiang, yang saling sandar manyandar kaduanya.
    Maksudnya, adat Minangkabau itu didasarkan pada agama Islam, dan agama berdasarkan kitabullah atau Alquran. Agama memberikan fatwa, adat melaksanakannya. Adat yang baik adalah sesuai dengan norma-norma Islam, harus dipertahankan. Sementara adat yang buruk, yang bertentangan dengan Islam, harus dibuang. Antara syarak (agama) dan adat tidak dipertentangkan sebagai filosofi pandangan hidup orang Minangkabau.
    Seperti kita ketahui, setiap bulan Syafar ada acara Basafa namanya di komplek makan Syekh Burhanuddin. Dan selama sebulan itu, kegiatan Basafa dilakukan dua kali. Orang Syattariyah yang menjadi peserta Basafa menyebutnya dengan; Safa Ketek dan Safa Gadang. Gus Dur hadir saat puncaknya Basafa, yakni Safa Gadang. Tak tanggung-tanggung. Ribuan umat Islam dari berbagai belahan daerah di Sumatrera Barat hadir saat itu.
    Kunjungan Gus Dur ke makan penyebar Islam di Minangkabau melalui Tareqat Syattariyah saat itu merupakan kunjungan kedua kalinya, setelah sebelumnya Presiden RI ketiga itu berkunjung ke Sumbar pada 2002, saat melantik pengurus DPW PKB Sumbar. Sebenar, pengakuan Gus Dur saat itu dia sudah lama ingin ziarah ke makam Syekh Burhanuddin itu. Namun, karena berbagai hal dan kesibukan yang amat padat, baru tahun 2008 itu dia bisa hadir untuk ziarah. Dan momennya sangat pas pula, saat umat Islam Syattariyah sedang berkumpul bersama di makam orang yang sangat mereka hormati.
    Dihadapan banyak orang, termasuk waktu itu Ali Mukhni yang kala itu menjabat Wakil Bupati Padang Pariaman ikut melihat dan mendengarkan langsung apa yang disampaikan Gus Dur, tentang konsep ABS-SBK dan Aswaja yang menjadi landasan bagi NU dalam mengembangkan nilai-nilai di tengah masyarakat.
    Kenapa falsafah demikian yang menjadi kekuatan kultur masyarakat Minangkabau? Bila kita telusuri lebih dalam lagi, memang benar adanya bahwa secara kultur masyarakat Sumbar itu penganut faham Aswaja. Kiai di Jawa, sama halnya dengan Tuanku di Minangkabau. Kedua gelar itu dimiliki oleh orang-orang pesantren. Mereka dapat tempat dan sangat dihormati di tengah komunitasnya sendiri.
    Tradisi yang dibawa Syekh Burhanuddin dulunya, adalah tradisi yang saat ini terus dikembangkan oleh para Tuanku hasil lulusan pesantren. Mereka para Tuanku yang pada umumnya mendirikan lembaga pendidikan pesantren, yang istilah Minangkabau-nya adalah surau setelah mereka tamat di suatu persantren. Dan pesantren ala surau itu lumayan berkembang dengan dinamikanya di tengah masyarakat.
    Surau itulah tempat memperdalam ABS-SBK dan ajaran Islam Aswaja. Hanya saja lembaga NU yang kurang dapat tempat di daerah ini. Sumbar telah dicap oleh orang Jawa sebagai gudangnya Muhammadiyah. Padahal, organisasi yang berdiri pada tahun 1912 di Yogyakarta itu hanya berkembang di bagian perkotaan saja. Untuk masyarakat perkampungan atau di nagari-nagari, yang paling dominan itu adalah penganut paham Aswaja.
    Dan itu sangat kuat hingga saat ini. Dari dulu sampai sekarang, yang namanya tradisi mengajikan orang meninggal sampai 100 hari masih begitu kuat di tengah masyarakat Sumatera Barat. Begitu juga Shalat Tarawih 23 rakaat juga masih banyak dan dominan, dan tradisi lainnya yang berhubungan dengan agama Islam itu sendiri.
    Kehadiran Gus Dur saat itu mendapat tempat di hati masyarakat. Orang yang sebelumnya memang Gus Dur hanya dari berita-berita media massa, akhirnya percaya kalau Gus Dur betul-betul seorang ulama besar dan hebat. Gus Dur mengaku, Syeh Burhanuddin, Ulakan (1646 – 1704) adalah ulama besar yang sangat dihormatinya.
    Ulama ini telah diterbitkan dalam tulisan Arab Melayu oleh Syehk Harun At-Tobohi al Faryamani (1930) dengah judul Riwayat Syehk Burhanuddin dan Imam Maulana Abdul Manaf al Amin dalam Mubalighul Islam. Buku ini menerangkan dengan jelas mengenai diri Pono, yang kemudian bergelar Syehk Burhanuddin. Diceritakan dengan jelas kehidupan keluarga, masa mengenal Islam dengan Tuanku Madinah kemudian berlayar ke Aceh untuk menimba ilmu kepada Syehk Abdurrauf al Singkli.
    Syehk Burhanuddin adalah salah seorang murid Syehk Abdur Rauf al-Singkli yang dikenal juga dengan panggilan Syehk Kuala. Sekembali dari Aceh, Syehk Burhanuddin membawa ajaran Tarikat Syattariyah ke Ulakan pada bagian kedua abad ke-17. Dari Ulakan ajaran tarikat menyebar melalui jalur perdagangan di Minangkabau terus ke Kapeh-kapeh dan Pamansiangan, kemudian ke Koto Laweh, Koto Tuo, dan ke Ampek Angkek.
    Di sebelah barat Koto Tuo berdiri surau-surau tarikat yang banyak menghasilkan ulama. Daerah ini dikenal dengan nama Ampek Angkek, berasal dari nama empat orang guru yang teruji kemasyhurannya. Murid-murid yang belajar di surau Syattariah terbuka untuk mempelajari seluruh rangkaian pengetahuan Islam. Salah satu buku yang dipelajari Syehk Burhanuddin dan murid-muridnya adalah karya Abdurrauf yang memperlihatkan penghargaan yang tertinggi terhadap “syariat”. Beberapa surau Syattariyah mempelajari cabang ilmu agama, sehingga terjadi spesialisasi pengajaran agama Islam di Minangkabau. Masing-masing surau itu memperdalam salah satu cabang ilmu agama, seperti: Surau Kamang dalam ilmu alat (nahu sharaf dan tata bahasa Arab), Koto Gadang dalam mantik ma’ani, Koto Tuo dalam ilmu tafsir Quran, tarbiyah dan hadith), Surau Sumanik dalam ilmu faraidh (pewarisan) hadits; Surau di Talang dalam badi’, maani dan bayan (tata bahasa Arab).

Rabu, 24 Agustus 2016

90 Tahun Jam’iyyah Nahdlatul Ulama


90 Tahun Jam’iyyah Nahdlatul Ulama
Oleh: Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng

Ajaran Ahlus sunnah wal Jamaah (Aswaja) yang menjadi pegangan jemaah dan jam’iyyah Nahdlatul Ulama sudah hadir di Nusantara sejak sekitar 1.000 tahun lalu. Ajaran itu dibawa penyebar Islam yang bersedia berdialog dengan budaya setempat dan memakai media tradisional dalam menyebarkan Islam.Pesantren yang menjadi salah satu pusat penyebaran Islam adalah lembaga pendidikan tertua di Nusantara. Pesantren tertua yang kini masih aktif adalah Pesantren Sidogiri, berdiri pada 1718.

Pesantren Tebuireng didirikan pada 1899 oleh KH Hasyim Asy’ari, jadi daya tarik bagi para pemuda berpotensi dari berbagai daerah. Sejumlah santri terpilih yang dibina khusus oleh KH. Hasyim Asy’ari kemudian mendirikan pesantren di tempat mereka tinggal setelah meninggalkan Tebuireng. Pesantren-pesantren itu kelak menjadi pesantren besar, seperti Lirboyo, Ploso Kediri, Tegalrejo Magelang, dan Denanyar Jombang.

Pesantren-pesantren yang didirikan oleh alumni Tebuireng itu membentuk jama’ah (komunitas) penganut paham Islam Ahlus sunnah wal Jamaah (Aswaja), yang mengikuti mazhab empat (terutama mazhab Syafi’i). Para kiai dari komunitas pesantren itu merasakan kebutuhan untuk mendirikan jam’iyyah (organisasi) untuk bisa meningkatkan pengabdian mereka.

Penggagas awal berdirinya jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) adalah KH. A. Wahab Hasbullah, santri KH. Hasyim Asy’ari. Kiai Wahab menyampaikan usul itu kepada gurunya yang merupakan tokoh utama para kiai pesantren di Jawa, karena paham bahwa organisasi NU hanya akan bisa tumbuh kalau dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari.  Setelah mendapat perintah dua kali dari Syaikhona Kholil, guru yang dihormatinya, KH. Hasyim Asy’ari menyatakan berdirinya organisasi NU pada 31 Januari 1926 (17 Rajab 1344).

Mandiri dan maju

Organisasi NU lalu dikembangkan melalui jaringan pesantren, terutama alumni Pesantren Tebuireng, yang tersebar di banyak tempat. Ternyata metode itu amat efektif. Tahun 1935, NU punya 68 cabang dengan 67.000 anggota. Tahun 1938, berkembang jadi 99 cabang, termasuk di luar Jawa. Organisasi baru ini tumbuh secara mandiri. Sampai 1940, setiap tahun diselenggarakan 15 muktamar. Itu menunjukkan bahwa organisasi NU dikelola dengan baik, dilandasi ruh jihad yang kuat.

Pada 1937 MIAI didirikan sebagai bagi seluruh organisasi Islam seperti Muhammadiyah, NU, Serikat Islam, dan banyak lagi lainnya termasuk dari luar Jawa. MIAI adalah wadah pergerakan Umat Islam mempersiapkan kemerdekaan. Pada Oktober 1943 MIAI dibubarkan oleh pihak Jepang dan sebagai gantinya dibentuklah Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) dengan Ketua KH. Hasyim Asy’ari dan Wakil Ketua KH. Mas Mansyur serta KH. A. Wahid Hasyim.

Pimpinan Militer Jepang juga membentuk Shumubu (semacam kantor agama) di Jakarta dan berbagai daerah. Untuk pemimpin Shumubu tingkat Nasional ditunjuk KH. Hasyim Asy’ari yang sehari-hari diwakili oleh KH. A. Wahid Hasyim. Dengan memimpin Shumubu dan tinggal di Jakarta, KH. A. Wahid Hasyim bisa berkomunikasi dengan tokoh pergerakan kemerdekaan dan masuk ke dalam Panitia Sembilan BPUPKI (yang membersiapkan Pembukaan UUD 1945.

Para Tokoh NU memanfaatkan latihan kemiliteran bagi santri oleh Jepang, dengan membentuk Lasykar Hizbullah. Dalam membentuk TNI, Lasykar Hizbullah menjadi salah satu unsur PETA dan eks-KNIL. Pada  Oktober 1945, para ulama NU mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad yang menggelorakan semangat jihad pemuda di Surabaya dan sekitarnya sehingga terjadi pertempuran sengit menghadapi tentara sekutu pada November 1945.

Keislaman dan Kebangsaan

Dalam Muktamar 1938 di Banten, NU menyatakan Hindia Belanda sebagai “Dar al-Islam”, artinya negeri yang dapat diterima umat Islam. Alasannya, penduduk Muslim dapat menjalankan syariat Islam yang dilakukan oleh para pegawai yang juga Muslim. Ini pertama kalinya NU menerapkan tradisi Sunni dalam pengesahan kekuasaan yang dapat diterima bila berfaedah bagi kehidupan beragama.

Walaupun sudah menerima Hindia Belanda sebagai “Dar al-Islam”, dalam persidangan BPUPKI, bersama ormas Islam lain NU memperjuangkan Islam menjadi dasar negara. Komprominya ialah Mukadimah UUD yang terkenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”. Di dalamnya tercantum bahwa dasar negara ialah Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya. Pada 18 Agustus 1945 beberapa tokoh Islam bertemu Bung Hatta untuk membahas penolakan kelompok Kristen di Indonesia Timur terhadap “tujuh kata Piagam Jakarta” itu. Menghadapi pilihan sulit itu, para tokoh Islam itu setuju untuk mencoret tujuh kata itu sehingga sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam persidangan Konstituante (1956-1959), partai-partai Islam  meneruskan perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dalam pemungutan suara, dasar negara Pancasila meraih suara di atas 56 persen dan dasar negara Islam meraih lebih dari 43 persen. Karena Konstituante mengalami jalan buntu, akhirnya Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam pertimbangan dekrit itu, dinyatakan Piagam Jakarta menjadi bagian tidak terpisahkan dari UUD 1945 dan menjiwainya.

PBNU membentuk tim yang diketuai oleh KH. Achmad Siddiq untuk menyusun naskah tentang “Hubungan Islam dengan Pancasila”. Pada Desember 1983, naskah tersebut dipaparkan Kiai Achmad Siddiq di depan Munas Alim Ulama NU. Walaupun amat sulit, para ulama NU bisa diyakinkan untuk menerima naskah itu. Pada Muktamar NU 1984, naskah itu ditetapkan sebagai keputusan muktamar.

NU dan partai politik

Pada 1945, NU bergabung dalam Partai Masyumi di mana KH. Hasyim Asy’ari menjadi Ketua Majelis Syuro. Pada tingkat nasional terdapat perbedaan mencolok antara tokoh-tokoh NU dengan tokoh-tokoh Masyumi. Tokoh-tokoh NU adalah lulusan pesantren dan tokoh-tokoh Masyumi adalah lulusan sekolah Barat dan universitas. Selain itu, juga terdapat perbedaan pemikiran keagamaan. Pada 1952, NU keluar dari Masyumi dan mendirikan Partai NU, yang jadi pemenang ketiga Pemilu 1955.

Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno pada 1960 dan PKI dibubarkan oleh Pak Harto pada 1966. PNI merosot karena sebagian tokohnya terlalu dekat dengan PKI. Sementara itu muncul kekuatan politik baru yaitu Golongan Karya (Golkar). Dalam Pemilu 1971, Partai NU yang masih berjuang untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, adalah partai yang paling lantang mengkritisi pemerintah. Tak heran jika banyak juru kampanye NU diturunkan pihak keamanan dari podium kampanye. Aktivis NU di Departemen Agama diharuskan memilih jadi PNS atau NU. Maka, NU kehilangan banyak tokohnya.
?   Pesantren Tebuireng Tutup Safari Ramadan di Masjid at Taqwa Perak

Pada 1973, Partai NU bergabung dengan  partai-partai Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PNI bergabung dengan sejumlah partai menjadi PDI. Walau unsur terbesar di dalam PPP, NU kurang berperan akibat intervensi pemerintah. Pada Muktamar 1984, NU menegaskan Khittah NU 1926 yang antara lain menegaskan NU menjaga jarak yang sama terhadap semua partai Islam. Penegasan itu dimaknai NU keluar dari PPP. Maka, di berbagai daerah tokoh-tokoh NU muncul sebagai aktivis Golkar.

Hanya 14 tahun NU mampu tidak terlibat dalam politik praktis. Pasca Orde Baru, saat pemerintahan BJ Habibie membuka kesempatan mendirikan partai baru untuk bisa ikut dalam Pemilu 1999, lima  tokoh PBNU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah penyaluran aspirasi politik warga NU. PKB berhasil mengantarkan Gus Dur menjadi presiden ke-4 RI. NU bergeser dari ranah masyarakat sipil menuju ranah politik. Kini timbul kesan kuat bahwa NU meninggalkan Khittah NU 1926 dalam masalah politik. PKB yang dimaksudkan sebagai sayap politik NU, kini justru terkesan mengendalikan organisasi NU dan organisasi di bawah NU. Nuansa paradigma partai politik dan pragmatisme amat terasa di dalam organisasi NU dan sejumlah badan otonom di bawahnya.

Perbedaan Tafsir Aswaja

Ketika Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU (1984-1999) terjadi perubahan mendasar. Gus Dur mampu mendinamisasi organisasi NU secara luar biasa. Banyak pihak mengatakan bahwa Gus Dur telah membuka jendela pesantren untuk bisa melihat dunia luar.   Para pemuda tamatan pesantren merasakan adanya iklim yang mendorong mereka untuk berani melakukan pengembaraan keilmuan. Keadaan itu diperkuat dengan adanya kesempatan bagi banyak anak muda dari kalangan pesantren untuk melanjutkan pendidikan di berbagai universitas di negara Barat.

Kenyataan seperti itu tentu menimbulkan adanya perubahan tafsir terhadap ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) al-Nahdliyah yang selama ini menjadi dasar dan acuan berpikir bagi organisasi NU. Ajaran itu tercantum di dalam Qanun Asasi yang disusun oleh KH Hasyim Asy’ari. Secara sederhana Aswaja NU dirumuskan sebagai ajaran yang dalam fiqh mengikuti imam empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali). KH Bisri Mustofa menambah rumusan itu : dalam akidah mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi, dan dalam tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junaid al Baghdadi.

Sejak lama sejumlah anak muda dan tokoh NU menyatakan perlunya dilakukan redefinisi terhadap konsep Aswaja NU. Mohammad Luthfi Tomafi (alumni al Azhar Kairo) menulis (2002) bahwa konsep Aswaja NU sudah terasa sempit. Pada tataran fiqh, keempat madzhab yang diresmikan NU sudah nyata-nyata tidak mampu menampung kompleksitas persoalan saat ini. Dr Said Aqiel Siradj (SAS) menyatakan didepan Musyawarah Pimpinan PMII (1995) bahwa “batasan tentang Aswaja yang dikemukakan oleh KH Hasyim Asy’ari itu membuat kita agak risih, katakan saja cukup memalukan karena kesederhanaannya”. Pemuda-pemuda NU yang dulu menggugat konsep Aswaja karena dianggap sempit dan tidak bisa mengikuti tuntutan keadaan, kini sudah menjadi tokoh didalam PBNU.

Sebagian besar ulama NU masih berpegang pada Aswaja NU sesuai rumusan KH. Hasyim Asy’ari. Mereka  sependapat bahwa konsep Aswaja KH. Hasyim Asy’ari memungkinkan perubahan pola bermadzhab, dari secara “qauli” (produknya) menuju secara “manhaji” (metodologis). Mereka kuatir ada rencana sistematik untuk mengubah ajaran Aswaja KH. Hasyim Asy’ari yang dianggap sudah tidak sesuai dengan tuntutan keadaan.

Masalah perbedaan tafsir terhadap Aswaja NU itu harus diselesaikan dengan baik. Siapapun juga tidak berhak untuk melarang SAS dkk serta tokoh-tokoh muda NU untuk menganggap bahwa rumusan Aswaja Kyai Hasyim Asy’ari dianggap sempit dan terlalu sederhana, tetapi mereka tidak bisa mengubahnya begitu saja dengan mengabaikan pendapat mayoritas. Untuk mengetahui dengan jelas pendapat mayoritas ulama, yang ideal tentu diadakan semacam referendum. Perlu dipahami bahwa kekuatan NU terletak pada jama’ah (komunitas) bukan pada jam’iyyah (organisasi).

Perlu dirawat

Organisasi NU didirikan oleh para ulama yang penuh keikhlasan, jauh dari popularitas. NU pernah diejek sebagai kelompok sarungan, “teklekan”, dan dianggap oportunis saat menjadi partai politik, serta ketinggalan zaman. Kini banyak kiai NU tidak canggung memakai sarung tampil dalam berbagai kesempatan, termasuk di Istana Merdeka, bahkan Presiden hadir dalam pembukaan Muktamar NU dengan memakai sarung.

Bersama Muhammadiyah, NU kini menjadi organisasi dan komunitas yang dianggap sebagai pengawal negara dan penjaga moral bangsa. Tentu itu harus disyukuri dengan merawatnya sesuai harapan para ulama pendiri NU. Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa santri yang baik adalah santri yang ketika pulang ke rumah masing-masing bisa menerapkan apa yang diperolehnya di pesantren. Berarti para santri harus menunjukkan akhlak dan moralitas ketika tamat dari pesantren dan bergiat sebagai apa pun.

Untuk bisa berperan menjadi penjaga moral bangsa, terlebih dulu moral para petinggi NU harus baik. Petinggi NU harus bisa betul-betul menjadi pemimpin. Petinggi NU harus belajar pada pemimpin NU masa lalu, terutama saat NU belum menjadi partai politik, karena NU kini bukan partai politik.

Petinggi NU harus bisa menjadi negarawan bukan politisi. Roh jihad yang amat menipis perlu segera ditumbuhkan kembali. Petinggi NU harus bisa betul-betul memberi manfaat bagi NU, bukan hanya pandai memanfaatkan NU.

*Artikel ini adalah versi lengkap dan yang asli dari yang pernah dimuat oleh Harian Kompas tanggal 30 Januari 2016.

Senin, 22 Agustus 2016

"Menjual" Nagari Sungai Buluah ke Mancanegara

"Menjual" Nagari Sungai Buluah ke Mancanegara

Agung Prana menceritakan, ketika ia memulai memperbaiki kerusakan terumbu karang di Desa Pemuteran, Kabupaten Buleleng kondisinya begitu sulit. Sebab masyarakat nelayan setempat sudah sangat terbiasa menangkap ikan menggunakan bom ikan. Bahkan masyarakat menuding ia menghambat mata pencarian mereka, sehingga tidak jarang ada yang berkata kasar kepadanya.

Tetapi Prana tidak menyerah dan terus berupaya mengedukasi masyarakat untuk menghentikan perusakan terumbu karang.  Berkat kegigihannya lambat laun masyarakat tertarik dengan program-program rehabilitasi yang ditawarkannya.

Prana tidak jarang membawa rombongan masyarakat Desa Pemuteran untuk melakukan studi banding ke tempat-tempat wisata yang ada di Bali untuk mempelajari apa saja yang harus dilakukan agar desanya menarik untuk dikunjungi wisatawan.

“Tentu saja daerah tersebut harus memiliki alam yang indah dan segar, memiliki berbagai fasilitas yang dibutuhkan wisatawan seperti makanan yang enak dan murah, fasilitas telekomunikasi, bahkan homestay untuk bermalam,” kata Agung Prana dalam diskusi dengan rombongan wartawan dari Jakarta dan Padang di Nagari Sungai Buluh, Padang Pariaman, Minggu, 12 Juni 2016.

Dan yang paling penting, kata Prana, sosial masyarakat setempat bersahabat terhadap wisatawan yang datang, sehingga mereka merasa nyaman berada di tempat tersebut, bahkan untuk jangka waktu lama sekalipun.

Berkat kegigihan Agung Prana sekarang Desa Pemuteran di Buleleng menjadi destinasi wisata desa di Bali dengan terumbu karang terpelihara dengan baik.  Masyarakat di Pemuteran merasakan manfaat yang besar dari ekowisata tersebut.  Bahkan Desa Pemuteran telah meraih berbagai penghargaan nasional maupun internasional, seperti memperoleh Kalpataru pada 2005,  The Equator Prize, dan UNDP Special Award.

Sedangkan di Sungai Buluh, menurut Agung Prana, kondisinya sudah layak jual. Sebab pemandangan alamnya menarik dengan hutan yang terhampar di kawasan Bukit Barisan dialiri sungai Batang Buluh yang airnya begitu jernih. Apalagi jarak dari Bandara BIM atau Kota Padang begitu dekat, hanya sekira 25 menit.

“Tinggal lagi mengedukasi masyarakat untuk menjaga kelestarian alam tersebut, sehinggga nantinya masyarakat bisa merasakan manfaat langsung  untuk meningkatkan kesejahteraannya,” katanya.

Kawasan hutan di Nagari Sungai Buluh sudah mendapatkan izin pengelolaan dari Menteri Kehutanan Nomor SK.856/Menhut-II/2013 tanggal 2 Desember 2013 tentang Penetapan Areal Kerja (PAK) Hutan Nagari Sungai Buluh seluas 1.336 Ha.

Dengan jangka waktu pengelolaan 35 Tahun tersebut masyarakat dapat memanfaatkannya untuk pemungutan hasil hutan bukan kayu dan pemanfaatan jasa lingkungan dengan tetap mengutamakan kelestarian hutan, serta menjaganya dari berbagai aktivitas ilegal yang dapat merusak hutan.

Ketua Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Sungai Buluh A. Dt. Rajo Batuah mengatakan, saat ini LPHN Sungai Buluh sedang mengembangkan berbagai sektor sebagai upaya pemanfaatan tersebut.  Seperti pengembangan ekowisata di Pemandian Lubuk Kandih dan Air Terjun Sarasah yang sudah ramai dikunjungi wisatawan lokal, serta akan dibangun juga berbagai fasilitas penunjang ekowisata tersebut seperti gapura, loket, toilet, dan dalam waktu dekat juga akan dibuat rumah pohon.

Ia berharap berbagai potensi alam nagari Sungai Buluah ini semakin memotivasi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan lindung untuk menjaga kelestarian hutan.

Selain wartawan, diskusi ekowisata tersebut juga dihadiri unsur masyarakat Nagari Sungai Buluh, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Padang Pariaman, unsur Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Barat dan Dinas Pariwisata Kabupaten Padang Pariaman, serta LSM-LSM Pemerhati Lingkungan di Sumatera Barat.

Acara ini digagas oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.  Tim Kemen-LHK dipimpin Kasubid Hutan Desa, Erna Rosdiana.  Selain menghadirkan I Gusti Agung Prana turut juga dalam tim artis pencinta lingkungan Nugie Nugraha dan pemerhati lingkungan Nina Amban.

“Sengaja kita bawa mereka yang expert di bidangnya untuk berbagi ilmu dan pengalaman agar ke depan pengembangan ekowisata di Sungai Buluh lebih terarah sesuai standar yang dibutuhkan untuk sebuah desa wisata,” ungkap Erna Rosdiana.*

Menjadikan Hutan Sumber Kehidupan

Menjadikan Hutan Sumber Kehidupan

Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mengadakan kegiatan “saling belajar ke hutan hutan nagari Sungai Buluh untuk mendukung pengelolaan hutan berbasis masyarakat nagari atau skema PHBM.

Kegiatan yang berlangsung 25-26 Maret 2016 tersebut bertujuan memberikan pemahaman kepada nagari-nagari undangan tentang hutan nagari. Pemahaman dimaksud memberikan gambaran kepada peserta yang datang tentang manfaat skema PHBM dengan contoh hutan nagari di Sungai Buluh.

Dalam kegiatan saling belajar tersebut hadir perwakilan dari 39 nagari di 10 kabupaten di Sumatera Barat. Kesepuluh kabupaten adalah Dharmasraya, Sijunjung, Tanah Datar, 50 Kota, Agam, Pasaman, Padang Pariaman, Solok Selatan, Solok, dan Pesisir Selatan.

Semua perwakilan nagari yang hadir memiliki beberapa kesamaan terkait dengan hutan dan peluang skema PHBM. Nagari-nagari tersebut memiliki kawasan hutan lindung di dalam wilayah administrasi mereka. Ini bisa dilihat dari PIAPS (Peta Indikatif Perhutanan Sosial) yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ketergantungan atau interaksi nagari juga tinggi terhadap hutan. Kesamaan lainnya terkait peluang skema PHBM. Semua nagari baru atau malah kurang memahami peluang skema PHBM.

Nagari Sungai Buluh salah satu nagari dampingan KKI WARSI. Nagari ini sudah melakukan kegiatan pengelolaan hutan nagari sejak 2012. Surat Keputusan Penetapan Areal Kerja dari Kementrian Kehutanan keluar 2013 dengan nomor SK.856/Menhut-II/2013.

Selain itu Sungai Buluh juga sudah mendapatkan izin kelola dari Gubernur Sumatera Barat melalui surat Nomor 5224-789-2014. Sampai saat ini Nagari Sungai Buluh sudah menikmati hasil dari Hutan Nagari.

Nagari Sungai Buluah mulai memperlihatkan kembalinya nilai-nilai yang pernah ada di nagari-nagari di Sumatra Barat. Mereka sudah tidak lagi melihat hutan sebagai suatu yang

berada di luar dirinya atau sistem sosialnya. Mereka sudah melihat hutan sebagai suatu kesatuan dengan kehidupan masyarakatnya.

Menonton Film Dokumenter

Yang menarik dari kegiatan ini adalah semua peserta menginap di rumah warga di Jorong Salisiakan dan jorong Kuliek di Nagari Sungai Buluh. Empat atau lima peserta menginap di salah satu rumah warga.

Menginap di rumah warga ini sebagai cara berinteraksi langsung dengan masyarakat, sehingga diharapkan para peserta bisa langsung saling belajar dimulai dari rumah tempat mereka menginap.

Di rumah tersebut para peserta bisa saling diskusi, baik antar sesama mereka yang datang dari nagari yang berbeda maupun antara peserta dengan masyarakat. Antar peserta dengan masyarakat ini bisa dengan masyarakat pemilik rumah maupun masyarakat lainnya atau tetangga.

Kegiatan malam pertama diisi dengan menonton film dokumen hutan nagari wilayah dampingan KKI WARSI. Ada film tentang hutan nagari di Simancuang, hutan nagari di Simanau, dan terakhir film tentang hutan di Sungai Buluah, tempat studi banding. Film tersebut menggambarkan kegiatan LPHN (Lembaga Pengelola Hutan Nagari) di ketiga nagari dan memperlihatkan hutan dan manfaat hutan nagari bagi masyarakat di sana.

Kegiatan hari kedua diisi dengan diskusi tentang peningkat kapasitas masyarakat lokal terkait skema PHBM. Peserta dibagi empat kelompok yang membahas tema berbeda. Kelompok 1 membahas “legalitas wilayah”, kelompok 2 “resolusi konflik keruangan”, kelompok 3 “menuju kesejahteraan bersama”, dan kelompok 4 membahas tema “memperkuat hak dan identitas adat”.*

Pesan Ulama dan Penghulu Sungai Buluah

Pesan Ulama dan Penghulu Sungai Buluah

Nagari Sungai Buluh di Kabupaten Padang Pariaman memiliki pemandangan alam yang indah. Hamparan sawah menghijau dengan sungai-sungai berair jernih seakan dipagari oleh jejeran Bukit Barisan yang memanjang dari utara ke selatan.

Udaranya bersih dan suasananya tenang jauh dari kebisingan seperti di perkotaan.  Padahal secara geografis Nagari Sungai Buluh berada sangat dekat dengan Kota Padang. Bahkan dapat ditempuh sekira 25 menit saja dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM).

Wali Nagari Sungai Buluh Saharuddin mengatakan, perilaku keseharian warga Nagari Sungai Buluh bersandar kepada petuah lama “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Karena itu setiap permasalahan yang terjadi di nagari dicarikan solusinya dengan bermusyawarah untuk mufakat di bawah bimbingan penghulu dan ulama.

Di Nagari Sungai Buluh telah dibuatkan kesepakatan para ulama dan kesepakatan para penghulu dalam bentuk prasasti atau tugu. Pertama, Tugu Pesan Ulama dan kedua, Tugu Pesan Penghulu yang terletak di Korong Salisikan.

Pesan Ulama berbunyi: “Sapancuang lihie ka putuih sadatiak nyawo ka malayang nan bana katokan juo. Tegakkan kebenaran, jalankan keadilan, amar makruf nahi mungkar è Sorga.  Ingat !!!   Terbuai rayuan dunia è Neraka.”

Sedangkan Pesan Penghulu berbunyi: “Tahun bialah batuka-musim bialah baganti-maso bialah barubah-zaman bialah baraliah-nan sandi adat jan dirusak-tiang agamo jan diruntuah-budi jan sampai tajua-paham jan sampai tagadai-jago harkat & martabat.  Sesungguhnyo manusia itu adolah talatak pado harago diri.”

Setiap Jumat laki-laki di Nagari Sungai Buluh melaksanakan ibadah salat Jumat di Masjid Raya Sungai Buluh yang terletak di Korong Salisikan. Masjid yang sudah berdiri sejak abad ke-18 ini kebanggaan masyarakat Sungai Buluh.

“Bahkan telah dijadikan tempat musyawarah masyarakat nagari sejak dulunya,” kata Saharuddin.

Selain tempat-tempat yang bersifat religi, Nagari Sungai Buluh juga kaya dengan pemandangan alam. Ini karena Sungai Buluh berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung Bukit Barisan I, sehingga hamparan perbukitan menghijau dengan sungai-sungai berair jernih begitu sedap dipandang mata.

Kawasan Hutan Nagari Sungai Buluh telah ditetapkan Menteri Kehutanan sebagai Hutan Nagari sejak 2 Desember 2013. Pengelolaannya diserahkan kepada Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Sungai Buluh.

Ketua LPHN Sungai Buluh A. Dt. Rajo Batuah mengatakan, saat ini LPHN fokus mengembangkan ekowisata di Sungai Buluh, antara lain Pemandian Lubuk Kandih, wisata ikan larangan, serta jalan kaki (tracking) menuju Air Terjun Sarasah. Pengembangan ekowisata ini ditangani Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Nagari Sungai Buluh.

“Animo masyarakat untuk menikmati tempat-tempat wisata di Sungai Buluh sangat tinggi, bahkan pada saat menyambut bulan suci Ramadan kemarin tidak kurang 4 ribu orang datang mengunjungi pemandian Lubuk Kandih di Korong Kuliek,” katanya.

Ketua Pokdarwis Sungai Buluh Hendra mengatakan, dalam waktu dekat akan dibuat wisata rumah pohon dengan pemandangan langsung mengarah ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM).  Program ini merupakan bantuan dari UNDP REDD+. Lokasi rumah pohon masih berada di sekitar Lubuk Kandis dan di jalur tracking Air Terjun Sarasah.

“Dengan objek ekowisata beragam tersebut diharapkan mengundang minat wisatawan untuk beramai-ramai datang ke Sungai Buluh, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat, sebab pengunjung akan membutuhkan jasa parkir, makan-minum, pemandu, bahkan suatu saat mungkin ada yang butuh home stay dan sebagainya,” katanya.*

Rabu, 10 Agustus 2016

Pramoedya Ananta Toer Sastrawan Besar Indonesia

Pramoedya Ananta Toer
Sastrawan Besar Indonesia

Tokoh satu ini dikenal sebagai salah satu sastrawan terbesar di Indonesia. Banyak karya-karyanya yang fenomenal sehingga ia dikenal sebagai sastrawan yang sangat produktif. Artikel kali ini akan membahas mengenai biografi dan profil dari Pramoedya Ananta Toer beserta dengan biodata lengkapnya. Beliau lahir pada tanggal 6 februari 1925 di daerah Blora yang terletak di Jawa Tengah. Ayahnya bernama Mastoer Imam Badjoeri yang bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah swasta dan ibunya bernama Saidah bekerja sebagai seorang penghulu di daerah Rembang.

Masa Kecil Pramoedya Ananta Toer
Nama asli dari Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer namun lama kelamaan orang lebih mengenalnya sebagai Pramoedya Ananta Toer atau biasa dipanggil Pram.  Beliau mulai bersekolah di Sekolah Institut Boedi Utomo di Blora di bawah bimbingan ayahnya yang bekerja sebagai guru disana namun tercatat bahwa Pramoedya beberapa kali tidak naik kelas. Tamat dari Boedi utomo, ia kemudian bersekolah di Sekolah Teknik Radio Surabaya selama 1,5 tahun di 1940 hingga 1941. Pada tahun 1942, Pramoedya kemudian berangkat ke Jakarta dan bekerja sebagai tukang ketik di Kantor berita Jepang bernama 'Domei' pada saat masa kependudukan jepang di Indonesia.

Sambil bekerja, Pramoedya juga mengikuti pendidikan di Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara antara tahun 1942 higga 1943. Selanjutnya di tahun 1944 hingga 1945, ia mengikuti sebuah kursus Stenografi dan kemudian melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Islam Jakarta pada tahun 1945.

Kemudian memasuki masa pasca kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tahun 1946, Pramoedya Ananta Toer mengikuti pelatihan militer Tentara Keamanan Rakyat dan bergabung dengan Resimen 6 dengan pangkat letnan dua dan ditugaskan di Cikampek dan kemudian kembali ke Jakarta pada tahun 1947.

Pramoedya Ananta Toer kemudian ditangkap Belanda pada tanggal 22 juli 1947 dengan tuduhan menyimpan dokumen pemberontakan melawan Belanda yang kembali ke Indonesia untuk berkuasa. Ia kemudian di jatuhi hukuman penjara dan kemudian dipenjarakan di pulau Edam dan kemudian dipindahkan ke penjara di daerah Bukit Duri hingga tahun 1949 dan selama masa penahanannya tersebut, ia lebih banyak menulis buku dan cerpen.

Menjadi Pimpinan Pusat Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA)
Biografi Pramoedya Ananta Toer - Sastrawan Indonesia
Keluar dari penjara, Pramoedya Ananta Toer kemudian bekerja sebagai seorang redaktur di Balai Pustaka Jakarta antara tahun 1950 hingga 1951, dan di tahun berikutnya ia kemudian mendirikan Literary and Fitures Agency Duta hingga tahun 1954. Ia bahkan sempat ke Belanda mengikuti program pertukaran budaya dan tinggal disana beberapa bulan. Tidak lama kemudian ia pulang ke Indonesia dan menjadi anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dikenal sebagai organisasi kebudayaan berhaluan kiri.

Pada tahun 1956, Pramoedya Ananta Toer sempat ke Beijing untuk menghadiri hari kematian Lu Sung. Kembali ke Indonesia, ia kemudian mulai mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan orang-orang tionghoa di Indonesia. Pramoedya bahkan menjalin hubungan yang erat dengan para penulis atau sastrawan dari Tiongkok. Di masa tersebut, Pramoedya banyak menulis karya-karya sastra dan juga tulisan-tulisan yang mengkritik pemerintahan Indonesia mengenai penyiksaan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.

Kemudian pada tahun 1958, Pramoedya Ananta Toer didaulat menjadi pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kesenian Jakarta) yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia pimpinan D.N Aidit. Jabatannya sebagai pimpinan pusat Lekra membuat banyak seniman menjadi berseberangan pendapat dengan Pramoedya Ananta Toer teruta para seniman yang menentang aliran komunis di Indonesia.

Di tahun 1962, Pramoedya Ananta Toer kemudian bekerja sebagai seorang dosen sastra di Universitas Res Republica. Ia juga menjadi Dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai dan juga berprofesi sebagai redaktur majalah Lentera.

    ....Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." - Pramoedya Ananta Toer

Ditangkap dan Dijebloskan ke Penjara dan Dibuang ke Pulau Buru oleh Pemerintah
Memasuki tahun 1960an, PKI semakin gencar memperluas pengaruhnya hingga kemudian terjadi gejolak politik dimana Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan yang terkenal dengan nama G30S/PKI dan terjadi pergantian kekuasaan dari Ir. Soekarno ke Soeharto. Dibawah pemerintahan Soeharto, penumpasan PKI dilakukan. Hal ini kemudian membuat organisasi-organisasi yang berada di bawah PKI ketika seperti Lekra yang
Advertisement
dipimpin oleh Pramoedya menjadi terancam.

Pemerintah kemudian menangkap Pramoedya Ananta Toer dengan tuduhan mendukung komunis. Ia akhirnya ditahan tanpa pengadilan dari tahun 1965 hingga 1969, setelah itu ia dititipkan di penjara Nusakambangan di Jawa Tengah dan kemudian ia di buang di pulau Buru yang terkenal sebagai pulau buangan para tahanan politik PKI ketika itu dari tahun 1969 hingga 1979. Di pulau tersebut juga Pramoedya dilarang menulis oleh pemerintah namun ia tetap menulis karya-karyanya seperti novel semi fiksi yang berjudul Bumi Manusia.

Bebas dari Penjara
Memasuki tahun 1979 pada bulan desember, Pramoedya Ananta Toer akhirnya dibebaskan karena ia tidak tebukti terlibat dalam gerakan G30S/PKI namun ia tetap menjadi tahanan rumah oleh pemerintahan Soeharto hingga tahun 1992 dan kemudian naik menjadi tahanan kota hingga tahanan negara hingga tahun 1999. Hampir separuh hidupnya ia habiskan didalam penjara akibat hubungannya dengan partai PKI namun pada masa itu juga ia aktif dalam menulis namun banyak karya-karya atau tulisannya yang dilarang terbit oleh pemerintah orde baru hingga tahun 1995.

Biografi Pramoedya Ananta Toer - Sastrawan Indonesia

Ketika pergantian pemerintahan orde baru ke orde reformasi, Pramoedya Ananta Toer banyak menuliskan pikiran-pikirannya baik itu di kolom-kolom majalah mengkritik pemerintahan yang baru. Sebagai penulis dan sastrawan dengan puluhan karya-karya yang terkenal membuat Pramoedya Ananta Toer banyak menerima penghagaan nasional dan internasional seperti Ramon Magsaysay Award, Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI, Norwegian Authors' Union Award serta penghargaan dari Universitas Michigan Amerika.

Wafatnya Pramoedya Ananta Toer
Meskipun sudah masuk masa tua, Pramoedya Ananta Toer tetap aktif menulis walaupun ia gemar merokok. Hingga kemudian ia terbaring di rumah sakit pada awal 2006 akibat penyakit diabetes, sesak nafas dan jantungnya yag melemah. Hingga kemudian ia keluar lagi. Namun kembali masuk rumah sakit ketika kondisinya makin memburuk akibat panyakit radang paru-paru.

Hingga pada tanggal 30 april 2006, Pramoedya Ananta Toer akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya dan meninggal di usia 81 tahun. Pemakamannya banyak dihadiri oleh masyarakat dan juga para tokoh terkenal seperti wakil presiden ketika itu Jusuf Kalla. Pramoedya Ananta Toer kemudian dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta.

    ...Berbahagialah mereka yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalaman nya sendiri." - Pramoedya Ananta Toer.

Keluarga Pramoedya Ananta Toer
Beliau diketahui memiliki seorang istri bernama Maemunah Thamrin yang kemudian memberinya lima orang anak dan kemudian Pramoedya juga memiliki sembilan orang cucu. Istrinya meninggal pada bulan januari tahun 2011 dan dimakamkan di tempat yang sama dengan Pramoedya Ananta Toer yaitu di TPU Karet Bivak.

Penghargaan

    Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988
    Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989
    Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
    Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
    UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence" dari UNESCO, Perancis, 1996
    Doctor of Humane Letters, "in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999
    Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999
    Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999
    New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000
    Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000
    The Norwegian Authors Union, 2004
    Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004

Lain-lain

    Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978
    Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982
    Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982
    Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987
    Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988
    International PEN English Center Award, Inggris, 1992
    International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999.

Selasa, 09 Agustus 2016

Asal Usul Islam Nusantara

Asal Usul Islam Nusantara
 
Narasi besar Islam yang merentang selama ratusan tahun di bumi Nusantara harus diletakkan sebagai endapan ganjil dari pelbagai unsur yang hiruk. Islam yang kita saksikan sekarang merupakan hasil kloning sempurna dari kultur hibrida, dari lanskap budaya yang berbeda-beda.

Maka, ketika belakangan ini mencuat diskursus ‘Islam Nusantara’ yang diwedarkan sebagai bentuk capture identitas dalam konteks sosio-antropologis, argumen-argumen penolakan yang bersifat ambisius dan dadakan perlu segera diluruskan. Mengapa? Lewat Sejarah Islam di Nusantara, Michael Laffan menyediakan jawabannya.

Hasil riset profesor sejarah dari Universitas Princeton ini mendedahkan secara eksplisit bahwa ‘Islam (di) Nusantara’ memiliki akar-akar sejarah yang menghunjam jauh ke masa silam. Dengan lain kata, apa yang disebut sebagai ‘Islam Nusantara’ tak lain adalah salinan pucat dari sejarah Islam di Nusantara itu sendiri.

Di titimangsa ini, yang gamang mulai tampak terang: bahwa ‘Islam Nusantara’ bukanlah aliran sempal (firqah) yang mencoba memekarkan diri dari kelopak keislaman yang sudah menangkai lebih dulu. ‘Islam Nusantara’, seperti yang akan kita lihat, adalah ejawantah langsung dari relasi-relasi subtil antarmanusia, juga antarbangsa.

Peran Ordo Sufi
Seperti halnya kebanyakan sejarawan, Michael Laffan percaya bahwa kesuksesan Islam menapak bumi Nusantara sangat ditentukan oleh peran penting ordo-ordo sufi yang memiliki reputasi baik sejak awal kedatangannya. Namun ia masih ragu mengenai faktor paling dominan dalam proses islamisasi yang mencengangkan tersebut.

Namun yang pasti, sufi-sufi yang berdatangan dari seberang seperti Persia, India dan Afrika Utara kadang-kadang merupakan pedagang yang sekaligus juru dakwah Islam. Di abad-abad pertama milineum kedua, mudah sekali kita temukan sosok sufi yang nyambi jadi petani, pedagang, hakim, dan “profesi duniawi” lainnya.

Para penyebar Islam yang umumnya multitalenta itu, telah mengejutkan dan membuat decak kagum orang-orang pribumi sehingga mereka cepat sekali beradaptasi. Uniknya, dalam temuan Michael Laffan, untaian kearifan-kearifan kaum sufi dengan mudah menjadi tren dan diadopsi oleh penguasa setempat (hal, 27).

Hal ini tidak lepas dari yang namanya—dalam istilah Michael Laffan—“gravitasi kecendekiaan” yang bersumber dari Mesir, Baghdad, Damaskus hingga Turki Utsmani. Terma-terma sufistik yang menjadi tren di Timur Tengah, lewat persilangan-persilangan mencengangkan, lalu dibawa dan akhirnya menjadi tren juga. Tren sufisme di abad-abad lampau sama pentingnya dengan tren mode zaman sekarang (hal, 253-254).

Antara abad 15 hingga 18, ordo-ordo sufi dengan leluasa keluar-masuk istana. Tampaknya, penetrasi lembut antara ajaran sufi dan politik kekuasaan menjadi penyokong utama langgengnya agama Islam di Nusantara. Pola-pola semacam itu lazim terjadi di Asia Tenggara, terutama di sekitar poros Patani-Malaka-Jawa.

Islam yang Terus Berubah
Abad-abad berikutnya semakin rumit dan musykil. Ketika pondasi Islam boleh dibilang sudah kukuh, sengkarut yang silang menyilang gencar terjadi. Ordo-ordo sufi mulai menarik diri dari istana. Sementara itu, gerakan-gerakan revivalisme Islam mulai tumbuh dan langsung mengambil jalur politik-kekuasaan.

Di sisi lain, katup kolonialisme yang kian menganga turut membawa dampak buruk bagi posisi Islam Nusantara. Sejak itu, polarisasi dalam Islam tidak dapat dihindari lagi. Muncullah Wahhabisme, Pan-Islamisme, dan seterusnya.

Sementara Islam bersusah payah menghadapi perpecahan yang menggerogoti tubuhnya sendiri, dari luar tengah mengarah serbuan getol dari misionaris Kristen yang dibonceng pemerintah Hindia Belanda. Bab 6 dan 7 secara khusus memotret perseteruan dan perebutan panggung yang dramitis itu.

Dalam konteks yang lebih serius dan rumit, Christiaan Snouck Hurgronje hadir sebagai eksemplar yang sangat menentukan terhadap narasi Islam di dunia yang lebih modern kelak. Michael Laffan mencurahkan perhatiannya pada segmentasi ini secara detail di bab 8, 9, dan 10. 

Pada bab-bab berikutnya, Michael Laffan menyoroti setiap perubahan di dalam sejarah ‘Islam Nusantara’ yang arkaik dan tumpang tindih dengan pelbagai dimensi kecil namun penting. Dengan tetap meyakini bahwa sejarah tidak pernah final, Michael Laffan juga berkesimpulan bahwa ‘Islam Nusantara’ juga bukan adonan yang persis bulat dan final.

Sejak awal Michael Laffan mengingatkan bahwa yang khas bagi ‘Islam Nusantara’ justru karena ia tidak benar-benar khas (sejauh khas diidentikkan dengan orisinal). Sebab, ‘Islam Nusantara’ merupakan hasil tungkus-lumus, persentuhan, perpaduan dari ajaran, perilaku, budaya dan citarasa yang aduhai jamaknya. Dan itu mustahil dikrop untuk menjadi satu warna.

Apa yang ditulis Michael Laffan dalam buku ini, pada dasarnya, sekadar patahan-patahan sumir, potongan-potongan kecil, atau celah-celah mungil yang terjadi di dalam lipatan-lipatan sejarah yang enggan dibahas oleh sejarawan lain.Pembaca tidak akan menemukan keutuhan, misalnya, sebagaimana buku-buku M.C. Ricklefs.

Tetapi justru di situ nilai plusnya. Dengan gaya penulisan yang tidak konvensional, Michael Laffan berhasil memetakan serpihan-serpihan penting sejarah ‘Islam Nusantara’ ke dalam narasi yang enak dibaca. Hanya, pembaca yang belum tahu secara persis anatomi sejarah Indonesia, jelas akan kesulitan mencerna konteksnya.

Buku ini, saya kira, unggul di satu sisi, tapi lemah di sisi yang lain. Sebagai buku sejarah, buku ini sangat berharga karena keunikan data-data di dalamnya. Namun keunikan itu tidak akan sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan penting yang bercorak antropologis. Di sinilah reputasi Michael Laffan sebagai sejarawan tulen patut ditepuktangani.

Data Buku
Judul : Sejarah Islam di Nusantara
Penulis : Michael Laffan
Penerjemah : Indi Aunullah & Rini Nurul Badariah
Penerbit  : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : September 2015
Tebal : xx + 328 halaman
ISBN : 978-602-291-058-9

Perjuangan Santri

Perjuangan Santri

Mengapa tanggal 22 Oktober layak disebut sebagai Hari Santri Nasional? Sejatinya peristiwa apa yang terjadi pada tanggal tersebut? Serta apa yang melatarbelakangi tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari Santri? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab dengan kehadiran buku ini, sebuah buku yang ditulis oleh para ahli sejarah mengingat banyak sejarah kaum santri yang dimarjinalkan oleh sejarah nasional itu sendiri.<>

Dalam kata pengantarnya, KH. Salahuddin Wahid mengatakan bahwa pada akhir 2011, ia cukup terkejut dengan sebuah statement yang menyatakan bahwa Resolusi Jihad itu tidak pernah terjadi, bahkan Resolusi tersebut merupakan sebuah legenda. Oleh karena itu beliau memerintahkan Abdul Latif Bustami dan Tim Sejarawan Tebuireng untuk mencari bukti keras kesejarahannya pada media-media cetak yang terbit akhir Oktober 1945 pada Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional di Jakarta. Oleh sebab itu buku ini ditulis dengan disertai scan hasil bukti-bukti kesejarahan, sehingga buku ini layak untuk dibaca oleh siapa pun termasuk para peneliti yang akan melakukan penelitian lebih lanjut tentang Resolusi Jihad.

Pada bagian pertama buku ini menjabarkan tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara. Ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh sejarawan terdahulu, ada yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara berasal dari India Selatan (Gujarat dan Malabar), pendapat kemudian ada yang menyatakan bahwa Islam Nusantara berasal dari Arab, Ada pula yang mengatakan dari Persia. Tentang penyebaran Islam di Nusantara penulis buku ini dengan lantang mengatakan bahwa Islam masuk di Nusantara dan disebarkan oleh para Wali Sanga (Sebuah julukan yang mengandung suatu perlambangan suatu dewan wali-wali, dengan mengambil angka sembilan yang sebelum pengaruh Islam sudah dipandang sebagai angka yang keramat). Sedangkan tentang proses saluran Islamisasinya, disalurkan melalui saluran perdagangan, saluran kebudayaan, saluran perkawinan, saluran tasawuf, saluran pendidikan serta saluran politik. Dalam bab ini juga, penulis menolak pandangan-pandangan para sejarawan yang mengamini bahwa kehadiran Islam di Nusantara dilakukan dengan pedang, agresi penyerangan ke Majapahit. Bukti sejarah menunjukkan bahwa tumbuh dan berkembangnya Islam bersamaan dengan terjadinya perang saudara Paregreg di Majapahit sehingga menyebabkan konflik internal yang berkepanjangan sampai berujung pada keruntuhan Majapahit. Sehingga sesuai hukum logika, keruntuhan Majapahit disebabkan faktor internal dan bukan dari faktor eksternal, sebab faktor eksternal hadir sebagai alternatif yang bukan kekuatan determinan yang bersifat destruktif.

Pada bagian kedua, penulis buku ini memaparkan tentang dinamika pemikiran serta gerakan politik yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama. Misalnya pada Muktamar NU ke-2 di Surabaya, NU menyoroti persoalan kemasyarakatan, seperti masalah pernikahan di bawah umur yang ditangani pemerintah Hindia-Belanda yang banyak menyimpang dari hukum fiqih. Dalam muktamar ini juga meminta kepada pemerintah untuk memasukkan kurikulum agama Islam pada setiap sekolah umum di Jawa dan Madura. Juga dibahas dan diputuskan hukum menyerupai orang Belanda dalam hal berpakaian, misalnya pakai celana, dasi, topi serta sepatu hukumnya adalah Haram, apabila niat menyerupai itu dimaksudkan untuk seluruhnya termasuk kesombongannya, kekafirannya serta kegagahannya. Tapi untuk sekedar mode maka hukumnya boleh dengan pertimbangan tidak boleh melanggar batas aurat yang sudah ditentukan oleh Islam. (Hlm. 113-114). Juga pada muktamar ke-4 NU membentuk Lajnatun Nasihin (Sebuah komisi propaganda untuk menyebarkan NU ke berbagai daerah) yang dibentuk oleh Kiai Shaleh Banyuwangi dengan anggota KH. Hasyim Asy’ari, Kiai Ridwan, Kiai Asnawi Kudus dan Kiai Muharram Kediri pada Majelis Khamis (Komisi Lima).

Pada bab ini juga dibahas bagaimana pandangan NU terhadap pemerintahan Hindia-Belanda serta pemerintahan Jepang, mengingat terdapat tanggapan serta kritik dari beberapa peneliti sejarah akan sikap inkonsistensi NU terhadap pemerintahan saat itu, kita ambil contoh bahwa NU selalu kooperatif terhadap koloni sebelum diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta, tetapi setelah itu NU justru melawan serta memerangi koloni yang datang, Hal ini dijawab oleh penulis bahwa pada masa pendudukan Hindia-Belanda ataupun Jepang (hingga 1945), Indonesia termasuk Darul Islam sehingga pemerintahan Hindia-Belanda serta Jepang termasuk dalam pemerintahan yang sah (bis Syaukah), pendapat tersebut diperkuat oleh hasil keputusan Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin. Hasil tersebut menjadi momentum kebangsaan NU karena diputuskan status wilayah Indonesia termasuk Darul Islam. Keputusan ini berdasarkan pada rujukan karya al-Hadrami pada Bughyatul Mustarsyidin pada bab al-Hudnah wa al-Imamah. Tetapi pada masa kemerdekaan Indonesia (1945-1950), NU berubah sikap dengan dikeluarkannya keputusan Muktamar NU ke-16 di Purwekerto yang menyatakan bahwa pentingnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia sesuai hukum Islam, sehingga Indonesia dijadikan sebagai Darul Harb (Wilayah Perang) yang mewajibkan setiap warga negara untuk melawan penjajah yang diperkuat dengan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945.

Pada bagian ketiga membicarakan secara tuntas dan heuristik tentang Resolusi Jihad yang difatwakan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari serta kapasitas beliau sebagai seorang mufti serta pemegang Ijazah Hadist Shahih Bukhari ke-24. Suatu ketika Presiden Soekarno mengirim utusannya untuk menemui beliau dengan tujuan meminta fatwa beliau dengan rujukan Gunseikanbu (Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia)  bahwa KH. Hasyim Asy’ari termasuk orang yang sangat terkemuka di Jawa. Melalui utusannya beliau bertanya  “Apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam atau membela al-Quran. Sekali lagi membela tanah air?” Pertanyaan tersebut direspon oleh Kiai Hasyim Asy’ari dengan dikeluarkannya Fatwa jihad yang kemudian diperkuat oleh Resolusi Jihad hasil Musyawarah Ulama NU se-Jawa dan Madura di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945 yang mana resolusi tersebut memiliki dampak yang luar biasa besar dimulai dengan solidaritas umat, Berdirinya Laskar Sabilillah dan laskar Hizbullah serta kongres Masyumi yang merespon resolusi tersebut hingga pada puncaknya pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya.

Pada bagian keempat atau bagian terakhir, Penulis membahas tentang politisasi sejarah Indonesia. Menurut penulis, masa lalu terdiri dari dua hal, yaitu fakta sebagaimana ia terjadi, apa adanya serta pemikiran dari para sejawan sehingga disebut ada apanya, oleh sebab itu banyak para sejarawan kelas atas yang ingin mengkerdilkan bahkan menghapus peran para santri atau pun kiai dan pondok pesantren dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ijtihad untuk memperjuangkan atau pun meluruskan sejarah tersebut merupakan kewajiban yang harus sesuai dengan fakta riil atau yang biasa disebut apa adanya.

Data Buku 

Judul : Resolusi Jihad; Perjuangan Ulama: dari menegakkan Agama hingga Negara
Penulis : Abdul Latif Bustami dan Tim Sejarawan Tebuireng
Penerbit : Pustaka Tebuireng
Terbitan : I, 2015
Tebal : xx + 236
ISBN : 978-602-8805-36-0

Bela Negara, Islam Nusantara dan Paradigma Kritis Transpormatif


Bela Negara, Islam Nusantara dan Paradigma Kritis Transpormatif
Adanya Agama dan Negara, harusnya menegakkan Kebajikan dan Keadilan
Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Kalimat dari Gus Dur tersebut, selayaknya sudah diarusutamakan. Berbuat kebajikan harus diutamakan, bukan hanya beragamanya. “Beragama saja tidak dipaksakan, lantas apa yang membuat penting kita beragama? Tujuan agama itu apa? Tujuan agama pada hakikatnya adalah bagaimana kita bisa berbuat baik dan adil. ‘Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru pada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Ali Imran: 104)’.” Ujar Dr. Sakban Rosidi, M.Si., dalam kegiatan yang diselenggarakan kelompok Diskusi Ngaji Bareng di SMP Bhineka Tunggal Ika Sengonagung Purwosari Pasuruan (14/02/2016).
Kegiatan bertemakan “Bela Negara dalam Wacana Kontemporer” tersebut, Rosidi kemudian mempertanyakan, “Mengapa butuh Negara? Kalau tidak ada Negara, siapa yang menjamin hak-hak kita sebagai manusia?.” keberadaan Negara dipertanyakan eksistensinya dalam melakukan kebajikan dan keadilan itu sendiri. Bukan soal Negara tersebut harus Islam atau tidak, yang penting menegakkan keadilan dan kebajikan. “Ibnu Taimiyah dalam al-Hisbah fi al-Islam (1967) berani mengatakan bahwa negara yang adil –meskipun kafir- lebih disukai Allah daripada negara yang tidak adil –meskipun beriman. Dunia akan bertahan dengan keadilan meskipun tidak beriman, tetapi tidak akan bertahan dengan ketidakadilan meskipun Islam.” Tegas Sakban Rosidi selaku Sekretaris Eksekutif Universitas Islam Majapahit tersebut.
Berbicara soal kesunnahan Nabi Muhammad yang dijadikan kunci keberhasilan sebuah ruh beragama, Rosidi menganggapnya sebagai sebuah kesempitan pemahaman saja. “Soal sunnah Nabi, substansinya ada tiga, yaitu: a). Menghargai tradisi, bukan semata memakai atribut tradisi (sunnah arabi), b). Berperilaku yang baik, sebab Nabi Muhammad sebagai seorang penerima risalah. Misalnya al-Amin, jujur, dan lain-lain (sunnah muhammadi), dan c). Sunnah Nabi, yakni perilaku Muhammad setelah menerima wahyu dari Allah.” Terang Sakban Rosidi, selaku mantan aktifis PMII tersebut.
Islam Nusantara; Benteng NKRI dan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin
Kekerasan atas nama agama setidaknya jangan terlalu serius dianggap sebagai sebuah akar permasalahan. Berkemungkinan, radikalisme agama hanya merupakan cabang dari lingkaran konflik yang dikonstruk untuk kepentingan kejahatan yang lebih besar. “Isu perdebatan antar dan inter umat beragama, menjadi peluang suburnya kapitalisme.” Papar KH. Agus Sunyoto selaku penulis buku Atlas Walisongo dalam diskusi tersebut. Meski demikian, radikalisme agama tidak bisa dipandang sebelah mata begitu saja. Memperkuat pemahaman agama yang inklusif sekaligus bercengkrama dengan kebudayaan menjadi penting dan merupakan kebutuhan dalam beragama dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan saat ini. “Salah satu solusinya adalah kita harus menguatkan pemahaman agama dengan benar dan menjadikan kebudayaan atau kearifan lokal sebagai benteng persatuan.” Tegas Agus Sunyoto selaku ketua Lesbumi PBNU 2015-2020 tersebut.
Semenjak digulirkannya istilah “Islam Nusantara”, sebenarnya merupakan sebuah keberhasilan dalam mengawal Islam Ramah dalam arus internasional. Mengapa demikian, sebab “Islam Timur Tengah” bukan lagi menjadi kiblat satu-satunya dalam memandang dan memahami bagaimana agama Islam itu hidup dan berkembang. Selain itu, “Islam Nusantara” dapat memperkuat hubungan Islam dengan negara (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan tradisi keislaman yang ramah serta mengakomodasi tradisi lokal yang dianggap baik. “Islam Nusantara sama dengan NU/Nahdlatul Ulama setingkat dunia sebagai sebuah proses memperkuat tradisi kesilaman yang dijalankan umat Islam di Indonesia.” Ujar Agus Sunyoto, aktifis kelahiran Surabaya, 21 Agustus 1959 tersebut.
Bukannya mengedepankan NU, itulah faktanya. NU bukan lagi organisasi nasional, namun organisasi setingkat internasional. Dengan bergaungnya “Islam Nusantara”, telah “memperkuat tradisi NU dan memperkuat lokalitas” lanjut Agus Sunyoto. Ketika lokalitas mendapatkan kekuatan, Islam akan hidup dan berkembang seperti pada masa-masa para walisongo. Sebuah kehidupan Islam yang santun, ramah, toleran, dan sarat dengan nilai-nilai kebajikan. “Kalau Islam ingin dijadikan mencusuar nusantara dan dunia, tergantung bagaimana kita (Islam) melihat keberagaman.” Tegas Prof. H. Hariyono dalam Seminar dan Bahtsul Masail dengan tema “Islam Nusantara: Meneguhkan Moderatisme dan Mengikis Ekstrimisme dalam Kehidupan Beragama” yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur di Universitas Negeri Malang (13/02/2016).
Bela Negara dalam Paradigma Kritis Transformatif
Bela negara saat ini, dapat menjadi sebuah peluang sekaligus tantangan kita bersama sebagaimana kita harus lebih kritis dalam memahaminya. Bisa saja dimungkinkan, bela negara hanya akan menjadi alat oleh negara atau militer untuk melakukan dominasi terhadap kehidupan warga negara atau masyarakat sipil. “Kita menghadapi banyak lawan dan kontestasi wacana, seperti globalisasi dan gerakan ultra kanan. Kemudian Isu (Bela Negara) adalah isu sensitif atau halus, bila sampai robek bisa kemana-mana.” Ujar Fadillah Putra, M.Si., M. PAff., selaku Ketua DRD (Dewan Riset Daerah) Kabupaten Pasuruan dalam kegiatan Ngaji Bareng yang didukung pula oleh Pondok Pesantren Ngalah Purwosari tersebut (14/02/2016).
Lebih lanjut, Fadillah Putra mengutarakan pertanyaan “Negera seperti apa yang harus dibela?” Inilah yang harus kita kritisi bersama. Sebab menurut Putra, perilaku negara dapat berbeda-beda selama ini, setidaknya terdapat empat kategorinya. “Perilaku negara ‘Pluralis’, negara hanya mengakomodasi semua kepentingan. Kemudian negara ‘Maxis’, negara didominasi kelompok mayoritas. Selanjutnya negara ‘Leviathan’, negara mempunyai kepentingan untuk mendominasi masyarakatnya. Terakhir, negara ‘Patriarkal’, negara didominasi oleh jenis kelamin tertentu.” Jelas Alumnus Universitas Texas USA tersebut.
Sebelumnya Ahmad Hidayatullah dalam diskusi rutinan “Ngabar” (Ngaji Bareng) di MI Darut Taqwa (08/02/2016), masih terselip sebuah keraguan. “Ada apa dan mengapa “Bela Negara” digaungkan saat ini? Akankah ini hanya bagian dari politik kekuasaan saja?” Tanya aktifis GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Pasuruan tersebut. Hingga pada akhir diskusi, keraguan akan adanya hidden agenda Bela Negara tidaklah menjadikan kita terbebas dari membela negara agar negara tetap memperjuangkan persatuan dan keadilan sosial. “Pemenangan wacana yang tepat bagaimana Bela Negara menjadi penting untuk digalakkan, agar implementasi Bela Negara benar-benar substansial.” Ujar Abdurrahman Amin selaku ketua MATAN (Mahasiswa Ahlut Thariqah) Pasuruan tersebut.
Pada kesempatan yang sama, Makhfud Syawaludin dalam diskusi rutinan “Ngabar” (08/02/2016), beranggapan bahwa gagasan Bela Negara merupakan sebuah Manhaj al-Fikr atau sebuah Paradigma Berpikir. Argumentasi tersebut diilhami dari buku “Jawaban dari Pondok Pesantren Ngalah Sengonagung Purwosari Pasuruan” untuk kegiatan Konferensi Ulama Thariqah dalam rangka Bela Negara, NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 Harga Mati di Pekalongan (15-17/01/2016). “Bela Negara merupakan sebuah Manhaj al-Fikr, yakni dengan empat prinsipnya memupuk semangat religius (Ruh al-Tadayyun), memupuk dan menumbuhkan semangat nasionalisme (Ruh al-Wathaniyah), memupuk semangat pluralitas (Ruh al-Ta’addudiyah), dan memupuk semangat humanitas (Ruh al-Insaniyah).” Ujar Makhfud Syawaludin selaku Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Yudharta Pasuruan tersebut. Secara lebih sederhana menurut Fadillah Putra, dengan kita berparadigma kritis juga termasuk bela negara. “Melawan Negara yang tidak adil, termasuk Bela Negara.” Tegas anggota Averroes Community tersebut (14/02/2016).
Tektualitas pasal 27 ayat 3 dalam UUD 1945 adalah setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Dalam konteksnya, entah apa yang harus kita dahulukan, melawan radikalisme agama kah? Atau kita hanya terjebak dalam memperdebatkan kebenaran atas agama tertentu? Mungkin kah melawan kapitalisme dan kemiskinan didahulukan? Atau mungkin saja melawan korupsi dan narkoba yang lebih didahulukan? Bisa jadi ada permasalahan lain yang lebih penting untuk diselesaikan. Singkatnya, Negara harus hadir sebagai sebuah kekuatan dalam membela ketidakadilan dan menegakkan kebajikan. Bila tidak demikian, melawan dan mengajak Negara membela ketidakadilan dan menegakkan kebajikan adalah bagian dari “Bela Negara”. Setidaknya itu lah yang mereka dan penulis sebut sebagai sebuah “Bela Negara”. (MakhfudSy).