wartawan singgalang

Rabu, 15 Mei 2013

Nasib Pasukan Kuning Lubuk Alung Awak Miskin Anak Sakit Pula

Nasib Pasukan Kuning Lubuk Alung
Awak Miskin Anak Sakit Pula

Lubuk Alung----Malang benar nasib yang ditanggung Zainal Abidin. Sudahlah hidup miskin, satu dari lima orang putra-putrinya dapat penyakit pula. Orang kampung bilang, penyakit Wendra Saputra, nama anak nomor limanya itu sibudak. Bidan bilang step. Terlihat, anak yang berusia dua tahun tersebut bagaikan mengalami penyakit busung lapar, lantaran badannya semakin mengecil.
    Zainal Abidin bersama istrinya, Maidarnis hanya disuruh oleh bidan yang menangani imunisasinya tiap pekannya untuk selalu diberi bubur kacang hijau. Tidak ada tindakan lebih lanjut, bagaimana memulihkan anaknya. Bayangkan saja, dalam usia dua tahun anak itu belum juga pandai berjalan. Kedua telinga anak ini juga ada kelainan dari telinga orang biasanya.
    Yang membuat meris itu, Zainal Abidin yang tinggal dikomplek paling padat penduduk, Kabun Kopi, Balah Hilia, Lubuk Alung, Padang Pariaman, hanya satu rumahnya saja yang mencolok. Rumahnya tak layak huni. Disamping terbuat dari kayu yang sudah lama, juga tidak punya jendela yang memadai. Bila malam datang, jendela yang hanya pakai telaris itu dia tutupi dengan kain lusuh.
    Senin (13/5) Singgalang diajak bertandang kerumahnya itu oleh pengurus Karang Taruna Nagari Lubuk Alung. Mereka; Ketua; Jasman Jay, Sekretaris; M. Maneza Ade. Kemudian Landi Effendi, Sekretaris Bamus Lubuk Alung, dan Ketua DPC PAN Lubuk Alung, Hilman H. Anak muda ini merasa prihatin melihat nasib kehidupan yang ditanggung pasangan keluarga ini. Rumah itu dibuatnya, setelah yang punya tanah mau menyewakan tanah untuk dibangunnya sebuah pondok.
    "Dulu kami tinggal di Kampuang Baru, Pungguang Kasiak. Lantaran tak kuat menyewa, pindah kesini. Disamping aktif mengikuti imunisasi, obat kampung juga sering dilakukan. Namun, perubahannya belum kelihatan," keluh dia.
    Dalam pondok berukuran sangat kecil dan tak layak huni itulah Zainal Abidin tinggal. Dia merasa kesulitan untuk mengobati anaknya ke rumah sakit, lantaran tidak punya Jamkesmas dan Jamkesda. Sore menjelang, bila pedagang Pasar Lubuk Alung telah berkemas, Bulek, begiti Zainal senang disapa banyak orang datang ke pasar itu untuk membersihkan sampah pasar yang berserakkan disana-sini.
    Dia bekerja sebagai tenaga kebersihan sudah puluhan tahun. Tidak ada yang tak kenal dengan Bulek. Sebagai pasukan kuning, seharusnya dia mendapatkan kehidupan yang layak pula. Tetapi apa hendak dikata. Hanya Rp1 juta dia digaji oleh pihak pasar dalam sebulan. Dengan uang sebanyak itu ia menghidupi lima anak dan seorang istrinya. Anaknya yang paling besar, baru sekolah di bangku SMP. Bulek adalah asli Padusunan, Pariaman. Sedangkan istrinya, Maidarnis asli Badinah, Nagari Lurah Ampalu, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak.
    Soal kebersihan Pasar Lubuk Alung, jangan tanya kerja Bulek. Sampai tengah malam dia bekerja. Sudah sampah dikumpulkan, ditunggu pula mobil pengangkut datang, dinaikkan ke mobil sekitar pukul 00.00 Wib, kadang lewat dari jam itu. Setelah itu, baru dia bisa pulang ke rumahnya di Kabun Kopi. Pagi menjelang sore, dia ikut membantu kerja di huller milik kakanya, menjemur padi. "Ya, dari pada tak ada kerjaan mejelang sore, kan mendingan," katanya.
    Atasnama Karang Taruna Nagari Lubuk Alung, Jasman Jay menyerahkan sebuah amplop yang berisi sejumlah uang. "Jangan lihat isinya. Ini hanya untuk penambah beli bubur kacang hijau," kata Hilman menambahkan. (damanhuri)

Minggu, 12 Mei 2013

Suami Diserang Gula dan Asam Urat Epi Sendirian Mengayuh Kehidupan

Suami Diserang Gula dan Asam Urat Epi Sendirian Mengayuh Kehidupan

Lubuk Alung---Sejak empat bulan lalu Epi mengayuh biduk kehidupan rumah tangganya secara sendirian. Suaminya, Amrizal hanya bisa duduk dan tidur dalam kamar, lantaran diserang penyakit komplikasi. Gula dan asam urat menyerangnya, disamping penyakit polio yang dideritanya sejak terlahir kedunia 42 tahun yang silam. Ibu dua anak, berusia 38 tahun ini berjualan kecil-kecilan didepan rumahnya. Disamping jualan kebutuhan anak-anak, juga ada kebutuhan dapur, seperti sayuran.
    Sebelum Amrizal mengalami penyakit gula basah dan asam urat, lelaki yang selalu senyum dan riang gembira ini berkeliling ke berbagai sekolah yang ada di Lubuk Alung. Dia menjual gorengan yang dibuat istri tercintanya, Epi. Dia jualan pakai sepeda motor yang diolah dari roda dua menjadi roda tiga, lantaran kaki kanannya kecil, dan tak kuat pakai motor seperti orang biasa.
    Sepasang anaknya sudah bersekolah. Yang besar di SMP, dan yang kecil sudah hampir tamat SD. Rabu kemarin, Singgalang bertandang ke rumahnya di komplek Pasar Baru Anak Nagari. Tepatnya di Sungai Abang, Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman bersama Kepala Korong Sungai Abang, Alfios Mardia, Walinagari Harry Subrata, Ketua DPC PAN Lubuk Alung, Hilman H, Sekretaris Bamus, Landi Effendi, dan Mirza Harmadi, warga Lubuk Alung yang bertugas di Bappeda Padang Pariaman.
    Walaupun beratnya beban penyakit yang ditanggung Amrizal, dia tampak cerah dan gembira saja. Tak sedikitpun rasa sedih dan putus asa yang tampak  pada raut wajahnya. Dia duduk diatas tempat tidur dalam kamarnya. Melalui kartu Jamkesmas yang dimilikinya, sekali dua minggu istrinya, Epi mengambil obat ke RSUD Padang Pariaman di Parit Malintang. Sejak penyakit gula mendatangi tubuh Amrizal, ia jadi susah untuk mengatur pola makannya. Dan bahkan laki-laki yang asli Ringan-Ringan, Pakandangan ini pernah pula diserang penyakit maag.
    "Dulu lai talok sumbayang. Kini, terpaksa duduk saja shalatnya diatas tempat tidur. Susahnya, karena tidak ada kursi roda, adalah ketika uda ingin buang air besar atau kecil. Badannya lumayan berat. Awak surang pula memapahnya ke kamar mandi," cerita Epi dengan sedihnya.
    Cerita Amrizal, penyakit gula yang ditanggungnya itu sepertinya sudah keturunan. Mulai dari ibunya. Terakhir kakaknya juga mengalami penyakit yang sama dengannya. Amrizal sempat disuruh operasi oleh dokter di rumah sakit. Dia tidak mau, lantaran tidak punya uang untuk itu. Dan ia lebih memilih dengan mengambil obat buat kebutuhan dua kali dalam sepekan.
    Dengan kondisi begitu, Amrizal tetap punya semangat yang lumayan kuat. Hidup miskin, diderita pula oleh penyakit yang mematikan, dia tetap ingin kedua buah hatinya lanjut sekolah. Dia ingin anak-anaknya itu punya impian yang sukses dalam dunia pendidikan, yang pada akhirnya mampu menopang kehidupan rumah tangganya, yang saat ini berjalan dengan terseok-seok itu.
    Begitu juga dengan Epi. Dia berusaha terus menjadi ibu rumah tangga yang baik untuk anak dan istri yang penuh dengan kesetiaan bagi suaminya. Sepertinya, Epi tidak ingin mengeluh ditengah kesusahan yang yang mendera bahtera rumah tangganya. Dengan setianya dia beresin anak dan suaminya saban hari. Siang dan malam. Selesai itu dia cari pula kemasukan buat membiayai kehidupan keluarganya.
    Walinagari Harry Subrata dan rombongan yang datang ke rumah itu merasa terenyuh melihat parasaian keluarga tersebut. Harry Subrata sedikit memberikan bantuan buat tambahan biaya beli obatnya. "Yang sabar dan jangan mengeluh. Mungkin ini sudah menjadi takdir dalam hidup kita," kata Harry Subrata memberikan semangat kepada keluarga demikian. (damanhuri)

Selasa, 07 Mei 2013

Bermula Sakit Maag Anggraini Harus Pakai Tongkat

Bermula Sakit Maag
Anggraini Harus Pakai Tongkat

Kapalo Hilalang---Bermula dari sakit maag yang dialami Maidatul Anggraini pada akhir 2012 lalu, akhirnya merembet kelain tubuhnya. Saat ini, perempuan kelahiran 1996 ini tidak bisa berjalan, selain harus dibantu dengan sebilah tongkat. Sewaktu penyakit maag, dia pernah dirawat di RSUD Pariaman selama 10 hari.
    Setelah diizinkan pulang kerumah, seminggunya lagi dia terpaksa kembali dilarikan ke rumah sakit tersebut. Kata dokter yang menangani penyakitnya, siswi MTsN Kapalo Hilalang, Kecamatan 2x11 Kayutanam, Padang Pariaman ini mengalami penyakit diagnosa roptor ligaman colateral beru dextra.
    Saking tingginya biaya yang harus ditanggung Syafinar dan Suhermi, ibu dan ayah dari Maidatul Anggraini untuk mengulangi berobat ke rumah sakit, dia memutuskan anaknya tidak lagi dirawat disitu. Maklum, warga Simpang Balai Kamih, Nagari Kapalo Hilalang ini terbilang masyarakat miskin dalam nagari itu.
    Maidatul merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Sejak sakitnya semakin menjadi-jadi, Maidatul tidak bisa lagi sekolah. Dia hanya bisa duduk, dan sesekali berjalan-jalan sambil ditemani oleh sebuah tongkat. "Untuk biaya terapi Rp90 ribu serta beli obatnya untuk tiga kali dalam sepekan, kita tak punya pitih," kata kedua orangtuanya saat ditemui kemarin.
    Menurut dia, obat yang dianjurkan selama menjalani terapi tersebut; susu hello teea. Itu ndak punya uang pula untuk membelinya. "Alhamdulillah, belum ada yang melihat kerumah. Pihak sekolahnya sudah diberitahu, tetapi belum ada kepedulian dan kesungguhannya untuk bisa saling berbagi," ceritanya dengan sedih.
    Maidatul sendiri merasakan sakit yang luar biasa sekali. "Saat ini kalau berjalan harus pakai tongkat. Tumit kaki kanan terasa sakit bila diinjakkan. Nafsu makan sangat berkurang," kata dia merasakannya.
    Secara pisikologis, Maidatul merasakan malu sendiri. Malu ketemu orang. Dan bahkan ada pula rasa takut dalam dirinya yang selalu menghantui setiap saat. Dia pun tidak bisa memastikan tentang kelanjutan sekolahnya. Baginya, hari-hari yang penuh dengan ceria bagi gadis jolong gadang seusia dia, terpaksa dijalaninya dengan banyak sedih dan takut.
    Ingin dia seperti kebanyakan orang lain di kampungnya, Kapalo Hilalang, tetapi apa hendak dikata. Bermimpi saja terasa susah, lantaran perasaan cemas dan takut selalu menyelimuti jiwanya siang dan malam. Orangtuanya yang dirundung kesusahan dalam hidup pun tidak lagi bisa berbuat banyak. Untuk biaya makan saja sangat susah, apalagi untuk berobat. Hanya keajaiban Tuhan yang bisa menolongnya. (damanhuri)