wartawan singgalang

Kamis, 23 Juni 2016

Masjid Besar Kayutanam Didirikan Oleh Niniak Mamak 20, Diurus Oleh Urang Siak Sembilan

Masjid Besar Kayutanam
Didirikan Oleh Niniak Mamak 20, Diurus Oleh Urang Siak Sembilan

Kayutanam--Masjid Besar Kayutanam namanya. Masjid ini berdiri pada 1878 Masehi, merupakan pecahan dari Masjid Raya Anduriang. Sebab, antara Nagari Kayutanam dengan Nagari Anduriang dulunya satu kesatuan. Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan yang terus menanjak maju, dibutuhkan sebuah masjid lagi. Masjid Besar Kayutanam ini oleh niniak mamak yang 20 orang.
    Ahmad Umar Datuak Sinaro, Khadi Nagari Kayutanam, Kabupaten Padang Pariaman menyebutkan bahwa Masjid Besar Kayutnama ini berdiri berbarengan dengan perang Aceh. Pertama kali dibuat, masjid ini atapnya ijuak, dan bahanya bangunannya banyak memakai kayu.
    "Hingga saat ini, masjid yang merupakan pusek jalo pumpunan ikan antara adat dan syarak di Nagari Kayutanam ini telah mengalami empat kali perbaikan dan renovasi, namun tidak merubah bentuk aslinya," kata Datuak Sinaro. Untuk memulai dan mengakhiri Ramadhan, di masjid ini diberlakukan ketentuan secara nasional. Artinya, menunggu pengumuman dari Menteri Agama RI.
    Menurutnya, keberadaan masjid ini terus diperpanjang dan diperlebar. Awalnya yang hanya 14x14 meter. Saat ini telah mencapai 26x14 meter diluar teras masjid. Dengan luas masjid sebesar itu mampu menampung jemaah sekitar 1.000 orang.
    Di bagian belakang masjid terletak sebuah bangunan atau asrama dua tingkat, yang fungsinya adalah untuk tempat tidur orang tua-tua yang aktif melakukan sembahyang 40 hari. Sedangkan lantai atasnya digunakan untuk lembaga pendidikan Quran bagi anak nagari. "Alhamdulillah, setiap waktu shalat masuk selalu bergema suara azan. Dan setiap waktu pula shalat berjamaah tidak pernah putus-putusnya," ujarnya.
    Datuak Sinaro yang mantan Kepala KUA Kecamatan Lubuk Alung ini menilai, untuk mengatur dan menjalankan manajemen masjid sepenuhnya diserahkan kepada urang siak yang sembilan. Disebut sembilan, karena jumlah urang siak-nya, ya sembilan orang pula. Mulai dari Khadi, Imam, Bilal, Khatib, dan Labai lima orang. Masing-masing Labai yang lima orang itu berasal dari suku yang lima pula yang ada di Nagari Kayutanam, yakni Suku Koto, Jambak, Guci, Sikumbang, dan Suku Tanjung.
    "Apapun bentuk kegiatan dalam masjid ini selalu dengan koordinasi urang siak yang sembilan ini," kata dia. Dulu, di masjid ini melaksanakan peringatan Maulid Nabi MUhammad SAW dengan badikie, makan bajamba, membuat lamang. Namun, setelah gempa bumi di Padang Panjang pada 1926, tradisi maulid seperti demikian sudah tidak lagi dilakukan.
    Namun demikian, kata dia, peringatan hari besar Islam tetap jadi agenda rutin di masjid ini. Tetapi cara pelaksanaannya yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan waktu. Pendidikan agama untuk semua orang selalu jadi kebiasaan di masjid ini, sesuai jadwal yang telah dibuat bersama oleh urang siak yang sembilan.
    Bagi masyarakat Kayutanam dan sekitarnya, terutama yang telah usia lanjut dan tidak lagi mempunyai beban dalam hidup ini, asrama masjid ini jadi tempat dia memperbanyak amal ibadah, menyiapkan diri menghadap Sang Khaliknya. Mulai dari ibadah baca Quran, sembahyang berjamaah tiap waktu yang dikenal dengan sebutan sembahyang 40 hari, dan ibadah lainnya yang berhubungan dengan Allah SWT.
    "Selama mereka di sini, mereka dibiayai oleh anak-anaknya yang kebanyakan merantau mengadu nasib di kampung orang," ujar Datuak Sinaro. Pada umumnya, orang tua itu betah dan nyaman di asrama ini. Buktinya, setelah mereka menyelesaikan sembahyang 40 hari, mereka menyambung lagi, dan terus secara berkesinambungan. (501)

Selasa, 14 Juni 2016

Berdiri Sebelum Indonesia Merdeka, Jadi Pusat Kegiatan Keagamaan di Lubuk Alung

Masjid Raya Mujahidin
Berdiri Sebelum Indonesia Merdeka, Jadi Pusat Kegiatan Keagamaan di Lubuk Alung

Lubuk Alung--Hingar-bingarnya Lubuk Alung oleh kendaraan yang cenderung kian bertambah banyak saja, tak membuat aktivitas Masjid Raya Mujahidin terhalang. Bahkan, para pengemudi dan penggunan jalan lintas Padang - Bukittinggi ini harus sabar dan berhati-hati, serta harus mengutamakan para pejalan kaki yang sering menyeberang untuk datang ke masjid yang terletak di sudut Pasar Lubuk Alung ini.
    Suara azan yang bergema setiap waktu menyentakkan banyak orang. Maklum, pengeras suara sengaja diletakkan diatas menara yang ketinggiannya mencapai 30 meter, sehingga tak seorangpun warga Lubuk Alung yang tidak mendengar azan di masjid ini pada saat waktu shalat masuk. Untuk ukuran kemegahan dan banyaknya jamaah setiap malamnya di bulan Ramadhan, agaknya Masjid Raya Mujahidin paling unggul.
    Dalam penilaian masjid teladan dan terbesar di Kabupaten Padang Pariaman beberapa waktu lalu, Kemenag daerah ini yang melakukan hal demikian telah menetapkan masjid yang didirikan pada 1935 M ini sebagai masjid teladan. Untuk ini, Masjid Raya Mujahidin akan berperan sebagai wakil Padang Pariaman dalam penilaian tingkat Sumatera Barat nantinya. Alhamdulillah.
    Ketua Umum Pengurus Masjid Raya Mujahidin H. Azminur menilai bahwa masjid yang dipimpinnya memiliki sejarah yang cukup panjang, karena memang terkait dengan perkembangan Nagari Lubuk Alung itu sendiri. Lubuk Alung sebagai salah satu nagari tertua memang telah mempunyai masjid nagari, yang dikenal dengan Masjid Raya Ampek Lingkuang.
    Tetapi, sesuai dengan perkembangan zaman dan pertambahan penduduk di Lubuk Alung, maka dipandang penting untuk membangun sebuah masjid baru. Di bangunlah Masjid Raya Mujahidin. Tepatnya di medio 1935 oleh Basyir Malin Jelelo, dan kawan-kawan. Dan dia pula yang langsung menjadi ketua umum pertama pengurus masjid ini. "Jadi, Masjid Raya Mujahidin Lubuk Alung dibangun sebelum proklamasi Republik Indonesia dikumandangkan oleh Soekarno - Hatta," kata Azminur.
    Kebutuhan akan sebuah masjid lagi, adalah karena di samping sebagai masyarakat yang memegang teguh adat istiadat, Nagari Lubuk Alung juga dikenal sebagai masyarakat yang religius. Alhamdulillah, pada perkembangannya hingga sampai sekarang, Masjid Raya Mujahidin tetap menjadi sentral bagi masyarakat yang ada di Lubuk Alung. Artinya, setiap kegiatan keagamaan yang ada di Lubuk Alung, selalu berpusat di Masjid Raya Mujahidin ini.
    Azminur yang mantan Camat Kecamatan Lubuk Alung ini menilai, Masjid Raya Mujahidin paling kurang telah direnovasi fisiknya sebanyak tiga kali. Masjid Raya Mujahidin saat ini menjadi yang termegah yang ada di Kecamatan Lubuk Alung dan sekitarnya. Dengan bantuan dari donatur, baik yang ada di kampung maupun yang ada di perantauan, pembangunan Masjid Raya Mujahidin dapat berlangsung dengan sukses, meski sebagai rumah Tuhan tentunya pengurus tidak pernah berhenti untuk selalu meningkatkan pelayanan, sehingga dapat mewujudkannya sebagai masjid yang nyaman bagi segenap jamaah.
    Sebagai masjid yang menjadi sentral kegiatan keagamaan di Kecamatan Lubuk Alung, Alhamdulillah, Masjid Raya Mujahidin selalu penuh dengan kegiatan, tentunya dalam rangka memakmurkan masjid. Hampir tiap malam selalu ada pengajian yang dilaksanakan. Bukan saja pengajian rutin, tetapi juga ada pengajian khusus, baik menurut segmentasinya (ada wirid remaja, majelis taklim ibu-ibu, PHBI) juga menurut kajiannya (ada pengajian khusus tafsir, fiqih, dan lain-lain). Dengan maraknya kegiatan yang ada di Masjid Raya Mujahidin ini, semakin lengkap fungsi dan perananannya bagi masyarakat itu sendiri.
    Bulan Ramadhan, setiap malamnya selalu melimpah oleh jamaah yang ikut Shalat Tarawih. Setiap malam pula para ustadz dan mubalig muda bergantian memberikan siraman rohani untuk masyarakat yang hadir. "Kegiatan MDA full. Ada ruangan khusus untuk anak-anak mengaji. Dan di masjid ini pula pusat Ikatan Guru Mengaji (IGM) Lubuk Alung. Begitu juga ruangan pustaka yang penuh oleh berbagai kitab dan buku kajian Islam dan umum yang bisa dimanfaatkan oleh jamaah di waktu segangnya untuk membuka cakrawala berpikir melalui ilmu yang ada dalam buku," ujar Azminur.
    "Kita ingin terwujudnya Masjid Raya Mujahidin yang mandiri dan berdayaguna, serta mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana ibadah, dan pusat kegiatan keagamaan," ungkap Azminur. Untuk ini, Masjid Raya Mujahidin mengembangkan dakwah Islam dengan penuh kedamaian dan simpatik, meningkatkan ukhuwah Islamiyah, meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang keimanan dan ketaqwaan, pendidikan dan ekonomi syariah.
    Azminur melihat, dengan ditetapkannya Masjid Raya Mujahidin sebagai teladan Padang Pariaman merupakan kebanggaan tersendiri, sekaligus sebagai pelecut untuk lebih giat lagi mengembangkan masjid tersebut kearah yang lebih baik. Sebab, dalam waktu dekat masjid ini tidak lagi jadi wakil kecamatan, tetapi sudah mewakili daerah ini untuk bersaing dengan masjid lainnya di 19 kabupaten dan kota di Sumatera Barat. (501)

Kamis, 09 Juni 2016

Didirikan Syekh Burhanuddin Erat Kaitannya dengan Penyebaran Islam

Masjid Raya Lubuak Bareh Berusia 284 Tahun
Didirikan Syekh Burhanuddin Erat Kaitannya dengan Penyebaran Islam

VII Koto--Masjid Raya Lubuak Bareh diyakini banyak pihak sebagai bangunan tertua di Padang Pariaman. Masjid ini kabarnya pertama kali didirikan oleh Syekh Burhanuddin pada 1105 H atau 1727 M. Tentu erat kaitannya dengan penyebaran Islam yang di lakukan Syekh Burhanuddin yang berpusat di Ulakan tersebut.
    Disebut dengan Masjid Raya Lubuk Bareh, lantaran masjid ini terletak di kampung yang bernama Lubuak Bareh. Sebuah korong dalam Nagari Sungai Sariak, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak. Mesjid ini berfungsi sebagai tempat pelaksanaan ibadah, wirid pengajian dan sebagai tempat pertemuan masyarakat untuk bermusyawarah, serta memperingati hari-hari besar keagamaan, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Israk Mikraj dan lain sebagainya.
    Menurut tokoh masyarakat Lubuak Bareh, sewaktu mendirikan masjid ini, Syekh Burhanuddin menyuruh Gengsi Datuak Tantero Dirajo sebagai kepala tukangnya. Dia berasal dari Padang Panjang. Pembuatan masjid ini dilakukan dengan cara gotong royong oleh masyarakat Sungai Sarik dan sekitarnya, dipimpin oleh pemangku adat waktu itu Datuak Panji Alam (Datuak Rangkayo Basa).
    Pada masa itu, seluruh lapisan masyarakat mengumpulkan bahan material seperti batu kali, pasir yang diambil dari Sungai Batang Mangoi yang mengalir persis di mihrab masjid demikian, sampai pada pencarian kayu untuk tonggak tuo atau tiang utama yang dikenal dengan tonggak macu.
    Selanjutnya, pada 1109 H atau 1731 M, Datuak Panji Alam bermusyawarah dengan masyarakat Sungai Sariak, yang intinya adalah ingin membuat acara batagak kudo-kudo. Sebab, tak mungkin atap masjid yang besar itu dibebankan kepada masyarakat Lubuak Bareh. Butuh kerjasama yang baik dengan seluruh lapisan masyarakat. Penanggungjawab kegiatan batagak kudo-kudo diserahkan kepada pemangku syarak; Labai Nan Barampek (Labai Nagari Lareh Nan Panjang, Labai Nagari Kampuang Bendang, Labai Nagari Buluah Kasok dan Labai Nagari Bisati).     Dari kalangan adat yang menjadi penanggungjawabnya; Penghulu Nan Baranam (Datuak Rangkayo Pandak dari Suku Mandahiliang, Datuak Rangkayo Basa dari Suku Tanjuang, Datuak Ali Basa dari Suku Sikumbang, Datuak Rangkayo Marajo dari Suku Jambak, Datuak Rangkayo Sati dari Suku Koto, Datuak Alat Camano dari Suku Piliang) dan ditambah satu orang lagi Pamuncak, yaitu Datuak Parpatiah dari Suku Panyalai.
    Pada 1110 H atau 1732 M, bangunan utama masjid selesai dikerjakan. Atap masjid awalnya terbuat dari ijuk. Sebagai wujud rasa syukur kepala Allah SWT, pada tahun yang sama dilaksanakanlah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW besar-besaran yang dihadiri oleh Syekh Burhanuddin.
    Pada tahun 1270 H  atau 1902 M atap ijuk masjid diganti dengan seng. Selesainya pembangunan Masjid Raya Lubuak Bareh pada 1910 M. Masjid Raya ini digunakan masyarakat sebagai tempat beribadah, pengajian, pertemuan, menetapkan 1 Ramadhan, 1 Syawal, 1 Muharam dengan cara meniliak bulan, yang hingga sekarang masih berlanjut.
    Karena umur masjid ini telah mencapai 284 tahun lebih, sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya Bangunan, masjid ini termasuk Benda Cagar Budaya (BCB) yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat dan daerah pemeliharaannya, maupun kelestarian keberadaannya.
    Gempa bumi 30 September 2009 yang telah meluluh-lantakkan Kabupaten Padang Pariaman juga membuat masjid ini mengalami kerusakan hampir 50 persen dari bangunan yang ada. Untuk segera merehabilitasi masjid ini dengan hanya mengandalkan dana APBD Padang Pariaman tentulah sulit. Sehingga perlu dicarikan donatur dalam maupun luar negeri.
    Berkat kepedulian Prince Cluas Fund (PCF) bersama Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), masjid ini akhirnya mendapat sentuhan perbaikan walaupun belum 100 persen sempurna. Setidaknya sudah dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan masyarakat akan sarana peribadatan.
    Dengan dihadiri oleh Wakil Gubernur Sumatera Barat, kala itu, Muslim Kasim, masjid ini diresmikan penggunaannya kembali pada 5 Oktober 2011. Peresmian ini dihadiri juga oleh rombongan PCF dan BPPI. (501)