wartawan singgalang

Senin, 28 April 2014

Pak Infai Guru yang Senang Dianggap Teman

Pak Infai
Guru yang Senang Dianggap Teman

    Pertama kali saya dikenal oleh Fadril Aziz Isnaini Infai, yang selanjutnya saya sebut Pak Infai sekitar tahun 2000. Saat itu SKM Padang Pos mengadakan rapat kerja sekalian kemah di Pantai Arta, Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman. Saya belum tercatat jadi wartawan di Padang Pos. Ketika itu saya berstatus loper, membantu mengantarkan koran langganan Amiruddin, yang merupakan Kepala Perwakilan Padang Pos untuk wilayah Pariaman.
    Namun, saya telah memulai menulis artikel di koran mingguang yang Pimpinan Perusahannya, Pak Infai. Mungkin Pak Infai tahu dengan saya, setelah sekian banyak tulisan saya dimuat Padang Pos demikian. Saat kemah di Sungai Limau, Pak Infai menyuruh saya untuk belajar menulis berita. "Damanhuri, coba berita tulis lagi. Jangan yang berat-berat. Cukup berita yang ringan-ringan saja. Contoh, ada sebuah taman di Pariaman ini kelihatannya kurang terawat. Coba wawancarai pengelolanya, dan lanjutkan ke dinas terkait," kata Pak Infai mengajari saya agar mau menulis berita.
    Memang pasca dia menyuruh tersebut, saya beranikan diri untuk menulis berita. Akhirnya, saya ketagihan membuat berita. Dan lagi, keinginan untuk jadi wartawan atau pandai menulis di media massa, telah lama menjadi keinginan saya. Sebetulnya, selama di Padang Pos, tak begitu banyak kesan saya bersama Pak Infai. Tetapi, ketika dia bersama krunya membuat Harian Semangat Demokrasi, saya juga sempat bekerja disana pada saat Semangat Demokrasi terbit tiga kali dalam seminggu. Akhirnya, Semangat Demokrasi meninggal, berdiri Mingguan Media Nusantara, yang juga dibawah pimpinan Pak Infai. Pada mingguan inilah saya berproses dari penerbitan perdana, bersama Netty Herawati untuk perwakilan Pariaman.
    Media Nusantara berganti nama menjadi Media Sumbar. Untuk Pariaman saya langsung menjadi Kepala Perwakilan, setelah Netty Herawati keluar dari media tersebut. Bagi saya bekerja pada koran yang dipimpin Pak Infai demikian, menjadi sebuah kesenangan tersendiri. Saya tiap minggu ke redaksi. Sambil mengantar berita, juga menyetor tagihan koran yang saya pasarkan di Pariaman, sekalian juga belajar banyak tentang dunia jurnalistik dari Pak Infai itu sendiri. Boleh saya katakan, Pak Infai adalah guru pertama saya yang mengajarkan dunia tulis menulis. Bagaimana membuat laporan yang bagus, menyajikan berita yang mudah dipahami oleh pembaca. Nyaris tiap minggu saya berkumpul di redaksi bersama teman-teman lainnya, saat itu pula mengalir ilmu pengetahuan dari sang pimpinan, yang lebih senang berkawan dengan banyak wartawan dari pada dianggap dirinya sebagai atasan kita. Itulah sosok seorang Pak Infai yang saya ketahui.
    Jujur, saya memang banyak belajar dari Pak Infai. Dia juga yang mengajarkan saya tentang pentingnya etika dan kode etik jurnalistik yang dikeluarkan oleh PWI itu sendiri. Untuk masuk organisasi PWI, yang tak mungkin tercapai oleh saya, juga atas dorongan Pak Infai. Pada 2004 silam, Pak Infai lah yang menguatkan saya, agar bisa ikut latihan sekaligus ujian kenaikan status keanggotan PWI. Alhamdulillah, pada ujian yang diadakan di Diklat Depag Padang itu, saya lulus ujian, dan berstatus sebagai Calon Anggota, yang kartunya ditandatangani oleh HM. Muftie Syarfie, Ketua PWI Cabang Sumatra Barat. Kemudian pada ujian berikutnya tahun 2005, saya dinyatakan tak lulus. Lalu kartu saya diperpanjang. barulah pada saat ujian tahun 2006, yang pada kesempatan itu sekalian Karya Latihan Wartawan (KLW), saya lulus, dan menjadi anggota biasa yang kartu pers-nya dikeluarkan oleh PWI Pusat.
    Satu hal yang tak pernah saya lupakan selama bekerja dengan Pak Infai, adalah kejujuran dan kesungguhannya untuk mendidik kadernya jadi wartawan terbaik. Memang bekerja di mingguang, tak banyak uang yang bisa diharapkan. Karena tak bisa menggantungkan hidup. Namun, tak pula wartawan itu mati kelaparan. Dengan seringnya saya ke redaksi di Padang, sesekali saya juga membawa buah tangan, telor itiak. Karena disamping jadi wartawan, saya juga punya ternak itiak sewaktu tinggal di Ulakan. Hampir tiap pagi memungut telor itiak dikandang. Saat datang waktunya ngantar berita, saya sempatkan membawa telor, sehingga dengan enaknya membuat teh telor di kantor sambil begadang. "Jan lupo talue itiak tuanku," begitu kata Pak Infai, mengingatkan saya menjelang berangkat ke Padang.
    Yang saya rasakan, Pak Infai cukup berhasil memberikan pondasi dasar buat karir saya di dunia wartawan. Buktinya, pada saat saya diminta menjadi perwakilan Tabloid Publik untuk wilayah Pariaman, AA. Datuak Rajo Djohan, sebagai pemimpin redaksinya, tak lagi meneka-nekokan saya. Dia langsung terima saya, karena dia tahu saya bekas asuhan Pak Infai. Selama dua tahun (2005-2007) saya di Publik tak banyak perubahan yang saya terima. Soal tulisan dan berita yang saya kirim langsung masuk lay out. Namun, rasa kebersamaan dan kekeluargaan tak pernah saya dapatkan, selain di Media Sumbar bersama Pak Infai. Padahal, setelah tidak lagi di Publik, saya sempat juga bekerja pada Harian Bersama, terbitan Medan. Selama di Media Sumbar dan Media Nusantara, karena dua media yang berubah nama demikian, saya terlibat dari terbit perdananya, saya sangat merasakan rasa kebersamaan. Ditengah keterbatasan anggaran redaksi, tetap saja acara buka puasa bersama dilakukan
setiap kali bulan Ramadhan, dimana hal itu belum saya temui ketika beralih induk semang.
    Ketika saya masuk Harian Singgalang akhir 2008 silam, tengah malam dua hari sebelum lamaran diantarkan ke koran harian tertua di Sumatra Barat itu, saya telp Pak Infai, dan minta petunjuk sekaligus doa restu dari dia. Lama juga saya ngomong lewat telp, dan ternyata dia sangat senang, dan ikut mendukung untuk kelanjutan karir saya di jurnalistik tersebut. Bagi saya, disamping seorang guru yang penuh dengan pertemanan, Pak Infai juga sumber inspirasi tersendiri dalam diri saya. Itu saya rasakan. Jujur. Pada saat PWI Perwakilan Padang Pariaman terkendala untuk melakukan Konferensi tahun 2006, Pak Infai jugalah yang ikut 'memprovokatori' agar saya mau menerima mandat dari PWI Cabang Sumbar. Saat itu, seluruh anggota PWI Pariaman dipanggil ke PWI Cabang, karena panitia Konferensi belum juga terbentuk. Padahal, masa kepengurusan sudah lama habisnya.
    Saat itu dari Pariaman hanya bertiga yang datang. Disamping saya, datang juga memenuhi undangan itu, Amiruddin dan Nasrun Jon. Dalam pertemuan tersebut, saya langsung ditetapkan sebagai pemegang mandat atau Plt Ketua PWI. Setelah SK saya diterbitkan, saya punya tanggungjawab untuk membentuk panitia. Disamping pemegang mandat saya juga sekalian Ketua Konferensi. Kesalutan saya pada Pak Infai, saat Konferensi saya lakukan bersama teman-teman di Pariaman, Pak Infai menyenangkan hati saya. Dia dan rombongan PWI Cabang lainnya membawa Ketua Umum PWI Pusat, Tarman Azzam singgah, dan ikut memberikan masukan saat Konferensi berlangsung di Pariaman. Kata Pak Infai kepada saya, ini satu-satunya Konferensi PWI Perwakilan yang dihadiri Ketua Umum Pusat. Senanglah saya. Padahal saat itu saya masih bersatus anggota muda. Terakhir, pada penyusunan kepengurusan, karena Pak Infai Wakil Ketua Bidang Organisasi, beliau pula yang mendorong dan menguatkan agar saya
menjadi Sekretaris PWI Perwakilan hasil Konferensi, yang Ketua-nya Dedi Salim, wartawan Harian Haluan. (Pariaman, 26 Maret 2012)
----------------------------------------------------------
AHMAD DAMANHURI, dikenal sebagai santri yang jadi wartawan. Mulai menggeluti dunia penuh tantangan ini dari bawah, dan banyak belajar secara otodidak. Pria kelahiran Ambung Kapur, Kabupaten Padang Pariaman pada 13 Mei 1975 ini juga dikenal sebagai seorang penulis produktif. Tak heran, berbagai buku yang ikut ditulisnya telah beredar. Diantaranya, Perjuangan Rakyat Padang Pariaman Dalam Perang Kemerdekaan 1945-1950 (2006), 30 Tahun PT BPR LPN Koto Dalam Membangun Perekonomian Nagari (2006), Gempa Dahsyat Sumatra Barat (2010), Suka Duka Wartawan Singgalang (2011), PKB Sumbar Harus Ikut Bagian Sejarah Senayan 2014 (2011).
    Sebagai seorang wartawan, dia sering mengikuti pendidikan wartawan, seperti Diklat Jurnalistik Media Sumbar 2003 di Padang, Karya Latihan Wartawan (KLW) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sumbar 2004 di Padang, Diklat Jurnalistik Pemuda Panca Marga (PPM) se-Indonesia 2005 di Padang, Diklat PWI se-Sumbar 2006 di Padang, Quality Reporting Training In Supporting Good Governance, LGSP-USAID 2006 di Padang, Diklat Kehumasan dan Jurnalistik Partai Kebangkitan Bangsa, se-Indonesia 2007 di Bogor Jawa Barat.
    Ayah dari Wardatul Fauziyah dan Fatimah Khaira Nisa' ini mulai jadi wartawan sejak era reformasi, ketika media massa tumbuh bagaikan jamur dimusim hujan, yang diawali pada wartawan dan loper SKM Padang Pos (1999-2001), Wartawan Semangat Demokrasi (2002), Wartawan SKM Media Nusantara (2002-2003), Wartawan SKM Media Sumbar (2003-2005), Wartawan Tabloid Publik (2005-2007). Koresponden Harian Bersama terbitan Medan (2007), sejak Desember 2008 hingga kini, bergabung dengan Harian Singgalang. Bagiya, profesi wartawan adalah mulya, sekaligus pilihan hidup. Karena menjadi seorang wartawan itu pulalah suami Mahbubatus Salmi ini pernah berkunjung ke negara tetangga, Malaysia dan Singapura pada 2004 silam.
    Disamping itu, pria yang mudah bergaul dengan banyak orang ini juga gemar beroragnisasi. Diantara organisasi yang digelutinya; Sekretaris PC. Gerakan Pemuda Ansor Padang Pariaman 2003-2007, Wakil Sekretaris DPD KNPI Padang Pariaman 2005-2008, Wakil Sekretaris Ikatan Guru Mengaji (IGM) Padang Pariaman 2002-2005, Humas dan Litbang Ponpes Madrasatul ‘Ulum Lubuak Pua, Padang Pariaman 2006-2009. Sekretaris PWI Perwakilan Padang Pariaman (2006-2009), Pemegang mandat PWI Perwakilan Padang Pariaman dari April-September 2006, Wakil Bendahara PC Nahdlatul Ulama Padang Pariaman (2005-2010), Departemen Agama dan Ideologi PW GP Ansor Sumatra Barat (2005-2009), Ketua PC GP Ansor Padang Pariaman 2009-2013, Koordinator Sarjana dan Pemuda Penggerak Wajib Belajar (SP2WB) Padang Pariaman 2008. Humas KONI Padang Pariaman 2010, Wakil Ketua DPD KNPI Padang Pariaman 2008-2013, Wakil Sekretaris Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Padang Pariaman (2010-2013, Wakil
Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Padang Pariaman (2011-2016). Organisasi demikian pula membuat dia melang-lang buana kerberbagai daerah di nusantara ini, mengikuti berbagai iven yang diadakan oleh organisasi yang digelutinya. Sebut saja Muktamar, Kongres, Rakernas dan lain sebagainya.
    Kini, bersama keluarga tinggal di Tembok Palembayan, Kecamatan Sintuak Toboh Gadang. Dan saat ini tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Tamansiswa, Padang. Dia dapat dihubungi lewat email : damahuri_0009@yahoo.com / man_00979@yahoo.co.id / dmnhuri20@gmail.com. 

DPT Pileg Jadi DPS Pilpres Golkar, NasDem dan Demokrat Pimpin DPRD Padang Pariaman

DPT Pileg Jadi DPS Pilpres
Golkar, NasDem dan Demokrat Pimpin DPRD Padang Pariaman

Padang Pariaman---Sesuai jadwal yang sudah ditetapkan KPU selaku pihak penyelenggara Pileg 9 April lalu, 11 Mei nanti nama 40 orang wakil rakyat hasil pilihan masyarakat ditetapkan. Tahapan yang selesai, baru penetapan suara yang didapatkan 12 partai politik peserta.
    Ketua KPU Padang Pariaman, Vifner kepada Singgalang, Minggu (27/4) lalu menyebutkan, dari 302.990 daftar pemilih tetap (DPT) daerah itu saat Pileg, secara resmi telah jadi daftar pemilih sementara (DPS) untuk Pilpres yang akan datang. Dari sebanyak itu, hanya 65,23 persen partisipasi pemilih yang datang ke TPS, menggunakan hak suaranya selaku warga negara.
    Hasil pleno terbuka rekap suara yang dilakukan pekan lalu, ternyata Partai Golkar keluar sebagai juara satu. Partai berlambang pohon beringin ini mampu meraup 28.517 suara atau 14,55 persen. Melihat perolehan suara yang didapatkan partai pimpinan Aburizal Bakrie ini di empat Dapil, dipastikan Golkar dapat lima kursi. Caleg Golkar yang dipastikan duduk itu; H. Faisal Arifin Rangkayo Majo Basa, Zuardin (Dapil I), Syafrizal (Dapil II), Desril Yani Pasha (Dapil III), dan Syahrul Datuak Lung (Dapil IV).
    Sedangkan juara dua direbut Partai NasDem. Partai yang mengusung gerakan perubahan ini mampu membuat kejuatan yang sangat luar biasa ditengah dinamika politik Padang Pariaman. Partai pimpinan Surya Paloh ini mendapatkan 20.709 suara atau 10,57 persen. Dari peta suara yang dirangkum, dipastikan pula partai ini mengirim wakilnya sebanyak lima orang. Kelima caleg-nya yang melenggang ke DPRD daerah itu; Kamarsam (Dapil I), Alfa Edison (Dapil II), Mothia Azis Datuak Nan Basa dan Suhardiman (Dapil III), Munafestoni (Dapil IV).
    Urutan ketiga diambil Partai Demokrat. Partai yang saat ini di pimpin Presiden SBY ini agaknya harus puas dengan posisi demikian, meskipun Pileg 2009 Partai Demokrat juara satu di Padang Pariaman dan di nasional. Dukungan yang didapatkan Demokrat pada Pileg 9 April lalu sebanyak 19.847 suara atau 10,13 persen. Dengan ini, dari enam kursinya saat ini, hanya tinggal empat kursi untuk lima tahun depan. Keempat caleg Demokrat yang dapat dukungan itu; Zul Efendi (Dapil I), Basir (Dapil II), Pepforil (Dapil III), dan Januar Bakri (Dapil IV).
    Sedangkan posisi keempat disambet PKB. Partai yang hanya dapat satu kursi pada Pileg lima tahun lampau ini, ternyata 9 April lalu PKB melaju kencang. Partai berlambang bintang sembilan, yang mengusung motto; 'membela yang benar' itu mampu mendapatkan suara sebanyak 19.689 atau 10,05 persen. Besar keberuntungan bagi partai berbasiskan Islam Ahlussunnah waljamaah ini, mampu menempatkan empat kursi nantinya. Nama caleg PKB yang duduk itu; Ali Nusir (Dapil I), Syafri CR (Dapil II), Syafrinaldi (Dapil III), dan Hasan Basri (Dapil IV).
    Berikutnya urutan lima direbut Partai Gerindra. Partai dengan lokomotif Prabowo Subianto ini dapat 19.357 suara yang setara 9,88 persen. Caleg Gerindra yang selalu mengusung pendiri partainya di setiap baliho, dan alat peraga kampanye itu adalah; Tri Suryadi (Dapil I), Ramli (Dapil II), Jempol (Dapil III), dan Happy Neldy (Dapil IV).
    PKS berada di urutan enam. Pileg 9 April, tampak perjalanan PKS stabil, dan tetap dapat empat kursi, dengan perolehan suara sebanyak 15.842 suara yang setara dengan 8,08 persen. Hebatnya, keempat caleg PKS yang beruntung itu, orang baru semua. Mereka adalah; Jon Hendri (Dapil I), Bahzar (Dapil II), Hendrawati (Dapil III), dan Suryadi Zukri Ali (Dapil IV).
    Meskipun PDI Perjuangan partai pemenang utama tingkat nasional versi hitungan cepat, di Padang Pariaman partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri ini hanya bertengger pada posisi ke tujuh. Walau demikian, PDI Perjuangan meningkat jumlah kursinya dari Pileg 2009 silam. Lewat suara sebanyak 15.079 atau 7,69 persen. Keempat caleg-nya yang duduk itu; Salman Hardani (Dapil I), M. Defriadi Datuak Rangkayo Basa (Dapil II), Zaiful Leza (Dapil III), dan Herry Syahnil (Dapil IV).
    Dibawah PDI Perjuangan adalah PPP. Partai berazaskan Islam ini dapat 14.944 suara atau 7,63 persen. Dengan posisi delapan, partai berlambang ka'bah ini mampu menambah satu kursi, yakni menjadi tiga bila dibandingkan dengan Pileg 2009. Ketiga caleg-nya yang duduk; (Dwi Warman Chan (Dapil I), Syafruddin (Dapil II), Zaldi Rajo Intan (Dapil III).     PAN sepertinya harus ikhlas pada posisi sembilan yang dapat suara sebanyak 14.772 atau 7,54 persen. Artinya, berkaca pada Pileg 2009, partai pimpinan Hatta Rajasa ini kehilangan satu kursi. Dari empat menjadi tiga. Yusalman, yang Ketua DPD PAN Padang Pariaman harus merelakan harus mengakhiri pengabdiannya di DPRD daerah itu. Ketiga caleg PAN yang akan duduk; Nasdini Indriani (Dapil II), Makmur (Dapil III), dan Bagindo Rosman (Dapil IV).
    Hanura sama dengan nomor urut partainya, yakni 10. Partai pimpinan Wiranto ini dapat 12.501 suara atau 6,38 persen. Dengan demikian, Hanura juga dapat tiga kursi. Posisi itu berkurang, karena 2009 Hanura dapat empat kursi di Padang Pariaman. Caleg Hanura yang duduk; Bastian Desa Putra (Dapil II), Sukiman (Dapil III), dan Jalius Budhi (Dapil IV).
    Posisi 11 diambil PBB. Partai ini dapat 8.562 suara atau 4,37 persen. Dan juara terakhir PKPI. Partai ini dapat 6.144 suara atau 3,14 persen. Hebatnya, suara PBB yang tinggi dari PKPI, tak bisa masuk dewan. Kursi panas terakhir itu diambil PKPI yang suaranya hanya dibawah PBB. Dengan demikian, senanglah Erfan Ganef alias Mak Itam Transport yang berhasil jadi anggota dewan terhormat, dan satu-satunya pula yang punya satu kursi di daerah itu. (damanhuri)

Kamis, 24 April 2014

Prosesi Basyafa Tetap Meriah Menguatkan Ajaran Syekh Burhanuddin

Prosesi Basyafa Tetap Meriah
Menguatkan Ajaran Syekh Burhanuddin

Ulakan--Meskipun Padang Pariaman masih dalam suasa porak-poranda akibat gempa akhir September tahun lalu, namun prosesi basyafa di komplek makam Syekh Burhanuddin Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapkis tetap meriah. Sebab, kegiatan ritual tahunan itu merupakan tradisi yang telah lama berlangsung.
    Tak heran, sejak Rabu (3/2) pagi hingga malam, berbagai mobil yang mengangkut jamaah dari berbagai perkampungan di Sumatra Barat ini berdatangan. Mereka ingin lebih cepat sampai di Ulakan, sehingga memudahkan untuk mengambil tempat untuk melangsungkan ritual yang mereka amalkan mulai malam harinya.
    Bagi masyarakat Ulakan sendiri, basyafa merupakan sebuah kegiatan yang mesti diikuti. Namun, masyarakat Ulakan saat syafa gadang  berlangsung kebanyakan tidak melakukan ritual apa-apa. Sebab, jatah bagi masyarakat Ulakan, Rabu pekan depannya, yang dinamakan dengan syafa ketek. Ditengah ramainya hiruk-pikuk suasana basyafa juga menjadi momen bagi banyak orang. Baik masyarakat Ulakan, mapun masyarakat lainnya yang memanfaatkan tempat ajang jual beli. Miliar uang saat musim basyafa, diperkirakan beredar di Ulakan tersebut.
    Nurhabibah, 56, salah seorang warga Sikabu, Ulakan menceritakan, bahwa basyafa merupakan tempat berkumpulnya bagi banyak orang. "Dulu ada cerita, bagi orang yang baru kawin di Ulakan ini, saat bulan Syafa ini datang, dia harus membawa istri barunya ketengah masyarakat basyafa. Kalau tidak dibawa, menurut cerita yang tua-tua, akan berakibat fatal. Sebab, saat basyafa itulah sang suami membelikan sejumlah buah tangan alias oleh-oleh buat keluarga sang istri," katanya Rabu (3/2).
    Untuk itu, basyafa bagi masyarakat Ulakan adalah sebuah ritual yang punya makna tersendiri. Artinya, nilai-nilai yang pernah diajarkan Syekh Burhanuddin dulunya, sampai saat ini terus berkembang dengan dinamikanya. Ajaran agama, yang sekaligus menjadi tradisi bagi masyarakat perkampungan, merupakan nilai-nilai luhur yang terus dipertahankan, sampai kapanpun.
    Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Ulakan Tapakis, Ali Nurdin M. Nur ketika dihubungi Rabu (3/2) mengaku pelaksaan basyafa tahun ini tetap meriah dan ramai. "Alhamdulillah sejak pagi hingga saat ini para jamaah dari berbagai daerah telah banyak yang datang. Melihat kondisi saat ini, prosesi basyafa tetap dapat sambutan dari masyarakat pengikut Syekh Burhanuddin itu sendiri," katanya.
    Menurutnya, Bupati Padang Pariaman H. Muslim Kasim Datuak Sinaro Basa beserta rombongan hadir bersama jamaah. Sebab, setiap kali basyafa bupati tetap memberikan sambutannya. "Kedatangan jamaah bermacam-macam. Ada yang langsung ke Ulakan, lalu terus ke Tanjung Medan, tempat disimpannya pakaian Syekh Burhanuddin. Namun, ada juga yang sebaliknya. Itu semua terserah apa yang telah menjadi tradisi bagi masyarakat yang bersangkutan," ujar Ali Nurdin.
    Ali Nurdin melihat basyafa, disamping peringatan hari wafatnya Syekh Burhanuddin, juga sebagai ajang promosi bagi para ulama, terutama para ahli dikia. Kebanyakan tradisi yang dibawakan dalam basyafa adalah badiki, yang lazim dibawakan saat peringatan maulid Nabi Muhammad Saw. Umumnya, disetiap surau dan masjid perkampungan, yang tidak diragukan Syathariyahnya telah lama melakukan peringatan maulid itu dengan cara badikia atau syarafal anam.
    Hal itu benar adanya. Sebab, setelah habis bulan Syafar ini datang bulan Rabiul Awal atau bulan maulid. Umumnya, setiap surau yang akan memperingati maulid itu banyak mencari para ahli dikian yang matap suaranya, hebat kepandaiannya, sehingga menyenangkan dalam pelaksanaan tersebut, kata Ali Nurdin.
    Namun demikian, yang jelas tradisi basyafa adalah, bagaimana warga Syathariyah yang notabene ajaran yang dikembangkan Syekh Burhanuddin dulunya menjadi sebuah keharusan ditengah masyarakat. Kekuatan demikianlah terjadinya prosesi basyafa. "Jadi orang lain tidak boleh menganggap basyafa sebuah tradisi yang dilarang. Itu tidak boleh," katanya. (dam) 

Trimurti Ilyas, Calon Wakil Bupati Padang Pariaman Independen Menyempurnakan Pengabdian Ditengah Pertanian yang Memprihatinkan

Trimurti Ilyas, Calon Wakil Bupati Padang Pariaman Independen
Menyempurnakan Pengabdian Ditengah Pertanian yang Memprihatinkan

Pariaman--Sebagai seorang konsultan Bank Dunia, yang membidangi pemberdayaan masyarakat tani dan pengembangan usaha tani di Kabupaten Padang Pariaman, membuat Ir. Hj. Trimurti Ilyas, M.M tahu betul betapa para petani di daerah itu masih susah untuk berkembang. Nyaris setiap hari istri dari Ir. H. Mahyuddin Taharudin ini menerima keluhan serta problem dikalangan petani itu sendiri.
    Menjawab Singgalang, Selasa (13/4) lalu di kediamannya Kurai Taji, Kecamatan Pariaman Selatan, Kota Pariaman Trimurti sang calon Wakil Bupati Padang Pariaman yang akan mendampingi Drs. Lukman Syam, sebagai calon independen itu mengaku prihatin dengan nasib yang masih melilit petani di kampunya, Padang Pariaman. "Berangkat dari realita itulah, saya beranikan diri untuk ikut bersaing dalam Pilkada 30 Juni nanti. Sebab, perjuangan yang dilakukan lewat konsultan, tidak bisa secara maksimal. Satu-satunya jalan untuk bisa berbuat lebih banyak lagi dikalangan petani dengan merebut kekuasaan," katanya.
    Menurut ibu kelahiran Pariaman, 21 Maret 1948 itu, potensi pertanian yang ada di Padang Pariaman cukup bagus untuk dikembangkan kearah yang jauh lebih baik lagi. Namun, upaya kearah itu masih belum bisa maksimal. "Sebagai seorang yang lama berkiprah di Departemen Pertanian RI, saya banyak tahu tentang pengembangan pertanian demikian. Itu pula sebabnya mengapa pemerintah masih mempercayai saya sebagai tenaga konsultan dibidang pertanian. Padahal, saya baru saja pensiun dari pegawai pemerintah pusat," katanya.
    Ibu dari Sitti Maidatun Naimah dan Sitti Aulia Lutfiani itu mengaku ikut maju hanyalah untuk menyempurnakan pengabdian ditengah masyarakat petani, yang notabene Padang Pariaman merupakan daerah pertanian yang sangat luas. "Soal pangkat dan kedudukan, serta ambisi memperkaya diri jauh dari saya, ketika datang tawaran dari sejumlah kandidat bupati dulunya. Soal tanggungjawab dalam hidup, bagi saya tidak ada lagi yang dipikirkan. Kedua anak saya telah menyelesaikan studinya di Australia. Namun demikian, bagaimana ilmu yang yang saya miliki dibidang pertanian ini mampu mengangkat para petani kita," kata Trimurti lagi.
    "Pilihan dijatuhkan lewat jalur independen. Sebab, sebagai seorang yang dibesarkan dilingkungan birokrasi, tentu saya tak cukup uang dalam bermain dengan partai politik. Dan lagi, ketika niat saya untuk maju lewat dukungan KTP masyarakat Padang Pariaman itu, maka dukunganpun mengalir sangat derasnya. Para petani yang merasa terbantu, merasa punya beban untuk bisa membantu saya dalam mengumpulkan KTP dimaksud. Hasilnya, bersama Lukman Syam, satu-satunya calon bupati yang saya kenal telah matang dibidang pemerintahan, mau ikut bersama-sama menyatukan tekat untuk memajukan petani Padang Pariaman ini," ujarnya.
    Trimurti yang hidup dan dibesarkan dilingkungan Muhammadiyah itu, sewaktu berkiprah di Departemen Pertanian mengaku telah cukup banyak berbuat. "Lewat pengabdian yang saya lakukan, alhamdulillah berkali-kali para kepala daerah dan ketua kelompok tani di ranah Minang ini pergi ke Istana Presiden, guna mengambil penghargaan. Itu semua kita lakukan, betapa pentingnya dunia pertanian perlu mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. dari pertanianlah semua bermula. Kalau lahan petani telah berkembang, persoalan yang melilit tidak ada lagi, kita yakin, pendidikan anak akan lancar, kesehatan akan terjamin serta kebutuhan lainnya menjadi mudah," ungkap Trimurti.    
    Putri dari Alm. Buya H. SDM Ilyas, sang pendiri Muhammadiyah Padang Pariaman pada 1929 itu mengaku telah mengunjungi seluruh nagari yang ada di daerah itu. "Nyaris setiap kali saya bersama petani di nagari, kendala yang mereka alami itu hampir bersamaan. Mulai dari persoalan pupuk, hingga persoalan kurangnya binaan dari dinas terkait. Padahal sumberdana untuk meningkatkan taraf hidup para petani itu lumayan banyak. Tinggal lagi kemauan dan kemampuan dari Pemkab, untuk bisa menjangkau jaringan yang ada di tingkat nasional tersebut. Kita tahu, keterbatasan daerah dibidang anggaran, tak ayal lagi ketergantungan terrhadap pemerintah pusat menjadi kebutuhan yang paling mendasar," sebut Trimurti lagi.
    Berangkat dari impian dan komitmen demikian, lanjut Trimurti, alhamdulillah seluruh keluarga yang kebanyakan tinggal dan berkiprah di Jakarta, ikut memberikan dukungan moril dan materil. "Semua keluarga, termasuk pak Tarmizi Taher sang mantan Menteri Agama RI, ikut memberikan dukungan moral yang sangat tinggi. Sebab, perjuangan yang akan saya lakukan, murni untuk membangun kampung halaman yang sangat saya cintai, Padang Pariaman. Bukan sebaliknya, ambisi pribadi serta haus pangkat dan jabatan. Sebagai keluarga dekat, pak Tarmizi Taher bakal ikut nantinya mengkampanyekan saya, ketika proses kampanye telah dimulai," kata Trimurti.
    Trimurti ingin sekali perjuangan yang tengah dilakukannya saat ini murni dari kekuatan yang dia miliki. "Memang ada tawaran dari sejumlah donatur dalam masalah penganggaran Pilkada nantinya. Namun, karena tidak adanya kejelasan yang baik, maka dengan halus saya tolak. Begitu juga, sebelum memutuskan lewat jalur independen, ada tawaran dari partai politik. Namun, lagi-lagi saya tolak, mengingat untuk biaya survei saja orang partai berani minta Rp60 juta. Itu baru sebatas survei. Sementara untuk biaya lainnya, entak berapa lagi yang harus dikeluarkan, maka dengan itu pulalah, bersama Lukman Syam, seorang pamong senior yang dianggap punya banyak pengalaman dibidang pemerintahan, untuk memutuskan maju lewat jalur murni dukungan masyarakat," ungkapnya. (dam)

Guru PAUD Azzahrah Ma’arif, Arisa Mandasari Iklas Mengajar, Tak Pernah Mimpi Diberangkatkan ke Malaysia

Guru PAUD Azzahrah Ma’arif, Arisa Mandasari
Iklas Mengajar, Tak Pernah Mimpi Diberangkatkan ke Malaysia

Pariaman---Ketabahan, keiklasan dan ketulusan dalam mengasuh anak-anak pra sekolah dasar di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) memang dibutuhkan. Walaupun dari segi finansial, honor maupun gaji sungguh tidak sangat manusiawi. Tetapi siapa tahu “rezeki” itu datang dari pihak lain yang sebelumnya tak pernah terpikirkan sebelumnya.
    Itu pula yang dialami guru PAUD Azzahrah Ma’arif, Desa Toboh Palabah, Kota Pariaman Arisa Mandasari (22). Selama 18 bulan mengajar di PAUD ini nyaris tanpa honor. “Kalaupun ada iuran dari orangtua murid jumlahnya tak banyak. Kadang-kadang ada yang terkumpul Rp50.000 sebulan, kadang tak sampai. Kami mengajar dua orang. Kalau pengelola lagi ada kelapangan uang, maka kami pun dibantu tambahannya. Kalau tidak, ya terima apa adanya,” kata  Arisa Mandasari yang akrab disapa Ca Selasa kemarin di Pariaman.
    Sejujurnya, meski dari segi finansial sungguh ironis, tapi semangat Arisa Mandasari, alumni SMA N I Pariaman ini tak pernah berkurang. Anak-anak tetap saja diasuh. Berapa orang pun mereka datang, pasti diasuh. Karena pascagempa, muridnya merosot tajam. Bahkan sampai hanya tiga orang anak yang datang ke PAUD. Mungkin karena kondisi bangunan rumah, tempat pendidikan PAUD itu dilangsungkan yang juga mengalami kerusakan, membuat orangtua enggan menyerahkan anaknya ke PAUD.
    "Belum lagi ocehan dari pihak-pihak yang tidak paham dengan PAUD, memberikan penilaian negatif. Mulai dari tudingan guru yang tidak berpengalaman, PAUD yang tidak terdaftar di Dinas Pendidikan sampai ocehan apa yang didapat dari PAUD itu sendiri. Sudah payah-payah mengajar, toh uangnya boleh dikatakan tak ada," kata putri kelahiran Pariaman pada 1988 lalu.
    ”Kami tetap mengajar. Apalagi dorongan semangat dari pengelola dan pendiri PAUD ini memacu kami untuk tidak putus asa. Semua ocehan itu bukan jadi penghalang. Malahan menjadi pemicu semangat untuk lebih bisa berbuat dan memajukan PAUD ini. Ternyata, musibah gempa 30 September 2009 itu, ikut membawa hikmah pula,” kata Arisa Mandasari yang didampingi Nur Latifah, sang pengelola PAUD tersebut.
    Melihat kondisi ruangan belajar yang tidak layak akibat gempa, NGO Amurt membantu bangunan PAUD yang saat ini hampir selesai. Selain itu, kami diberikan pelatihan guru PAUD  sejak Februari hingga Nopember nanti. Pelatihan pendidikan guru PAUD di Kota Pariaman itu diadakan di Desa Palak Aneh, yang pesertanya kurang lebih 27 orang. Awalnya, jadwal belajar dimulai 10.30 – 12.30 WIB sehabis mengajar di PAUD. Sebulan ini, jadwalnya digeser menjadi 12.30 – 16.00 WIB.
    Selama tiga bulan pelatihan, Amurt melakukan penilaian terhadap peserta. Dua orang dinyatakan peserta terbaik, masing-masing Roidah dari PAUD Cempaka, Taluak, Pariaman dan Arisa Mandasari dari PAUD Azzahrah Ma’arif, Toboh Palabah. Sebanyak 4 tim penilai menyatakan Arisa Mandasari meraih nilai sangat memuaskan.
    Arisa Mandasari menyebutkan, menurut pimpinan Amurt tersebut, peserta terbaik ini diberikan kesempatan untuk mengikuti studi banding ke Malaysia, selama kurang lebih dua minggu pada Nopember mendatang, seusai program pelatihan. ”Saya tidak pernah bermimpi bisa diberangkatkan ke Malaysia,” katanya dengan sangat gembira sekali.
    Kabar gembira ini tentu saja tak hanya membahagiakan Arisa Mandasari dan keluarganya, tetapi juga Pengelola PAUD Azzahrah Ma’arif, tempat dia mengajar sambil bermain bersama anak-anak Toboh Palabah dimaksud. ”Kami tentu sangat bangga dengan prestasi Arisa Mandasari. Pengelola selama ini memang belum mampu memberikan imbalan yang pantas baginya. Selama ini, kami pun salut dengan keikhlasan, ketabahan dan ketulusannya dalam mengasuh anak-anak. Prestasi itu mudah-mudahan dapat menjadi pemicu bagi Arisa Mandasari untuk berbuat yang lebih banyak lagi, dalam pengembangan PAUD ini kedepannya,” kata Ketua Pengelola PAUD, Nurlatifah.
    Kepada Amurt sendiri yang memberikan penghargaan dan bantuan lainnya, kami sampaikan terima kasih banyak. Bagi Arisa Mandasari sendiri, prestasi tersebut merupakan kebanggaan bagi PAUD Azzahrah Ma’arif Toboh Palaba,h untuk dapat mengabdi dalam mencerdaskan anak-anak bangsa pra SD di daerah ini, tambah Nurlatifah. 
    Menurut Arisa Mandasari, saat ini terdaftar 20 orang anak di PAUD ini. ”Insya Allah jika sudah belajar di bangunan baru,  yang saat ini hampir siap, jumlah murid akan dapat bertambah. Karena ada sebagian orangtua calon murid PAUD ini menyatakan akan mengantarkan anaknya, jika sudah dibangunan yang baru,” katanya. (Damanhuri)

Amir Hosen, Petani Organik Nan Hebat Meneliti Sumber dan Sifat Rahasia Alam

Amir Hosen, Petani Organik Nan Hebat
Meneliti Sumber dan Sifat Rahasia Alam

Pariaman--Siang itu cuaca lumayan terik. Amir Hosen, seorang petani organik yang sudah meraih sertifikat pangan organik dari Lembaga Sertifikasi Organik Sumatera Barat tampak lagi santai. Pensiunan PNS yang sudah berusia 80 tahun lebih ini baru saja bekerja sambil mengeluarkan peluhnya.
    Dia terkenal dengan petani segala macam buah-buahan, sayur-sayuran, sampai kepada budi daya ikan di kolam anti gempa yang penuh di sekeliling rumahnya. Di sela-sela kolam yang dibikinya dari traval inilah segala jenis tanaman buah dan sayur dia tanam, dan tumbuh dengan baik dan rancak.
    Ditemui di rumahnya, Padusunan, Kota Pariaman tampak dia senang dengan aktivitas yang memanfaatkan hari tuanya itu. Kondisi umurnya, tampak sedikit beda dengan usia yang dia pakai saat ini. Amir Hosen tampak muda dan enerjik, meskipun berusia diatas 80 tahun.
    "Resepnya itu tadi. Organik. Diolah sendiri dari alam. Tidak belajar melalui buku, atau dibangku pendidikan laksana sarjana pertanian yang menimba sekian tahun ilmu. Banyak orang menyebutkan markisah tak bisa tumbuh di kampung awak. Tapi saya coba, dan itu tumbuh, dan sudah berbuah pula," kata dia.
    Amir Hosen adalah Ketua Kelompok Tani Terpadu Messra. Nama messra dia artikan sebagai; meneliti sumber dan sifat rahasia alam. "Sangat banyak rahasia alam yang masih belum bisa kita ketahui. Semua yang ditumbuhkan alam punya rahasia dari Yang Maha Kuasa. Kita harus menggali dan mengetahui itu, agar bisa dimanfaatkan dengan sebenarnya," sebut Amir.
    Amir Hosen tak ingin jadi petani robot yang hanya terpaku pada buku pentunjuk. Dia menjadikan dirinya sebagai petani inovasi. Disamping bermanfaat untuk dirinya, juga banyak orang yang menumpang hidup dengan ilmu yang dikembangkannya itu. Malah di tempat itu juga telah dijadikan sebagai Pusat Pelatihan Pertanian Perikanan Pedesaan (P4S). Lembaga ini punya lisensi dan serifikat, dan ditetapkan sebagai P4S wilayah Sumatera.
    Tak heran, para petani dari berbagai daerah di Sumatera datang ke kampungnya, Padusunan untuk belajar dan menimba ilmu pertanian organik. "Khusus kolam ikan traval ini dikembangkan gurami dan ikan patin. Kalau disini traval plastik ini bisa tahan 16 tahun. Dan itu telah dibuktikan," ungkapnya.    
    Pekan depan, ditempat Amir Hosen ini dilakukan kemah selama seminggu bagi gelanggang alam petani organik. Tentunya, para petani dari berbagai daerah yang ada di Sumbar dan luar Sumbar akan berkumpul bersama. "Sejak awal soal pertanian dan perikanan ini, saya cuma mencoba. Rancak dan bisa berkembang, ya, diteruskan dan dilanjutkan saja. Tidak ada yang terstruktur seperti juklak juknis yang dikembangkan secara sistematis oleh pihak Dinas Pertanian," katanya. (damanhuri)

Iswandi Pengusaha Batubata Tigginya Permintaan Pasar, Ditengah Sulitnya Kayu Bakar

Iswandi Pengusaha Batubata
Tigginya Permintaan Pasar, Ditengah Sulitnya Kayu Bakar

Sintuak---Dengan telah turunnya sebagian besar bantuan rehab rekon bagi masyarakat korban gempa di Padang Pariaman, tak ayal lagi pembangunan kembali rumah yang hancur dan rusak berat oleh masyarakat sedang berjalan dengan segala dinamikanya. Bantuan yang turun lewat Pokmas itu tidak saja membuat penerimanya merasa senang dan bahagia, tetapi juga berdampak positif bagi pengusaha tembok, alias batubata atau batu merah.
    Iswandi Datuak Mangguang, satu diantara pengusaha batubata di Korong Palembayan, Kenagarian Sintuak, Kecamatan Sintuak Toboh Gadang mengakui tingginya permintaan akan batubata tersebut. Sebanyak 20 tungkunya untuk memprodusi batubata setiap hari beroperasi. Baik proses pembuatan, maupun yang sedang membakar.
    Setiap tungkunya, kata dia, mampu memproduksi sebanyak 10.000 batubata. Dengan tungkunya yang 20 itu, Iswandi mampu mengolah tanah menjadi batubata sebanyak 200.000 buah. Hasil yang sebanyak itu masih dianggap kurang, lantaran tingginya permintaan pasar, dan masyarakat korban gempa yang akan membangun kembali rumahnya. Batubata hasil buatan Iswandi ini, disamping dibeli masyarakat sekitar, juga banyak yang dijual keluar daerah, seperti Kota Padang, dan daerah lainnya di Sumbar ini.
    Untuk mengolah tanah menjadi batubata, Iswandi masih memakai pola tradisional. Yakni tenaga manusia dan kerbau. Setiap tungkunya, hanya mempekerjakan dua tenaga kerja setiap harinya.
    Walikorong palembayan ini menyebutkan, tungku yang sebanyak itu, merupakan tanah milik orang lainnya yang dia olah, dengan sistim bagi hasil. "Dalam 10.000 batubata yang dihasilkan, itu untuk yang punya tanah dapat bagian sebanyak 1.000 batubata. Itu kesepakan yang dibuat bersama, bagi masyarakat yang punya lahan," kata Iswandi kemarin di Sintuak.
    Harga jual setiap batubata, kata Iswandi, bervariasi. Kalau diantar keluar daerah, sampai lokasi harganya setiap batubata mencapai Rp700, dan kalau ditungku hanya Rp550. Dengan tingginya permintaan batubata itu, nyaris tidak ada batubata yang terletak lama ditungku. Begitu selesai dibakar, mobil yang akan mengangkut batubata sudah antrian. Barangkali ini juga hikmah bencana diturunkan Tuhan, terhadap pengusaha batubata.
    Iswandi melihat, tanah yang digunakan untuk batubata di Palembayan itu masih dianggap banyak. Bahkan untuk produksi 20 tahun kedepan, pengusaha batubata dikampung itu masih bisa mengolahnya. Batubata yang diproduksi di Palembayan sangat dikenal diluar sana. Saking terkenalnya batubata tersebut, itu simpang
jalan menuju Palembayan dari Korong Pungguang Kasiak, Lubuk Alung dinamakan dengan Simpang Tembok.
    Yang menjadi kendala, lanjut Iswandi, adalah kondisi cuaca yang kurang bersahabat saat ini. Begitu batubata dicetak, itu menunggu dua hari baru kering dijemur. Setelah itu baru dibakar. Kendala lainnya yaitu sulitnya kayu buat membakar batubata. "Saya mendatangkan kayu dari Pasaman Barat. Sebab, daerah kita Padang Pariaman tidak banyak punya kayu. Nah, kayu sedikit agak sulit, lantaran banyak yang digunakan untuk yang lain. Apalagi untuk daerah Padang Pariaman. Itu kayu digunakan untuk membangun rumah pascagempa," ungkap Iswandi.
    "Ketika terjadi keterlambatan batubata sampai lokasi konsumen, itu hanya disebabkan sulitnya kayu buat pembakar, dan kurang baiknya cuaca. Selebihnya tidak ada," tambahnya. (damanhuri)

Malam ini Safa Gadang Digelar Menghormati Guru, Lewat Kekuatan Tradisi Ulama

Malam ini Safa Gadang Digelar
Menghormati Guru, Lewat Kekuatan Tradisi Ulama

Ulakan---Rabu malam ini, tepatnya 13 Safar 1432 H, merupakan puncak digelarnya prosesi 'basafa'. Ribuan umat Islam, khususnya warga Syathariyah malam itu berkumpul bersama, menziarahi makam guru besarnya, Syekh Burhanuddin di Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Padang Pariaman. Kegiatan basafa, adalah kegiatan rutinitas tahunan masyarakat Sumatra Barat, terutama mereka yang disebut sebagai 'kaum tuo' yang hingga hari ini masih setia dengan amalan dan tradisi ulama, yang diajarkan oleh Syekh Burhanuddin dulunya.
    Basafa itu sendiri terjadi dua kali setahun. Safa gadang, dan satunya lagi safa ketek, yang berlangsung Rabu depan. Safa gadang  banyak dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah di Sumbar, Riau, Jambi, bahkan ada yang datang dari Malaysia, terutama didaerah kantong-kantong Syathariyah itu sendiri. Menurut pandangan sebagian ulama Padang Pariaman, peringatan basafa ini dilakukan, terkait dengan hari wafatnya Syekh Burhanuddin. Sehingga untuk memulyakan guru Syathariyah itu, setiap bulan Safar dilakukan ziarah bersama ke makam beliau.
    Ada juga yang menyebutkan, basafa itu disamping ziarah, juga menjadi ajang silaturrahim bagi ulama ahli zikir, atau istilah rang Piaman ahli badikia. Sebab, sehabis bulan Safar ini adalah bulan Maulid, dimana masyarakat Piaman menggelar peringatan Maulid Nabi Muhammad Swa dengan badikia, disetiap surau dan
masjid. Serta banyak lagi tentang tradisi basafa, yang saat ini terus berkembang dengan dinamikanya.
    Sejak kemarin, telah banyak masyarakat yang berdatangan di komplek makam ulama terkenal itu. Mereka menginap dalam surau-surau milik mereka bersama, yang dibuat sejak lama. Tradisi amalan mereka sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh guru mereka. Selama ini, setiap masyarakat daerah yang hadir di Ulakan itu menampilkan tradisi yang beragam, yang tentunya dengan niat dan tujuan sama. Yakni memulyakan dan menghormati guru-guru mereka yang telah lama meninggal.
    Ali Nurdin M. Nur, salah seorang panitia basafa tahun ini mengaku bahwa masyarakat telah mulai banyak yang berdatangan. Mereka datang secara berombongan, dengan menggunakan bus yang disewa, yang dipimpin langsung oleh guru mereka. "Kalau safa ketek yang jatuh Rabu depan, itu khusus bagi masyarakat
Ulakan, dan sebagian masyarakat Padang Pariaman lainnya. Antara safa ketek dan safa gadang, tradisi yang dilakukan banyak yang bersamaan," kata dia kemarin di Ulakan.
    Menurut dia, saat ajang basafa itu semua perekonomian masyarakat Ulakan meningkat tajam. Agaknya ini hikmah, kenapa Syekh Burhanuddin itu dimakamkan di Ulakan, tempat dimana tidak ada sumber kehidupan dulunya, selain dari melaut. Nah, dengan adanya makam itu, ekonomi masyarakat berkembang. Miliaran uang beredar malam nanti. Umumnya ekonomi masyarakat sekitar makam, sangat bergantung pada kunjungan masyarakat luar ke Ulakan setiap musimnya.
    Sekretaris MUI Kecamatan Ulakan Tapakis ini mengajak para ulama yang tengah berkumpul bersama, untuk bisa memanfaatkan momen basafa dengan baik dan benar. "Kita ingin, kekuatan ulama Syathariyah yang akhir-akhir ini mulai bergoyang, agaknya perlu kembali diperkuat, lewat momen besar yang terjadi sekali dalam setahun ini. Masyarakat hanya tahu lewat pimpinan spiritual mereka, yakni ulama. Baik soal keagamaan, mupuan soal kehidupan sosial kemasyarakatan," katanya.
    "Kita cukup bangga, ditengah beragamnya tradisi keagamaan yang dilakukan selama basafa ini, bisa disatukan dalam tempat dan lokasi yang sama. Artinya, ilmu yang ditinggalkan Syekh Burhanuddin dulunya, mampu diterjemahkan oleh generasi penerusnya dengan tradisi lokal masing-masing. Cara amaliayah, terutama amaliyah sosial kemasyarakatan dan tradisi masyarakat Padang Pariaman pasti berbeda dengan amaliyah masyarakat yang datang dari Kuntu, Kampar, Riau sana. Begitu juga dengan masyarakat lainnya, yang hadir di Ulakan," sebut Ali Nurdin lagi. (damanhuri)

Bertahan Dengan Rasa dan Kualitas Penjual Gulai Kambing Terkenal di Toboh Gadang

Bertahan Dengan Rasa dan Kualitas
Penjual Gulai Kambing Terkenal di Toboh Gadang

Toboh Gadang---Meskipun usia telah senja, namun tidak menyurutkan semangatnya untuk terus bekerja dan berusaha, demi masa depan anak dan keluarganya. Bagi Bahar, 70, berusaha dengan berjualan gulai kambing, adalah profesi yang digelutinya sejak 1968 lalu. Dia komitmen dengan ciri khas masakannya, yang dia perdapat dari kakak kandungnya sendiri, Alm. Ali Umar.
    Warung nasinya yang terletak di Korong Toboh Olo, Nagari Toboh Gadang, Padang Pariaman hanya sebuah pondok layang-layang, istilah Piaman-nya. Tetapi jangan tanya siapa saja yang datang dan makan diwarungnya. Mulai dari petani biasa, hingga Bupati Padang Pariaman sering makan dikedainya. Masakan gulai kambing bapak dengan empat putra-putri ini, memang sejak saisuah sudah terkenal di seantero daerah bekas gempa tersebut.
    Awal-awal dia buka, mampu menghabiskan dua ekor kambing setiap harinya, serta beras puluhan kilogram. Namun, sejak Padang Pariaman dilanda gempa besar akhir 2009 lalu, perjalanan warung nasinya santai saja. Namun, setiap harinya kabing satu ekor 'mati' juga. Disamping jualan nasi dengan gulai kambing, paginya tersedia katupek gulai kampbing. Sehingga tak heran, sejak pagi hingga malam hari selalu datang tamu yang ingin makan dan menikmati enaknya gulai kambing buatan Bahar tersebut.
    Suami Yulidar ini mengaku, semua anaknya yang kini masih dibangku sekolah dan perguruan tinggi, hanya dibiayai lewat gulai kambing. "Anak perempuan saya yang besar, yang lagi kuliah di UNP, itu cukup berhasil. Dia masuk UNP tanpa tes, dan selalu dapat peringkat. Setiap kali dia pulang dari Padang, ketika akan balik ke kampusnya, itu dia membawa satu ekor kambing," cerita Bahar.
    Keberhasilan Bahar dalam menyajikan gulai kambing yang enak, tak terlepas dari ketabahannya mengikuti kakak kandungnya yang dulu juga berjualan gulai kambing, terutama disetiap adanya alek nagari di Padang Pariaman. Dia ikuti apa perintah kakaknya, lantaran dia berniat suatu saat nanti juga akan mengembangkan profesi sebagai tukang jual gulai kambing. Rupanya, perjalan pahit dan manis selama itu membuahkan hasil yang maksimal. Dia mampu mempertahankan rasa dan kualitas gulai kambingnya, ditengah beragamnya masakan yang dijajakan banyak orang dan saingnya saat ini.
    Menurut Bahar, setiap hari selalu ada himbauan dari masyarakat Toboh Gadang, untuk menjual kambingnya. Untuk itu pula, bapak ini tak pernah membeli kambing di pasar ternak. Dia selalu memasak kambing kampung, yang telah dia ketahui elok buruknya. Orang kampung, terutama pemilik kambing pun merasa senang dengan Bahar, lantaran Bahar tidak berjanji lama, tentang uang beli kambingnya. "Kalau kambing diambil pagi, paling sore atau malamnya, yang punya kambing telah bisa terima uangnya. Dan lagi selama ini, saya tidak pernah berjanji lama-lama dengan yang punya kambing, makanya masyarakat merasa senang," kata dia sambil mengambilkan permintaan seorang pembeli gulai kambingnya.
    "Harga yang dia beli pun tidak jauh beda dengan harga di pasaran. Kini, berkisar Rp400 ribu, untuk ukuran pas dimasak, dan dimakan. Untuk seekor kambing, beras yang dihabiskan rata-rata 15 kilogram setiap harinya. Kalau harga makan, itu sama dengan harga kaki lima, tetapi rasa tidak kalah bersaing dengan restoran. Bagi saya, kepuasan pelanggan adalah nomor satu. Untuk itu pula, masakan enak, kualitas yang baik harus dipertahankan terus," ujarnya. (damanhuri)

Selasa, 22 April 2014

Baruak Betina Piaman yang Suka Cemburu

Baruak Betina Piaman yang Suka Cemburu

Tandikek---Paling tidak butuh waktu selama enam bulan, baru bisa pandai baruak memanjat dan memetik kelapa. Proses pembelajaran itu butuh kesabaran dan ketabahan, serta keuletan dari si tukang baruak. Kemanapun pergi, baruak harus ikut pula dibawa. Sebab, melatih baruak, dsamping yang formalnya, yang informal juga sangat dibutuhkan.
    M. Jen, 57, warga Tandikek, Kecamatan Patamuan, Padang Pariaman mengaku senang dan betah hidup dengan pencariannya, yang memakai tenaga baruak tersebut. Dia telah cukup lama menjalani profesi sebagai tukang baruak. Baginya, kesehatan dan stamina baruak harus dijaga, agar bisa menghasilkan uang yang lebih banyak lagi, untuk menghidupi keluarganya.
    Katanya, biaya untuk mendidik baruak hingga bisa pandai tidak bisa dihitung. Itu sifatnya relatif. Tergantung dari yang punya. Dan lagi, baruak itu kebanyakan dilantih sendiri. Untuk bisa cepat dan bersemangat, baruak sering dikasih dua butir telur ayam kampung dalam sehari, dan anak tabuhan yang dibakar. Hal demikian merupakan penambah semangat kerja dari si baruak. Baruak jantan dengan baruak betina, dalam beraktivitas banyak berbeda. Kalau yang jantan sering melawan induk semangnya. Banyak kejadian, betapa baruak jantan sampai ada yang membunuh induk semangnya sendiri. Itu diakibatkan, lantaran baruak tersebut tidak diperlakukan sebagaimana mestinya.
    Sementara, baruak betina ada juga yang cemburu. Ketika induk semangnya lagi ngobrol sama seorang perempuan yang punya kelapa, si baruak sedang memetik kelapa, setibanya dibawah, pasti baruak itu langsung mengejar si perempuan yang punya kelapa, lantaran cemburu melihat induk semangnya seolah diambil oleh yang punya kelapa tadi.
    Untuk Kenagarian Tandikek, aku M. Jen, profesi tukang baruak tidak begitu menjanjikan. Disamping palak karambia yang jarang dikampung itu, juga banyaknya orang yang menggeluti profesi demikian. Namun, M. Jen tak pernah mengeluh. Hari-harinya dia lalui dengan santai, berjalan dari satu korong ke korong lainnya, menjajakan mana masyarakat yang ingin kelapanya dipetik. "Untungnya, kita langsung beli kelapa yang telah jatuh, yang selanjutnya dijual dipasaran. Kini harga kelapa cukup tinggi. Yang besarnya sudah berharga Rp200 ribu," cerita M. Jen.
    Setiap kali memanjat kelapa, baruak M. Jen dapat upah dalam 10 biji kelapa, itu satu bijinya buat tukang baruak. Kemampuan banyak memetik kelapa, tergantung lahan kelapa yang ada. Baruak yang dimiliki M. Jen, kalau pergi ke kampung lain, seperti Ambung Kapur dan Padang Sago, itu bisa menjatuhkan kelapa dari 600 hingga 1.000 biji kelapa dalam sehari. Sebab, dikampung itu banyak orang yang punya lahan kelapa yang sangat luas.
    Kalau lagi musim memajat kelapa, M. Jen bisa menghasilkan uang dalam sehari dari Rp150-Rp200 ribu. Demikian paling tingginya. Cuman, lazimnya hanya paling tinggi Rp100 ribu. Apalagi dengan kondisi Padang Pariaman pascagempa besar akhir September 2009 lalu, dimana banyaknya batang karambia yang digunakan buat pembangunan kembali rumah masyarakat, maka permintaan untuk memajat kelapa dengan sendirinya pun berkurang.
    M. Jen melihat, sejak pascagempa demikian, belum ada pihak terkait melakukan peremajaan terhadap kelapa. M. Jen dan tukang baruak lainnya merasa kawatir, kalau-kalau kelapa tersebut bisa habis, dan berganti dengan tanaman lainnya. Apalagi proses peremajaan kelapa itu butuh waktu panjang. Sementara, penebangan kelapa terjadi beratus-ratus batang setiap harinya. Apa tidak bisa kelapa itu habis dengan sendirinya ? Tanya M. Jen.
    Dari sekian lama M. Jen melakukan profesi demikian, tentu banyak suka duka yang dialaminya. Namun itu semua adalah bagian dari dinamika kehidupan. Ada saatnya dapat rezeki yang banyak, dan ada pula yang sama sekali tidak menghasilkan apa-apa dalam keseharian itu. M. Jen pernah punya baruak yang sangat terkenal. Pandai berbelanja kewarung kopi, mampu menjatuhkan kelapa yang banyak. Saking terkenalnya, sampai baruak itu ditawar dengan harga jutaan rupiah. Namun, karena cintanya kepada baruak itu, dia tidak mau menjualnya. Hanya kematian baruak itulah yang memisahkanya. Sedih juga M. Jen saat baruak kesayangannya itu mati. Tapi setelah itu, dia ganti lagi dengan baruak yang dia latih sendiri, hingga saat ini baruak itulah yang dia pakai setiap harinya.
    Menurut M. Jen, kalau orang lain yang minta tolong untuk melatih baruak, biasanya sampai pandai itu yang punya baruak harus membayar seharga satu emas, yang dihargai saat timbang terima dengan yang punya baruak. Kalau harga emas naik, ya naik pula harga untuk mendidik baruak. Dan itu telah lama berlakunya. Pada umumnya pendidikan baruak itu berlaku seperti demikian. (damanhuri)

Majukan Pendidikan Anak Nagari Lewat PKBM

Majukan Pendidikan Anak Nagari Lewat PKBM

Lubuk Alung---Keberadaan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) menjadi nilai tersendiri dalam memberdayakan masyarakat, baik dibidang ilmu pengetahuan, maupun dibidang ketrampilan. Sebagai lembaga pendidikan non formal, PKMB disamping mendorong dan ikut serta dalam menuntaskan wajib belajar, juga sekaligus mengembangkan ketrampilan warga belajarnya disegala bidang.
    Di Padang Pariaman terdapat sekitar 28 PKBM yang tergabung kedalam forum PKBM, yang di Ketuai Hilman, pimpinan PKBM Iqra' Lubuk Alung. Forum ini merupakan tempat berkumpul para pengelola dan pimpinan PKBM se Padang Pariaman, membicarakan solusi terbaik dari seluruh persoalan yang dihadapi PKBM dalam memberikan nilai-nilai ditengah masyarakatnya sendiri.
    Banyak yang dilakukan PKBM, terutama yang berhubungan dengan kemajuan warga belajarnya. Mulai dari mengelola pendidikan Paket A, B, dan C, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), mengembangkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM), hingga mengembangkan pertanian dan perikanan. PKBM Cahaya Koto Buruak, Lubuk Alung misalnya, dinilai sukses menjalankan program yang diberikan oleh Dinas Pendidikan, dalam memproduksi pupuk organik, dan mengembangkan perikanan belakangan ini.
    Disamping itu, PKBM yang dipimpin Harry Subrata tersebut dinilai juga sebagai PKBM yang paling kreatif dalam berbagai hal. Kini, PKBM itu telah punya lembaga PAUD, untuk mendidik anak-anak kampung Koto Buruak, yang dulu terkenal sebagai 'Koto Buruak Desa Bergaya'. Dengan kreatifitas itulah, meskipun letaknya tersuruk, tetap saja bisa berinteraksi dengan berbagai pihak dalam mengembangkan
lembaga demikian.
    Begitu juga PKBM lainnya yang banyak tumbuh dan berkembang dengan dinamikanya sendiri di Lubuk Alung. Nagari dan kecamatan yang terkenal dengan panasnya ini, boleh dikatakan sedang menuju dan bercita-cita menjadi basis dunia pendidikan di Padang Pariaman. Itu tidak sekedar harapan, tetapi dibarengi
dengan langkah strategis oleh pengelola pendidikan forman dan non formal di kampung itu. Buktinya, SMA yang bertaraf internasional, adalah SMA nya Lubuk Alung. Ini dikabarkan pula, satu-satu SMA didaerah bekas gempa tersebut yang seperti demikian.
    Memang, dibidang pendidikan non formal ini, Lubuk Alung boleh dibilang unggul. Hampir semua PKBM sebagai lembaga pendidikan non formal bisa berkembang dengan baik di wilayah itu. Hal itu terlihat, para pengelola PKBM di wilayah lainnya di Padang Pariaman banyak mengambil referensi ke Lubuk Alung. Disini, PKBM yang dikembangkan sangat beragam. Mulai dari yang bernuasa agama, hingga yang berbau kampung tempat berdirinya PKBM dimaksud serta nama lainnya, yang dinilai punya arti dan makna untuk bisa berkiprah ditengah masyarakat lingkungannya.
    Perkembangan PKBM tersebut juga dibarengi oleh pemipin di nagari tersebut. Semua program yang dilakukannya, didukung penuh walinagari, dan pihak-pihak pengambil kebijakan dinagari tersebut. Hingga kini, sudah tak terbilang lagi kontribusi yang diberikan PKBM yang ada di Lubuk Alung itu dalam dunia
pendidikan dan usaha. Sebab, PKBM tersebut tidak saja mengembangkan pendidikan, tetapi juga dibarengi dengan pengembangan dunia usaha, seperti pertanian dan perikanan. Ingin mengembangkan PKBM, belajar dan datanglah ke Lubuk Alung. (damanhuri)

Dampak Galian C Lubuk Alung Memperkaya Pengusaha Tambang Ditengah Terganggunya Kesehatan Masyarakat

Dampak Galian C Lubuk Alung
Memperkaya Pengusaha Tambang Ditengah Terganggunya Kesehatan Masyarakat

Lubuk Alung---Pengerukan galian c (Sirtukil) di kawasan aliran sungai Batang Anai sudah sangat memprihatinkan. Aliran sungai yang kini telah berpindah-pindah menyebabkan kekeringan air sumur warga di sepanjang aliran tersebut. Kemudian kawasan Sungai yang sangat lebar, jalan yang dilewati truk semakin hancur dan berdebu ketika musim kemarau, menyebabkan banyaknya anak-anak yang diserang penyakit radang paru-paru.
    Masyarakat disejumlah perkampungan, seperti di Gantiang, Kampuang Koto, Padang Baru dan sejumlah kampung lainnya di Korong Koto Buruak, Lubuk Alung mengeluh, lantaran sumur mereka pada kering. Akibatnya, mereka yang selama ini mandi, mencuci yang hanya didalam rumah, kini harus bersusah payah ke sungai Batang Anai itu sendiri. Sementara, terhadap kejadian yang seperti demikian, pihak pengusaha tambang tidak pernah mempedulikan nasib masyarakat tersebut, cerita ibu-ibu rumah tangga dikampung itu.
    Risikonya tetap masyarakat yang menanggung semua. Musim panas, debu berterbangan, disepanjang kawasan Balah Hilia. Rumah masyarakat yang bersih keramiknya, terpaksa marah dalam hati, lantaran terus terkena debu. Sementara, saat musim hujan, Balah Hilia, Lubuk Alung bagaikan kubangan kabau, lantaran
jalan banyak yang rusak parah akibat truk bertonase berat setiap menit lalu lalang membawa galian tersebut.
    Pantauan Singgalang dilapangan, semua jalan menuju kawasan galian itu telah hancur. Jalan dari Batang Tapakih, atau simpang PLN hingga Pasie Laweh Lubuk Alung, dari simpang Balah Hilia hancur semua. Begitu juga jalan simpang BLKM menuju Sikabu Lubuk Alung, juga tak elok lagi, dengan seringnya truk yang bukan jalannya menempuh jalan itu. Hingga saat ini belum ada tindakan yang jelas yang diberikan Pemkab Padang Pariaman. Mungkin juga PAD yang hasilkan oleh tambang tersebut lumayan banyak.
    Belakangan, Edi Yanto, selaku Wali Jorong Balah Hilia Utara bersama masyarakatnya pernah melarang truk-truk itu keluar masuk Balah Hilia, hingga adanya perbaikan jalan. Namun, entah dimana tersangkutnya persoalan itu, hingga saat ini jalan itu tidak ada perbaikan yang bagus. Mobil truk tetap kembali beraktivitas seperti biasanya.
    Hampir setiap hari masyarakat yang tinggal di sepanjang Balah Hilia, yang juga dikenal sebagai pemukiman masyarakat terpadat di Lubuk Alung itu mengeluh. Baik musim hujan ataupun musim panas, sama saja merusak lingkungan yang ditimbulkan oleh truk-truk milik pengusaha tambang tersebut, terhadap masyarakat lingkungan.
    Kini dilaporkan, sejak dari Pasie Laweh hingga Sikabu Lubuk Alung, sumur milik masyarakat sudah tidak lagi berfungsi. Nyaris semua sumur pada kering, lantaran kedalaman sungai Batang Anai yang digaruk oleh pengusaha tambang telah terlalu jauh kedalamannya.
    Masyarakat berharap dari kasus itu, ada semacam perbaikan oleh Pemkab itu sendiri, dalam melihat arti penting sebuah lingkungan yang asri dan sehat. Saatnya dibuat aturan yang jelas terhadap hal demikian, agar tidak terlalu banyak korban yang ditimbulkan. Sebab, sampai saat ini sudah tak terhitung lagi seberapa banyak anak-anak yang korban sakit saluran pernafasannya, akibat debu yang setiap saat berterbangan dalam rumahnya. (damanhuri)

Sekolah Terbelakang Itu Meraih Prestasi Gemilang

Sekolah Terbelakang Itu Meraih Prestasi Gemilang

Lubuk Alung--Untuk mengukir sebuah prestasi sekolah, tak mesti ditempat yang ramai. Buktinya, SMPN 5 Kecamatan Lubuk Alung, yang terletak jauh dari pusat keramaian, bahkan dikampung tersuruk lagi, tetapi punya prestasi yang sangat gemilang pada saat Ujian Nasional (UN) kemarin. Dari 52 SMP yang ada di daerah bekas gempa itu, SMP yang terletak di Kenagarian Aie Tajun Lubuk Alung ini mampu meraih peringkat 10.
    Jon Hendri, sang Kepala sekolahnya merasa senang dan bangga sekali, karena ditangannya bersama seluruh personil guru yang ada, sekolah ini menjadi catatan sejarah yang sangat baik. Dia tidak membayangkan sama sekali sebelumnya, kalau sekolah yang dia pimpin sejak beberapa bulan belakangan itu mampu meraih nilai yang cukup pantastis. SMP itu bukan termasuk SMP favorit dikawasan Lubuk Alung.
Bahkan, belakangan sekolah demikian punya persoalan yang sangat rumit dengan si pemilik tanah yang menyerahkan tanahnya kepada pemerintah.
    Sampai saat ini, sekolah itu bagaikan sekolah tak berpenghuni. Halamannya dipenuhi rumput. Lobang menganga dipintu gerbangnya seakan tak boleh ditimbun, jalan menuju kesana juga tak bagus. Bahkan, ketika musim hujan, jalannya becet bagaikan kubangan kabau, sehingga tak satupun mobil yang bisa masuk halaman sekolah tersebut. Sebab, yang punya tanah dikabarkan melarang membangun apapun bentuk bangunan, sebelum janji pemerintah kepada yang punya tanah dikabulkan. Ada hitam diatas putih yang berisi janji, kalau sipemilik tanah akan dijadikan pegawai alias PNS, sebelum tanah itu diserahkan, yang selanjutnya dibangun sebuah lembaga pendidikan. Tapi hingga kini hal itu belum terkabul juga.
    Namun, berkat tangan dingin Jon Hendri bersama guru yang ada, perlahan sekolah yang semula susah dibangkitkan, lewat pendekatan persuasif dengan yang punya tanah, akhirnya para siswanya bisa belajar dengan tenang. "Alhamdulillah, kita mampu memberikan yang terbaik pada musim UN kali ini. Dari 649 SMP yang ada di Sumatra Barat, sekolah kita mampu menempati urutan ke 50. Ini sebuah presatsi yang sangat luar biasa," kata dia pada Singgalang, Sabtu (4/6).
    Jon Hendri yang didampingi Abdul Hadi Tuanku Rajo, guru agama dan Syamsul Badri, salah seorang pengawas yang membina langsung sekolah itu menyebutkan, disamping prestasi demkikian, sekolahnya juga meraih prestasi lainnya. Diantaranya, juara 1 lomba kriya (seni ukir) tingkat Padang Pariaman. Selanjutnya mewakili daerah itu pada Festival Lomba Sini Siswa Nasional (FLS2N) tingkat Sumbar, dengan mengikuti dua jenis lomba, seni kriya yang diikuti oleh Muhammad Syafri, dengan pelatihnya, Faizal Erizal, dan lomba desain batik, yang diikuti Resti Fauziah, dengan pelatihnya Geri Hendika.
    Untuk Kecamatan Lubuk Alung, kata Jon Hendri, hasil UN saat ini prestasi sekolahnya nomor satu. Nampaknya, Jon Hendri ingin memperlihatkan kepada banyak orang di Padang Pariaman, bahwa sekolah yang selama ini terkesampingkan, ternyata punya segudang briliyan. Dia mengaku senang, karena pada saat memulai tugas di sekolah itu, juga berbarengan dengan pemekaran Nagari Aie Tajun Lubuk Alung.
    Sebagai bagian dari masyarakat, dia melibatkan banyak pihak di nagari yang baru itu. Termasuk dengan Pj. Walinagari, Nasrizal dalam membahas berbagai persoalan yang timbul di sekolah tersebut. Dukungan dari walinagari, tokoh masyarakat serta berbagai pihak berkepentingan lainnya itulah yang dimanfaatkan Jon Hendri, sehingga berbagai kemajuan bisa diraih dengan baik dan benar.
    Kepada seluruh masyarakat Aie Tajun Lubuk Alung, dan seluruh keluarga besar sekolah itu, Jon Hendri berharap untuk bisa mempertahankan serta meningkatkan kemampuan yang telah diraih tersebut. Perjuangan pahit yang membuahkan hasil manis ini harus diisi dan ditingkatkan terus dimasa yang akan datang (damanhuri)

Rezki Mulyadi Lulus di Kedokteran UIN Jakarta, Biaya Masuk tak Ada

Rezki Mulyadi
Lulus di Kedokteran UIN Jakarta, Biaya Masuk tak Ada

Pariaman---Senang bercampur sedih. Itu yang menghantui perasaan Rizki Mulyadi, siswa SMAN I Pariaman yang lulus SNMPTN pada pendidikan kedokteran Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tanggerang. Senang, lantaran kelulusan itu sangat sesuai dengan keinginannya serta keinginan keluarganya. Sedihnya, lantaran tinggi dan mahalnya uang masuk yang harus dia bayar.
Jumlahnya sebanyak Rp90 juta. Itu harus harus dibayar pada tanggal 8 Juli ini.
    Anak ke-9 dari 10 bersaudara dari pasangan H. Ismael dan Hj. Nurhayati ini memang terkenal sebagai anak yang pintar. Dia juga pernah jadi Sekretaris OSIS di SMAN I Pariaman, Ketua DPD Asosiasi Pelajar Islam (Assalam) Kota Pariaman. Disamping itu, sebagai santri Pondok Pesantren Nurul Yakin, Ambung Kapur.
    Di sekolah nilainya bagus. Mencapai 8,1, dan selayaknya pula mendapat kesempatan pada perguruan tinggi agama ternama di nasional itu. Baginya mimpi ingin masuk kedokteran, sudah tercetus sejak lama. Makanya, ketika namanya tertera sebagai salah seorang yang lulus di pendidikan kedokteran UIN dimaksud
pada saat diumumkan, hatinya riang minta ampun.
    Namun hatinya galau, ketika semua prosedural yang dilihatnya, biaya yang harus dikeluarkan sangat mahal. Menurut dia, uang yang harus dibayarkan sebanyak itu, untuk ukuran pencaharian orangtuanya akan tidak sanggup dia tempuh. "Tapi entahlah. Belum bisa dipastikan, apa dilanjutkan, atau mundur saja. Yang jelas, itu mimpi saya dan keluarga sejak dulu," ungkapnya.
    Baginya, kelulusan di UIN pada kedokteran merupakan kebanggaan tersendiri, karena telah dibekali dengan pendidikan pondok pesantren dikampungnya, Ambung Kapur, Kenagarian Sungai Sariak, Kecamatan VII Koto, Padang Pariaman. Disamping seorang pelajar, dia juga seorang santri yang setiap malam mendalami ilmu agama di pesantren tersebut.
    Ingin sekali dia segera berangkat ke Jakarta, tempat perguruan tinggi yang telah menerimanya itu sebagai mahasiswa lewat seleksi nasional. Tapi apa yang hendak dikata. Kendala untuk itu juga didepan mata. Semua keluarganya merasa tidak sanggup untuk membiayai hal demikian. Setiap malam dia meminta dan
bermohon, agar bisa kuliah pada pendidikan kedokteran. Tuhan pun mendengar doanya saat hasil SNMPTN kemarin, tapi harus lewat perjuangan dan kendala yang lumayan berat.
    Dia ingin sukses pada kedua lembaga pendidikan yang sedang dia hadapi. Ya, sekolah umum yang baru saja diselesaikan pada SMAN I Pariaman, dan pesantren Nurul Yakin, sebagai seorang santri. "Kini sedang ujian pesantren. Tahun lalu saya sempat juara umum dilembaga pendidikan surau itu," kata dia.
    Mungkinkah cita-cita Rezki Mulyadi harus kandas dijalan ? Karena waktu pendaftaran sudah semakin dekat pada UIN tersebut. Atau berlanjut ? Belum ada kepastian. Semua persyaratan telah didapatkannya untuk masuk perguruan itu. Tinggal lagi setor biaya pendaftaran. Hal itu harus dibayar tanggal 8 Juli ini.
(damanhuri)

Gusnawati Lama Tinggal di Pondok Darurat Rumah Rekompak, Pemberian yang tak Ternilai Harganya

Gusnawati Lama Tinggal di Pondok Darurat
Rumah Rekompak, Pemberian yang tak Ternilai Harganya

Lubuk Alung--Gusnawati, 43, merasa senang dan bahagia sekali. Sejak beberapa waktu lalu, janda beranak tiga itu mendapat bantuan rumah yang dibangun lewat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Rekompak. Bantuan itu didapatkannya, setelah berbulan-bulan tinggal dipondok darurat, yang dia bangun dari bahan reruntuhan rumahnya yang hancur akibat gempa 2009 lalu.
    Dalam keseharian, ibu yang sekaligus berperan sebagai kepala rumahtangga sejak 2003 lalu itu merasa nyaman dan bersyukur sekali. Ketiga putra-putrinya bisa tidur nyenyak dalam rumah sederhana, juga ramah gempa yang terletak di Korong Koto Buruak, Lubuk Alung, Padang Pariaman itu. Dan ia pun merasa leluasa bekerja mencari upah di sawah dan ladang orang lain, demi menghidupi anaknya.
    "Dengan sedikit pertolongan dari dunsanaknya, rumah yang rencana awalnya hanya satu kamar, akhirnya dijadikan dua kamar, dan satu ruangan. Sementara, pondok darurat yang dulunya sempat dijadikan rumah, kini dijadikan sebagai dapur, karena rumah bangunan Rekompak demikian, pas berdirinya dibagian depan dari pondok darurat itu," kata dia ketika ditemui Singgalang, Kamis (3/11).
    Bagi Gusnawati, bantuan Rekompak sungguh pemberian yang tak ternilai harganya. Pascagempa yang ikut meluluh-lantakkan rumah buatan orangtuanya, tidak terbayangkan sama sekali untuk membangun rumah. Apalagi dia sudah lama ditinggal suaminya, yang meninggal dunia sejak 2003 silam. "Mengayuh biduk kehidupan seorang diri. Anak-anak masih butuh uluran tangan orangtua. Joa dibuek rumah pak. Tidak mungkin rasanya membangun rumah. Tapi Tuhan berkehendak lain. Alhamdulillah, terima kasih banyak Harry Subrata, yang telah ikut berperan, sehingga kini sudah tinggal dalam rumah yang bagus," ungkapnya.
    Koordinator PNPM Rekompak untuk Korong Koto Buruak, Lubuk Alung, Harry Subrata melihat bantuan Rekompak demikian dinilai sukses, dan dirasakan betul oleh masyarakat banyak, terutama keluarga miskin yang berada di Koto Buruak. "Saat ini ada 9 unit rumah lagi yang dijadikan sebagai pilot project. Kesembilan itu, tiga unit dibangun di Kenagarian Aie Tajun Lubuk Alung, dan enam di Koto Buruak," kata Walinagari Lubuk Alung terpilih pada Pilwana lalu itu.
    Menurutnya, pembangunan rumah yang sembilan unit itu telah berlangsung 90 persen. Hanya tinggal pintu dan plesteran saja. Dengan demikian, maka turun pula 32 unit lagi bantuan Rekompak, yang pengerjaannya pun sudah mulai menggali pondasi. "Sebelumnya, kita diniali berhasil mengelola 82 unit rumah yang tersebar di Koto Buruak, dan itu telah dimanfaatkan banyak orang, terutama warga yang dinilai layak mendapatkannya, menurut hasil verifikasi yang dilakukan tim Rekompak, sebelum rumah itu dibangun," kata Harry Subrata.
    Harry Subrata merasakan sekali, bahwa pembangunan rumah Rekompak sangat ketat aturannya. Rumah dibangun dengan ukuran 3 x 6, satu kamar, satu ruangan dengan konstruksi ramah gempa. Bahannya, seperti besi harus memakai rangka besi 12. Warga yang mendapatkannya tidak bisa dimanipulasi, karena langsung konsultan Rekompak yang turun memverifikasi calon penerima rumah demikian. (damanhuri)

Kekurangan Modal Ditengah Larisnya Batubata

Kekurangan Modal Ditengah Larisnya Batubata

Lima Pulu Kota---Pagi itu cuaca masih mendung. Maklum, saat ini lagi musim hujan. Tapi, Iswardi Engku Nan Biru tetap bersemangat sekali melakukan aktivitasnya, membakar batubata yang telah siap disusun rapi dalam tungku untuk dibakar. Membuat batubata alias tembok, adalah profesi yang telah lama digeluti bapat empat orang putra-putri ini.
    Dia menggarap tanahnya sendiri untuk dijadikan bahan pembuat rumah itu di Jorong Belubus, Nagari Sungai Talang, Lima Puluh Kota. Tungkunya cukup besar. Untuk satu kali masak mencapai 20 ribu batubata. Tapi waktu membakarnya selama sepekan, karena dibakar pakai sekam. Tidak dengan kayu. Kini, Iswardi menjual batubatanya seharga Rp700 sampai ditujuan untuk Kota Payakumbuh dan Lima Puluh Kota.
    Batubata buatan Iswardi cukup terkenal. Belakangan, banyak batubatanya sampai ke Pariaman. Pasalnya, daerah itu setelah dihoyak gampo 2009 lalu, saat ini banyak masyarakatnya membangun. Dengan serentaknya pembangunan yang dilakukan masyarakat, sehingga batubata dalam daerah tak sanggup memenuhi permintaan pasar. Iswardi juga dapat berkah tersendiri dari musibah itu, sehingga batubatanya banyak dibeli oleh rang Piaman.
    Dulu, Iswardi sempat punya sejumlah karyawan lantaran tingginya permintaan batubata. Namun, belakangan karyawannya tinggal satu orang, yang setiap harinya membuat batubata dari tanah yang telah dilunakkan oleh kerbau milik Iswardi. Sebab, batubata yang dibuatnya masih menggunakan pola tradisional atau manual. Setiap yang sudah dicetak dipajang dulu untuk dijemur barang seminggu atau lebih. "Melihat cuaca. Kalau musim panas, batubata itu cepat keringnya sehingga bisa cepat pula dibakar. Tapi saat musim hujan saat ini, lama juga menjemurnya," kata Iswardi pada Singgalang Minggu pekan lalu.
    Untuk mendapatkan sekam, Iswardi cukup kewalahan juga. Bahkan, sampai mencari sekam jauh keluar daerah, seperti Solok, Pariaman dan daerah lainnya. Sementara, karyawan yang membuat batubata dia beri upah sesuai berapa banyaknya batubata yang diselesaikan. Untuk satu unit batubata dinilai Rp90 upahnya.
    Dengan batubata itulah Iswardi mampu mengayuh biduk kehidupannya. Semua anaknya mampu menyelesaikan pendidikannya sampai SMA. Bahkan, dua bulan belakangan, anak bungsunya baru saja diwisuda di UNP Padang. "Hanya dengan tanah inilah anak-anak dibiayai semua. Mereka disilahkan mengembangkan ilmunya sampai kemana saja, sesuai dengan kemampuan kitalah selaku orangtuanya," ujarnya.
    Iswardi merasa kesulitan untuk menambah modal usahanya. "Seperti untuk mengantarkan batubata ketempat konsumen, kita masih menyewa mobil orang lain. Begitu juga untuk mencari sekam. Agaknya, agar usaha ini bisa berkembang lebih besar lagi, butuh bapak angkat. Soal permintaan batubata, lihat sajalah. Tidak ada batubata yang siap dibakar yang parkir lama-lama. Baru saja masak dari tunggu, pembeli telah menunggu. Ada yang untuk pribadinya dan ada pula pedagang yang membeli," kata Iswardi. (damanhuri)

Satu Muara Dua Sungai Perti dan NU Penjaga ASWAJA di Minangkabau


Satu Muara Dua Sungai
Perti dan NU Penjaga ASWAJA di Minangkabau

    Program pemerintah kembali ke nagari dan kembali ke surau perlu kita apresiasi. Menjaga gerakkan tradisi dan tantangan hidup di abad XXI, mengharuskan generasi saat ini untuk kembali mengakar kepada jati diri, dan mempunyai filter. Gelombang weternisasi, globalisasi, liberalisasi dan wahabisasi yang semakin kentara membuat kita mesti menggali tradisi dan potensi diri, agar bisa membentengi generasi dari perubahan-perubahan yang mengkikis ke-imanan dan ke-Islaman itu.     Bercermin kepada sejarah, menelusuri simpul-simpul yang bisa membawa kepada akar kesamaan, itulah yang mesti digalakkan pada saat ini sebagai bentuk respon terhadap arus ancaman milenium ke-III. Apalagi Minangkabau yang pernah menjadi basis Islam dan intelektual di masa lampau, yang masih tegap berdiri dengan adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, dan dengan kearifan lokal yang kental dengan nilai-nilai ke-Islaman, semangat mengakar kepada jati diri sangat diperlukan.
    Dalam lintasan sejarah Minangkabau dengan berbagai dinamika yang ada, Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) menjadi titik nadir yang melatarbelakangi pertalian adat dan syara’, dan hal itu masih tetap kokoh hingga saat ini. Nilai-nilai ASWAJA mampu merekatkan dua unsur berbeda, yaitu adat yang kental, tak lekang dek paneh-tak lapuak dek hujan, dan agama Islam, sehingga dapat saling bahu membahu, ibaratkan aur dengan tebing. Keberhasilan ini setidaknya menjadi cerminan sejarah yang membuktikan bagaimana nilai-nilai ASWAJA berperan aktif dalam merevitalisi generasi Minangkabau. Keadaan itu masih berlangsung hingga Paderi mengharu biru. Paderi sebagai gerakan perlawanan terhadap kemaksiatan dan kolonialisme akhirnya berujung kepada pengakuan akan pentingnya rekonsiliasi antara adat dan agama.
    Paderi ialah percikan nilai-nilai Aswaja, meski dibungkus dengan perlawan yang radikal. Awal abad XX muncul satu sikap dari sementara kalangan yang mempertanyakan nilai-nilai Aswaja yang telah berurat berakar di masa lalu. Sikap itu dibarengi dengan menguatnya arus modernisasi ala kolonial. Hal ini menimbulkan reaksi yang besar dari ulama-ulama di berbagai belahan negeri, sehingga mereka mendirikan organisasi-organisasi sosial keagamaan sebagai bentuk reaksi modernisasi disamping untuk memajukan kehidupan keagamaan ke arah yang lebih baik. Di awal abad XX dikenal dua organisasi keagamaan dari kalangan ulama Aswaja, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan NU. Kedua organisasi ini kemudian memainkan peran penting dalam bidang sosial keagamaan dan pendidikan. Selain itu keduanya mempunyai andil besar dalam perjuangan kemerdekaan.

    Minangkabau sebelum dekade abad XX

    Jauh sebelum dekade abad XX, Islam telah menjadi pilihan bagi segenap masyarakat Minangkabau. Pengembara-pengembara asing seperti Tome Pires menyebutkan bahwa pada abad ke-XVI raja Minangkabau telah menjadi penganut Islam yang taat. Tepat pada abad XVII lahir tokoh ulama sufi terkemuka dari Pesisir Sumatera, yaitu Syekh Burhanuddin Ulakan. Beliau dengan segala dedikasinya mampu membawa peradaban Islam melintasi bukit-bukit hingga pedalaman Minangkabau. Beliau melahirkan satu sistem pendidikan Islam, Surau, sebagai lokus penyebar keilmuan dan dakwah Islam. Dakwah yang santun dan bijaksana yang beliau jalankan menjadi faktor keberhasilannya. Tak menunggu lama, sejak beliau mendirikan Surau Ulakan, di berbagai daerah, rantau dan darek, berdiri surau-surau serupa. Dengan satu kearifan dan ideologi, yaitu Aswaja dan Mazhab Syafi’i, surau-surau itu berkemang demikian pesat melintasi batas-batas daerah dan Budaya. Maka Syekh Burhanuddin dapat dikatakan sebagai pelopor kebangkitan Islam abad ke-XVII.
    Nilai-nilai Aswaja yang terdiri dari kearifan-kearifan fiqih dan tasawuf merambah berbagai lini masyarakat. Mulai dari tradisi, adat dan sosial kemasyarakat. Pepatah-petitih seperti duduak bacamin kitab, tagak marantang pitua, bakato jo hakikaik, maliek jo ma’ripaik, adalah bukti-bukti lisan tentang penetrasi Aswaja dalam budaya Minangkabau. Nilai-nilai yang telah lama berkembang tersebut kemudian terusik dengan datangnya arus modernisasi di awal abad XX. Modernisasi menghendaki pemusatan kepada materialistik sesuai dengan pemahaman barat dan menggeser faham-faham keagamaan yang telah matang. Mangguntiang nan lah bunta, manyubik nan lah rato. Sebagai oposisi terhadap arus modernisasi, dan apologetik dari faham Aswaja, lahirnya Perti dan NU.


    Perti dan NU
    Satu Mata Air Dua Muara Antara Jombang dan Canduang

    Perti ialah organisasi yang lahir di Canduang, Bukittinggi, 1928. Sejatinya organisasi ini ialah kelanjutan dari 'Ittihad Ulama Sumatera' (Persatuan Ulama Sumatera) yang telah berdiri sejak paruh pertama abad XX di pedalaman Minangkabau, dan dipimpin oleh ulama-ulama senior. Namun, organisasi kemudian redup seiring berpulangnya ulama-ulama tua tersebut. Pada 1928 tersebut, ulama-ulama dari berbagai daerah berkumpul di Canduang. Ulama-ulama itu notabene-nya ialah pimpinan-pimpinan surau. Sebagian besar mereka ialah hasil didikan Makkah dan Madinah sebelum ekspansi tentara Ibnu Saud dan Faham Wahabi. Di antara yang hadir dalam pertemuan itu ialah Syekh Sulaiman ar-Rasuli Canduang, Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Arifin Batuhampar Payakumbuh, Syekh Abdul Majid Koto Nan Gadang Payakumbuh, Syekh Abdul Wahid as-Shalihi Tabek Gadang, Syekh Jalaluddin Sicincin Payakumbuh, Syekh Muhammad Yunus Tuanku Sasak Pasaman, Tuanku Alwi Koto Nan Ampek Payakumbuh, Syekh Muhammad Sa’id Bonjol dan lain-lainnya. Umumnya ulama yang hadir itu pernah belajar dengan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1916) dan Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka (1957-1922).
    Perti pada mulanya bertujuan untuk menghimpun madrasah-madrasah yang dikelola oleh ulama-ulama Aswaja dengan nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Madrasah Tarbiyah Islamiyah, sebuah instusi pendidikan Islam tradisional sebagai kelanjutan surau ini tersebar di berbagai wilayah di Sumatera, seperti Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu dan Tapanuli. Menurut statistik yang dikemukakan Buya Siraj pada Kongres Perti 1954 di Jakarta, terdapat lebih kurang 350 Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang tersebar bukan hanya di Sumatera Tengah. Sebuah jumlah fantastis untuk sebuah Madrasah di masa itu. Perlu ditegaskan bahwa madrasah-madrasah ini ialah pondok-pesantren khas. Meski tidak dinamai pondok pesantren, kehadirannya seperti pondok pesantren di Jawa. Bisa dibayangkan pada era orde lama terdapat lebih 300 pondok pesantren di bawah satu haluan, yaitu Perti. Selain berkiprah di bidang pendidikan, yaitu menyelenggarakan Madrasah teratur dan kurikulum yang disesuaikan dengan mata pelajaran di Masjidil Haram, Perti juga berkiprah sebagai benteng Aswaja Mazhab Syafi’i. Bahkan, menurut beberapa sumber, berdirinya Perti dimaksudkan untuk membentengi Aswaja di Minangkabau.
    Organisasi kedua, Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keulamaan yang berdiri di Jawa Timur 1926. Meski dua tahun lebih dahulu berdiri, seperti halnya Perti, NU berdiri salah satunya dilatarbelakangi oleh menguatnya arus Modernisasi di Jawa. Pada tahun sebelumnya terjadi ekspansi tentara Ibnu Sa’ud ke Makkah berikut faham Wahabi. Setelah menguasai Makkah, mereka menyerang praktek ziarah ke makam Nabi dan ulama, menutup zawiyah-zawiyah sufi, mengkritik tradisi-tradisi keagamaan yang telah berkembang sebelumnya karena dianggap bid’ah dan syirik, bahkan mereka merusak makam-makam ulama dan tempat-tempat bersejarah. Untuk men-counter aktifitas Wahabi yang telah menjadi buah bibir saat itu, maka ulama-ulama di Jawa mengirim Komite Hijaz untuk menyampaikan aspirasi ulama-ulama Jawa terhadap peristiwa yang terjadi di Makkah. Sebagai kelanjutan Komite ini, maka didirikanlah NU, setelah sebelumnya mendapat restu dari ulama senior Kyai Kholil Bangkalan, dan disepakati dalam pertemuan ulama-ulama di Jawa Timur. Dalam perjalanannya, NU berhasil membendung arus modernisasi dan menguatkan posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional sesuai dengan perkembangan zaman. Saat ini, NU termasuk salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia.
    Dua organisasi ini, Perti dan NU mempunyai kaitan dan akar sejarah yang sama. Ia hadir sebagai benteng Aswaja, dari kalangan ulama-ulama yang teguh menjalankan prisip-prinsip agama. Bila ditinjau lebih dalam, dua organisasi sosial keagamaan ini lahir dari satu mata air yang sama; mata air yang mempunyai dua muara. Dua muara yang dimaksud ialah dua tokoh pendirinya, yaitu Syekh Sulaiman ar-Rasuli Canduang dan Kyai Haji Hasyim Asy’ary. Sedangkan mata air yang sama itu ialah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Mereka sama-sama direkat oleh nilai-nilai Aswaja.

    Antara Syekh Sulaiman ar-Rasuli dan KH. Hasyim Asy’ary

    Perti didirikan oleh ulama-ulama terkemuka Minangkabau. Tokoh utama dari pendiri tersebut ialah Syekh Sulaiman ar-Rasuli Canduang. Sedangkan NU, sebagaimana halnya Perti digagas oleh ulama-ulama besar Jawa, pencetus utamanya ialah Kyai Hasyim ‘Asy’ary. Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli atau dikenal dengan Inyiak Canduang dan Angku Canduang Nan Mudo lahir di Canduang, Baso, 1871. Ayahnya seorang ulama lokal yang mempunyai surau dan mendidik murid-murid yang cukup ramai, yaitu Syekh Muhammad Rasul. Sebelum melanjutkan pengembaraan intelektualnya di Haramain (Makkah-Madinah), ia telah belajar agama dengan ulama-ulama terkemuka Minangkabau, antara lain Syekh Ladang Laweh Banuhampu, Syekh Abdus Samad Biaro, Syekh Yahya al-Khalidi Magek dan Syekh Abdullah Halaban Payakumbuh. Gurunya yang terakhir ini, Syekh Abdullah, sangat berpengaruh baginya, terutama membuka wawasannya dalam ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Setelah itu ia belajar di Makkah selama tiga tahun. Guru-gurunya di Makkah ialah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Shaleh Ba Fadhal dan lainn-lain. Di awal abad XX, ia pulang ke Minangkabau dan mulai mengajar di surau ayahnya, Canduang. Namun, beliau kemudian kembali menimba ilmu kepada Syekh Muhammad Arsyad Batuhampar (saudara dari ayah Bung Hatta) di Payakumbuh, untuk mendalami Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah dan riyadhah sufi. Pada tahun 1928 ia mengadakan pertemuan ulama-ulama Aswaja. Hasil pertemuan itu ialah berdirinya Perti sebagai basis pendidikan Islam dari golongan Aswaja di Minangkabau. Syekh Sulaiman wafat pada tahun 1970 dalam usia sepuh, 99 tahun. Ia kemudian dimakamkan di depan Madrasah yang ia bangun, Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang.  
    Kyai Hasyim Asy’ari, mata rantai jaringan ulama pesantren di Jawa pada abad XX. Ia lahir di lingkungan pesantren yang kental pada 1871. Sebagaimana Syekh Sulaiman ar-Rasuli, ia juga belajar di Makkah. Namun, sebelum itu ia telah belajar kepada kyai-kyai terkemuka di Jawa, salah satunya Kyai Kholil Bangkalan, tokoh besar ulama Madura. Pada 1892 ia berangkat ke Makkah. Di sana ia belajar agama kepada ulama-ulama terkemuka, antara lain Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kembali dari Makkah, Kyai Hasyim kemudian memapankan karier keulamaannya di Jobang dengan mendiri Pesantren Tebu Ireng. Kyai Hasyim wafat pada 1947, setelah puluhan tahun berjuang di jalan agama; memimpin pesantren, NU dan pokok-pokok pikiran beliau menjadi perhatian dan dilanjuti oleh PBNU, bahkan cucunya KH. Abdurrahman Wahid pernah memimpin NKRI ini sebagai presiden yang merupakan deklarator bersama para kiyai lainnya dan PBNU mendirikan partai politik yang berhaluan Aswaja; "Partai Kebangkitan Bangsa"

Katupek Pitalah dan Pangek Bilih

Katupek Pitalah dan Pangek Bilih

    Ada tiga makanan yang paling di sukai semasa aku di Padang Magek. Tersebutlah Nasi Kiambang, Katupek Pitalah, dan Pangek Bilih. Bagi santri Padang Magek, Pasar Rambatan adalah pasar yang paling dekat untuk di kunjungi, disamping Pasar Batusangkar setiap hari Kamis. Rambatan hari pakannya, Selasa. Aku dan santri lain acap ke pasar ini dengan hanya berjalan kaki. Disamping memakiah alat yang akan di masak, kami juga pergi belanja membeli apa saja yang di perlukan. Kalau beli gulai, ya Pangeh Bilih yang sering di beli. Gulai buatan orang Ombilin ini terkenal enak. Ada ubi kayu campurannya. Biasanya kalau dibeli Selasa, sampai Rabu sore masih ada. Sementara, kalau ada flu yang menyerang banyak kawan-kawan memanfaatkan obatnya dengan makan di kedai Nasi Kiambang.
    Gulainya terkenal pedas, mampu memerahkan wajah saat makan itu, sehingga angin tersumbat jadi lapang. Setiap Selasa Pasar Rambatan juga menyediakan Katupek Pitalah. Katupek ini besar-besar dan gulai cubadaknya juga gadang-gadang. Sehingga kalau di makan pagi bisa kenyang perut sampai siang atau sorenya. Di manapun pasar di daerah Tanah Datar selalu menyediakan makanan Katupek Pitalah. Aku pernah juga makan katupek itu di Pasar Pitalah. Keenakan katupek ini gulainya di masak dengan periuk dari tanah yang sangat alami. Tentunya periuk itu buatan orang Galogandang, karena di kampung ini sangat banyak kerajinan rumah tangga dalam soal membuat periuk dari tanah yang kemudian di bakar bagai membuat batu bata.
    Hingga kini Katupek Pitalah masih mentereng Namanya dalam belantara kuliner di Luhak Nan Tuo itu. Sejak aku pindah dari Padang Magek ke Lubuk Pandan, Padang Pariaman sangat jarang aku makan Katupek Pitalah. Kalaupun ada, itu tentunya bisa sesekali saat jalan-jalan ke Padang Panjang. Rasa Katupek Pitalah dengan katupek yang di jual banyak dalam kampung pun berbeda. Lalu adalagi katupek gulai paku yang rang Piaman di Pasar Batu Sangkar. Di Pasar Bawah, tempat langganan kami menjual beras. Enak di tempat uniang ini ada menyediakan sala lauak, ciri khas makanan Piaman. Namun, katupek gulai paku uniang belum sanggup menyaingi Katupek Pitalah yang telah lama mendunia di Tanah Datar. Saat aku memakiah ke Pitalah, uang aku tak mau amak-amak yang jualan itu mengambilnya. Urang darek terkenal pemurah.
    Aku jarang makan siang kalau saat jalan-jalan Kamis dan Jumat itu. Paling sehabis sarapan ketan goreng pagi, singnya makan Katupek Pitalah atau katupek gulai paku uniang. Sampai sing hari pun makanan demikian masih tersedia dengan baik dan enak. Semua makanan itu tak di sediakan di warung yang wah. Hanya kaki lima yang payung bulat di setiap hari pasar. Tapi pengunjungnya mintak ampun ramainya. Rasanya belum ke Pasar Rambatan kalau tak makan Katupek Pitalah atau membeli gulai Pangek Bilih. Setiap masyarakat yang pergi ke pasar itu pun demikian adanya. Pasti membeli gulai pangek bilih dan Katupek Pitalah. Bagi petani kampung Padang Magek, hampir tiap pakan makan di kedai Nasi Kiambang yang terkenal membangkitkan selera makan, serta menghilangkan segala yang tersumbat dalam batang hidung kita. Itu pula ajaibnya Nasi Kiambang. Dan itu hampir semua orang tahu di senatero Tanah Datar.