wartawan singgalang

Jumat, 20 September 2013

Nagari Buayan dan Sistim Patrilinial di Padang Pariaman

Nagari Buayan dan Sistim Patrilinial di Padang Pariaman

Buayan---Meskipun berada dibawah pemerintahan Kecamatan Batang Anai, Nagari Buayan merupakan pemekaran dari induknya, Nagari Lubuak Aluang. Dan ini dibunyikan dengan jelas; Nagari Buayan Lubuak Aluang. Menurut sejarahnya, Buayan itu mulai dihuni sekitar tahun 1789 M. Pertama kali kampung itu didiami oleh masyarakat yang datang dari Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan yang waktu itu ada lima suku yang datang; Batu Bara, Harahap, Lubis, Siregar, dan Harahan.
    Dengan ini, maka lima pula panghulu dalam nagari demikian. Batu Bara dengan panghulunya; Datuak Rajo Lelo, Harahap; Datuak Rajo Manih, Lubis; Datuak Manambin, Harahan; Datuak Rajo Mambang, dan Siregar dengan Datuak Sutan Paruhuman. Pada 1819 para panghulu ini meminta secara adat ke niniak mamak Lubuak Aluang untuk berdiri sendiri, karena berlainan adat yang selama ini terpakai di Minangkabau. Tentu adat diisi, limbago dituang. Permintaan itu dikabulkan secara tertulis, yang disebut dengan Trakat 17 April 1819, yang hingga kini dan sampai kapanpun masih dijadikan pedoman oleh masyarakat Buayan dan Lubuak Aluang dalam menata dan mengembangkan adat salingka nagari.
    Datuak Rajo Sutan Paruhuman yang saat ini dipegang oleh Nasrul Yusuf ketika bersua dengan Singgalang menceritakan panjang lebar asal usul masyarakat Buayan demikian. Dalam panghulu Suku Siregar, bapak ini sudah generasi yang ke-6. Disamping bercerita, dia memberikan sejumlah dokumen penting yang menulis riwayat Buayan tersebut. Saat ini Buayan membawahi lima korong, masing-masing; Korong Padang Kunik, Kapalo Buayan, Kampuang Tangah, Simpang, dan Korong Titian Aka.
    Fitri Eriyanti, dalam tesisnya yang berjudul; Integritas Sosial Suku Bangsa Batak Mandailing dengan Minangkabau menulis, bahwa nama Buayan yang dilekatkan kepada nagari tersebut diambilkan dari sebelum kampung itu diolah sebagai pemukiman, yakni berupa rawa yang kalau dinjak akan bergerak dan bergelombang, sehingga yang menginjaknya rasa berbuai diatasnya. Lama kelamaan, sebutan itu menjadi Buayan.
    Berada di jalur Padang-Bukittinggi, Buayan ini luasnya mencapai 6.900 hektare, dengan rinciannya; areal persahawan 2.900 hektare, perkebunan; 2.030 hektare, dan untuk wilayah pemukiman seluas 1.9790 hektare. Data tahun 2000 yang dicatat Fitri Eriyanti, jumlah masyarakatnya mencapai 3.771 jiwa, yang terdiri dari Suku Batak Mandailing sebanyak 1.271 jiwa, dan Minangkabau sebanyak 1.000 jiwa. Dengan ini, mayoritas penduduknya adalah keturunan Batak.
    Menurut Datuak Rajo Sutan Paruhuman, meskipun di Buayan berlaku sistem Patrilinial, yakni harta pusaka diturunkan kepada anak, sistim Matrilian, sebagaimana yang lazim di Minangkabau juga diberlakukan disini. Namun, secara umumnya tentu Patrilinial. "Lubuak Aluang baparuik panjang, Buayan pabaga bulek. Artinya, Buayan tetap berinduk ke Lubuak Aluang secara adat umumnya, tetapi gantiang putuih, biang tabuak juga berlaku di Buayan. Seperti dalam soal pusaka, itu sudah diberikan wewenang penuh oleh niniak mamak Lubuak Aluang untuk mengurisinya," kata dia.
    Semasa pemerintahan nagari diberlakukan di Padang Pariaman sejak 2002 silam, Buayan masih tetap dalam status desa. Barulah tahun 2010, bersama dengan Nagari Pungguang Kasiak, Aie Tajun, Sikabu, Pasie Laweh, Buayan menjadi nagari otonom, yang setara dengan nagari lainnya di daerah tersebut. Kini, nagari itu dipimpin oleh seorang anak muda. Deni Setiawan namanya. Ketua Bamus-nya juga anak muda, Januar Bakri yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Komisi III DPRD Padang Pariaman. Anak muda aktivis ini berhasil jadi anggota tahun 2009 silam dari Partai Demokrat. Untuk Pemilu yang akan datang, dia maju lagi, bahkan caleg nomor satu di Dapil IV Padang Pariaman. Sedangkan, Nasrul Yusuf Datuak Rajo Sutan Paruhuman diamanahi memegang jabatan Ketua LAN, yang kekuasaannya tetap berada dibawah KAN Lubuak Aluang.
    Dengan adanya campuran masyarakat antara Batak dan Minangkabau itu pula, seringnya terjadi kawin campuran di Buayan, sehingga tercipta suasana yang heterogen. Masyarakatnya cepat menangkap perkembangan demi perkembangan yang ada. Sebagaimana masyarakat Padang Pariaman lainnya, di Buayan pun berkembang dua aliran keagamaan, yang dalam kampung itu disebut dengan kaum maju dan kaum kuno. Atau sebagian ikut Muhammadiyah dan sekelompok yang lain ikut Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja). Itu disimbolkan pula dengan dua masjid yang aktif ditengah masyarakat Buayan. Aswaja kampung itu menganut Tariqat Naqsabandiyah, seperti yang banyak ditemukan di daerah Tapanuli, tempat berasal masyarakat asli Buayan demikian. (damanhuri)

Yanti Bergantung Pada Mesin Jahit Pinjaman

Yanti Bergantung Pada Mesin Jahit Pinjaman

Batang Anai---Herma Yanti mengayuh biduk kehidupan sendirian. Janda dengan seorang anak ini disamping membiayai anaknya, dia bekerja untuk menghidupi ibunya yang juga janda ditinggal wafat suaminya. Tiap hari dia menjahit pakaian wanita dan kebutuhan lainnya, seperti kain untuk gorden pintu rumah. Pekerjaan itu dilakoninya sejak suaminya meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Ditengah cacat kakinya, dia kuatkan juga untuk bekerja demi sesuap nasi yang akan dinikmati oleh anak dan ibu kandungnya.
    Yang memeriskan itu, mesin jahit yang dipakai Herma Yanti pinjaman pula dari tetangganya yang merasa iba melihatnya. Upahan jahitan pun kadang-kadang ada, kadang kosong. Perempuan yang tinggal di Korong Tanjuang Basuang I, Nagari Sungai Buluah, Kecamatan Batang Anai, Padang Pariaman ini juga terbilang seorang ibu yang cacat. Kakinya sakit, dan terpaksa pakai sebilah tongkat ketika berjalan. Namun, semangat hidupnya sangat kuat.
    Kamis kemarin, Singgalang bersama anggota DPRD Padang Pariaman, Januar Bakri mendatangi rumah ibuk itu. Tampak dia menjahit tertatih-tatih. Baginya pekerjaan demikian sebagai usaha untuk melanjutkan kehidupan. Sempat sajalah tak ada orang yang mengupahkan jahitan kepadanya, maka tak bisa pula dia berkeluarga makan. Artinya, tidak akan berasap dapurnya, manakala jahitan tidak masuk dari orang lain.
    Sebagai mesin jahit pinjaman, tentu Herma Yanti tidak bisa pula berbuat banyak. Paling tidak, dia tentu mengeluarkan pula biaya kepada yang punya sebagai perawatannya. Dia mengaku, pekerjaan menjahit didapatkan sejak dia masih gadis. Dan kepadaian ini dikembangkannya kembali, setelah tempat bergantungnya yang sudah tiada. "Alhamdulillah, ada-ada saja yang menjahit pakaiannya kesini. Kadang menjahit kain untuk gorden pintu rumah orang. Tetapi, sejak kaki sakit ini, tak bisa menjalankan jahitan terlalu banyak," kata dia.
    Dalam kondisi demikian, Herma Yanti ingin punya usaha jahitan yang gadang. Artinya, paling tidak punya mesin sendiri. Untuk ini, dia sangat mengharapkan bantuan uluran tangan dari berbagai pihak dalam melanjutkan kehidupan rumah tangganya itu. Kalau masih mengandalkan mesin orang lain, tentu tak banyak keuntungan yang bisa dia dapatkan.
    Selaku anggota dewan terhormat di daerah pemilihan itu, Januar Bakri yang juga caleg DPRD Padang Pariaman dengan nomor urut satu merasa terenyuh melihatnya. Politisi Demokrat ini mencoba mencarikan jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi Herma Yanti kepada Pemkab Padang Pariaman, dan jaringan lainnya yang diketahuinya.
    "Kita usahakan dalam waktu dekat ini, apa yang menjadi kebutuhan ibuk itu bisa diatasi. Apalagi, beban hidupnya terlalu banyak ditanggungnya dalam rumah tersebut. Patut diberikan bantuan, sehingga dia bisa pula bersaing dengan ibu rumah tangga lainnya di kampung itu," ungkap Januar Bakri. (damanhuri)

Sabtu, 07 September 2013

Diambil Dengan Sakral Tonggak Macu Masjid Bagian yang Paling Penting

Diambil Dengan Sakral
Tonggak Macu Masjid Bagian yang Paling Penting

Patamuan---Pagi itu bau asap kemenyan menyeruak, seolah-olah menyungkup kampung. Puluhan masyarakat berkumpul di sebuah pohon kayu besar. Lalu seorang orang siak membaca doa. Didepan mereka terletak sejumlah pekakas tukang, dan seekor ayam yang akan disembelih sehabis mendoa.
    Demikian secercah tradisi untuk menebang kayu besar yang akan dijadikan sebagai tonggak macu Masjid Raya Sungai Durian, Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padang Pariaman. Usai mendoa, ayam disembelih lalu darahnya diserakkan pada bagian Barat pohon kayu yang akan ditebang tersebut.
    Sebelum kayu itu akan dipakai untuk tonggak macu, terlebih dulu di patuik-patuik oleh yang ahli dibidangnya. Untuk kecamatan itu Abu Kasin namanya. Bapak tua ini terkenal lihai dalam soal tonggak tuo, nama lain tonggak macu yang akan dipakai di masjid dan surau. Tak heran, setiap kali ada surau ataupun masjid yang akan menukar tonggak tersebut, selalu Abu Kasin yang dipanggil.
    Bustanul Arifin Khatib Bandaro, khatib dalam nagari itu menyebutkan kalau prosesi pengambilan kayu tonggak macu termasuk bagian yang sangat sakral ditengah masyarakat. Hampir dipastikan, setiap masjid perkampungan di Padang Pariaman pakai prosesi ini. Pohon kayu ditanam ataupun tidak, jelas punya kesaktian. Dan dengan ini pula perlu dimintakan doa sepatah duanya kepada Yang Maha Kuasa, agar diberikan kemudahan dalam menebangnya.
    Ada istilah yang cukup memasyarakat di daerah itu. Tonggak macu, tonggak musajik, katigo tonggak balai-balai. Biar anak tuanku ataupun anak khatib, kalau tak belajar tak akan pandai sendiri. Artinya, tonggak macu adalah kekuatan masjid. Kalau masjid dalam kampung tak pakai tonggak ini, akan menjadi pertanyaan besar.
    "Masjid Raya Sungai Durian ini direhab. Dimana bagiannya dipertinggi, sehingga butuh tambahan tonggak macu. Sebab, tonggak yang lama terlalu rendah, sekaitan adanya penambahan tinggi masjid tersebut," kata dia saat melakukan pengambilan kayu itu, Kamis lalu.
    Kayu itu cukup besar. Bukan tonggak macu namanya, kalau bukan gadang kayunya. Dengan itu, sehari penuh habis waktu menebang dan membawanya ke masjid. "Untungnya, kayu madang yang ditebang ini tak jauh dari lokasi masjid yang akan diganti tonggak macunya itu. Biasanya, sebagian masyarakat lain kalau mencari kayu macu itu jauh-jauh. Sampai ke Malalak, Kabupaten Agam bagai," ujarnya.
    Senin kemarin, Bupati Padang Pariaman, H. Ali Mukhni sengaja datang ke kampung itu melihat kegiatan goro bersama masyarakat di masjid ini. Bupati Ali Mukhni didaulat masyarakat untuk mangarek kayu yang akan dijadikan tonggak maju tersebut.
    Bupati pilihan masyarakat pada 2010 ini memberikan apresiasi kepada masyarakat Sungai Durian karena tingginya semangat gotong royong. Apalagi untuk pembangunan kembali masjid yang jadi kebanggaan masyarakat selama ini. (damanhuri)