wartawan singgalang

Rabu, 19 Desember 2012

Tak Punya Jamkesmas dan Jamkesda Penderita Gizi Buru Butuh Bantuan

Tak Punya Jamkesmas dan Jamkesda
Penderita Gizi Buru Butuh Bantuan

Pariaman---Arindu dinyatakan oleh dokter terjangkit gizi buruk. Anak usia delapan bulan itu beratnya empat kilogram. Sejak Jumat lalu, anak ke enam buah hati pasangan Dasril (33) dengan Murniati (32) itu dimasukkan ke RSUD Pariaman, atas persetujuan dan saran dari Kepala Puskesmas Sikabu Lubuk Alung, Padang Pariaman, dr. Yuli Erwita.
    Malang bagi Murniati, sang ibu kandung Arindu, dia tak punya yang namanya Jamkesmas dan Jamkesda, sebagai prasyarat oleh pihak rumah sakit dalam menanganinya, lantaran berasal dari keluarga miskin. Suaminya, Dasril hanya sebagai petani kampung yang tak punya banyak pitih untuk biaya pengobatan anaknya tersebut. Namun, bidan di kampungnya terus mendesak, agar dilakukan perawatan intensif untuk kesembuhannya.
    Kini, sudah hampir satu pekan Murniati tidur dan tergeletak di RSUD Pariaman bersama anak kecilnya itu. Sedangkan suaminya, Dasril terpaksa harus bolak-balik dari rumahnya, Padang Baru, Koto Buruak, Lubuk Alung ke Pariaman demi kesembuhan sibuah hati nan di cintainya. "Alah duo tabuang habisnya oksigen pak. Alhamdulillah, lai ada perubahannya, kata dokter. Dia harus memakai oksigen terus," kata Murniati.
    Rabu kemarin, Camat dan Walinagari Lubuk Alung, Azminur dan Harry Subrata bersama anggota DPRD Sumatra Barat, Sitti Izzati Azis, Ketua Golkar Lubuk Alung, Takarijon dan Burhanuddin, salah seorang tokoh masyarakat mendatangi RSUD Pariaman, melihat langsung kondisi warganya yang mengalami gizi buruk demikian.
    Sitti Izzati Azis minta dan mohon kepada pihak RSUD untuk menangani masyarakat di daerah pemilihannya itu, agar bisa cempat sembuh seperti sediakala. "Kepada Walinagari Harry Subrata, tolong buatkan surat keterangan miskin dan proposal sekalian. Sebab, ada bantuan dari Badan Amil Zakat (BAZ) Provinsi Sumatra Barat yang akan membantu biaya pengobatan Arindu," kata Sitti.
    Direktur RSUD Pariaman, dr. Lila Yanuwar berjanji akan menangani anak tersebut dengan sebaik-baiknya. "Insya Allah, selama anak ini berada disini akan ditangani dengan baik. Namun, tentu perlu kepastian biaya dari pemerintah, dikarenakan yang bersangkutan tak punya Jamkesmas dan Jamkesda, selaku keluarga miskin dan kurang mampu," kata dia.
    Camat Azminur yang terkenal cepat tanggap, langsung memberikan respon positif terhadap hal itu. Bersama Walinagari Harry Subrata dia segera membuat surat, seperti yang di sarankan anggota dewan terhormat itu. Sebab, anggota dewan itu berjanji akan memastikan adanya bantuan dari BAZ provinsi, lantaran sudah mengontak pengurus BAZ demikian.
    "Persoalan besar dan berat seperti ini, kalau di persamakan, akan ada hasilnya. Disinilah nilai-nilai kebersamaan dan kepedulian kita bersama, terhadap penderitaan anak miskin. Walau bagaimanapun, Arindu harus diselamatkan dari penyakit tersebut," kata dia.
    Baik Camat Azminur, Walinagari Harry Subrata dan Sitti Izzati Azis, dalam menjenguk itu sedikit memberikan bantuan uang ala kadarnya, sembari memberikan semangat kepada Murniati, sang ibu Arindu, agar kuat dan tabah dalam menerima cobaan demikian. Tuhan punya cara sendiri dalam memberikan ujian kepada hambaNya. (damanhuri)

Selasa, 18 Desember 2012

Tiga Tahun tak Sembuh, Anggra Digadaikan Orangtuanya

Tiga Tahun tak Sembuh, Anggra Digadaikan Orangtuanya

Lubuk Alung---Sewaktu lahir namanya Delon. Lantaran tak henti-hentinya sakit, digantilah namanya menjadi Anggra. Itulah yang dilakukan pasangan Elfina dan Fitri Yuliani, terhadap anak pertamanya itu. Bahkan, anaknya tersebut sudah digadaikan pula kepada orang lain. Sebab, menurut kepercayaan orang kampung, kalau anak sakit-sakit terus rancak digadaikan ke orang lain, tetapi tetap orangtuanya yang mengasuh.
    Menurut dokter, Anggra ini mengalami penyakit asma. Tersumbat saluran pernafasannya. Ketika datang musim batuk, anak yang telah berusia 3,3 tahun ini tak pandai mengeluarkan dahak dalam kerongkongannya. Sampai saat ini banyak sudah dahak yang terkurung dalam badannya yang tak mau keluar.
    Fitri Yuliani menyebutkan keluh-kesahnya dalam menangani anaknya itu. "Waktu lahir tiga tahun yang silam beratnya hanya 1,8 kilogram. Sering diobat, tak tanda-tanda sehat belum tampak. Ketika musim hujan saat ini, adalah puncak dari penyakitnya kambuh. Sangat susah dia bernafas, dan disuapin obat apalagi," ceritanya.
    Pasangan keluarga kecil yang masih mendiami rumah orangtuanya di Padang Baru, Korong Koto Buruak, Lubuk Alung, Padang Pariaman ini mulai dirasuki oleh rasa malu dan rendah diri, lantaran sewaktu ikut imunisasi banyak teman sebayanya yang mencemeehkan penyakit yang diderita oleh anaknya tersebut.
    Badan Anggra bertambah kecil. Banyak tulangnya yang tersusun dengan rapi. Sedangkan kepalanya semakin membesar. Karena keluarga ini berasal dari rumah tangga miskin, tak ada jalan lain yang ditemuinya agar bisa keluar dari kesulitan yang amat sangat itu. Obat yang dibelinya melalui bidan desa yang ada di kampung itu, sangat susah pula untuk dihabiskan, lantaran orangtua merasa iba untuk memaksa sang anak memakan obat.
    Kepada pasangan keluarga ini, bidan menyarankan agar anak tidak dibiarkan mandi air hujan, makan es, makan nasi sipulut. Sebab, hal demikian akan sangat berdampak pada penyakit yang dideritanya. Keluarga kecil yang tinggal dirumah orangnya yang baru siap dibangun, lantaran sehabis menerima ganti rugi tanah rumah lamanya yang terkena pembangunan jalan lingkar Lubuk Alung, hanya bisa pasrah dan sedih ketika melihat parasaian yang ditanggung oleh anak segitu umurnya.
    Walinagari Lubuk Alung, Harry Subrata bersama Ketua PK Golkar setempat, Takarijon yang datang kerumah itu, Minggu (16/12) mengingatkan agar jangan terlalu didengarkan ocehan orang lain. "Yang penting bagaimana anak ini bisa sehat dan selamat dari penyakit. Teruslah berobat. Datanglah ke imunisasi kapan waktunya tiba," saran Harry Subrata, seraya menyerahkan sedikit uang buat berobat. (damanhuri)

Minggu, 16 Desember 2012

Derita si Miskin di Pondok Tirih

Derita si Miskin di Pondok Tirih

Lubuk Alung---Kaum tak berpunya tak akan lepas dari derita. Nestapa hanya bisa diratapi. Entah kapan nasib itu akan berubah. Orang miskin, terkadang hanya bisa berkeluh-kesah.
    Dari sebuah pondok tirih di Lubuk Alung, ada pasangan keluarga yang butuh uluran tangan dermawan. Anak mereka sakit-sakitan dan mereka tak punya biaya mengobati.
    Sejak berusia enam bulan hingga kini sudah berumur 3,5 tahun, Arif Mustafa terus mengalami penyakit. Awalnya step atau panas yang sangat tinggi. Kadang-kadang dingin menggigil, hingga bibirnya sampai menghitam. Penyakit yang diderita oleh anak ke-3 pasangan Yenti Murni dan Musliadi ini, bagaikan kurang gizi saja.
    Bayangkan saja, pada usianya yang menajak hampir empat tahun, berat badannya hanya 10,3 kilogram. Seharusnya, menurut kader Posyandu anak itu sudah mencapai beratnya 15 kilogram. Bagi sang ibu tetap berupaya bagaimana anak laki-lakinya itu bisa sembuh, seperti layaknya anak-anak kampung yang sehat lainnya.
    Minggu kemarin Singgalang bersama Walinagari Lubuk Alung, Harry Subrata dan Ketua PK Golkar, Takarijon serta ditemani oleh petugas Posyandu dan pemuda mendatangi Jorong Padang Baru, Koto Buruak Lubuk Alung, tempat dimana pasangan keluarga miskin itu tinggal.
    Yenti Murni yang asik melakukan kegiatannya membordir mukena milik orang lain merasa terkejut, dan tersanjung sekali rumahnya yang terbuat dari kayu dan beratapkan rumbia yang sudah mulai tiris itu didatangi sang pemimpin pilihan masyarakat. Dia menceritakan beban berat yang ditanggung keluarganya, terutama anak yang nomor tiga yang sangat susah makan dalam kesehariannya.
    "Paling banyak itu hanya makan roti. Makan nasi susah. Beberapa hari yang lalu badannya sempat mengecil. Tapi kini, karena rutinitas berobat badannya kembali timbul. Selalu dibawa berobat ke bidan desa yang ada di Padang Baru, dan ikut pula imunisasi setiap pekannya," ceritanya.
    Suaminya Musliadi sedang tidak berada di rumah. Dia seorang petani kampung. Karena ada orang yang mempunyai tanah pusako yang luas merasa iba melihat keluarganya itu, maka tinggallah keluarga Musliadi dan Yenti Murni dalam sebuah pondok, kepunyaan pemilik tanah yang sangat sederhana sekali bersama tiga putra-putrinya.
    Sambil menjadi ibu rumah tangga yang baik, Yenti juga bekerja dalam rumahnya, menerima upahan bordir mukena. "Sejak anak yang kecil ini sakit-sakitan, hanya mampu sehelai mukena selesainya sehari. Dengan ini, ambo diberi upah Rp20 ribu. Itulah kerja sambilan, disamping mengharap jerih payah suaminya yang bekerja sebagai buruh tani di ladang orang," ungkapnya.
    Walinagari Harry Subrata merasa terenyuh melihat keluarga itu. Sambil memberikan bantuan ala kadarnya, walinagari mengingatkan Yenti untuk tidak berputus asa dari penderitaan itu. "Yang penting raji berobat. Turuti apa saran orang kesehatan. Semoga bisa sembuh kembali," katanya. (damanhuri)

Sabtu, 15 Desember 2012

Tambua Tassa di MTsN Tawalib, Menggerakan Kesenian yang Hampir Punah

Tambua Tassa di MTsN Tawalib, Menggerakan Kesenian yang Hampir Punah

Pariaman---Gandang tambua tassa adalah suatu kesenian tradisional asal Pariaman. Alat musik perkusi yang dipukul terdiri dari enam buah tambua dan sebuah tassanya. Dimainkan oleh tujuh orang. Kesenian ini sangat diminati dan di budayakan oleh anak nagari di Pariaman sejak saisuak. Bahkan, kesenian itu telah mengakar kuat, sehingga menjadi acara rutin bagi anak nagari.
    Menurut sejarah, tambua ini berasal dari bagian kayu yang tersisa sewaktu pembuatan kapal Nabi Nuh AS di tanah Arab, yang kemudian dibawa oleh laut ke pantai Sumatra Barat, Pariaman. Pada masa sekarang gandang tambua tassa digunakan untuk maarak anak daro jo marapulai (pasangan pengantin baru), memeriahkan acara, khatam Quran, menanti tamu agung yang datang ke Pariaman, dan kadang-kadang digabungkan dengan silek galombang, dan lain sebagainya.
    Banyak masyarakat mengenal kesenian musik gandang tambua tassa ini sebagai prosesi tabuik. Dengarlah ketika musim batabuik di Piaman, yang namanya gandang tambua tassa tak boleh tidak adanya. Ada tiga prosesi yang harus dilakukan dalam prosesi tabuik, sambil membunyikan gandang tambua tassa; maambiak tanah, dan manabang batang pisang, serta puncak hoyak tabuik itu sendiri.
    Di MTsN Tawalib Padusunan, Pariaman gandang tambua tassa di jadikan sebagai kurikulum pengembangan diri yang diajarkan setiap hari Sabtu. Menurut Emma Marni, sang Kepala sekolah itu ada 13 program pengembangan diri yang diajarkannya. Salah satunya gandang tambua tassa, sebagai kesenian asli daerah Pariaman ini.
    "Kita merasa perlu untuk melestarikannya melalui kurikulum pengembangan diri. Tim gandang tassa MTsN Tawalib beberapa waktu lalu memperoleh juara dua pada festival gandang tassa se Kota Pariaman untuk tingkat SLTP. Buah manis dari kerja keras ini merupakan suatu kebanggan bagi sekolah dan akan terus dikembangkan. Kesenian itu sendiri dikembangkan oleh Ratna Wilis, yang bertindak sebagai guru pembinanya," cerita dia.
    Pihaknya ingin, kesenian gandang tambua tassa yang sudah mulai hampir punah itu kembali di gerakan dikalangan pelajar sekolah tersebut. "Dengan program pengembangan diri lewat kesenian dimaksud, kita ingin menjadikan sekolah yang punya sejarah panjang ini mampu menjadi barometer dalam menumbuh-kembangkan kebudayaan yang punya sakral yang kuat itu," ungkapnya.
    Ratna Wilis sendiri menilai anak asuhannya yang notabene anak rang Piaman sangat antusias untuk belajar dan membudidayakan gandang tassa ini sebagai pengembangan dirinya. Tim terus membina dan melestarikan gandang tasa ini sebagai tanggungjawab moral dalam melestarikan kebudayaan Minangkabau, khususnya gandang tassa demikian.
    "Jenis bunyi gandang tassa berbeda-beda. Ada jenis pukulan gandang perang, dengan pukulan bertalu-talu serupa dengan bunyi sekelompok kuda yang sedang berlari. Ada pula pukulan gandang tassa secara bersedih, dan beberapa jenis pukulan lainnya. Gandang tassa ini berfungsi penyemangat anak nagari Pariaman, dan menjadi unsur utama dalam pelaksanaan pesta budaya tabuik," katanya.
    Dia melihat, sebagai pemanggil orang, gandang tassa membangkitkan semangat penabuh dan orang yang mendengarkannya. Bahkan saking semangatnya, penabuh gandang tassa bisa seperti orang yang kerasukan saat menabuh alat yang terbuat dari kulit ternak tersebut. Disetiap iven yang diadakan dan diikuti Kemenag Kota Pariaman, gandang tassa MTsN Tawalib selalu turut-serta memeriahkan dan mengobarkan semangat.
    Menurutnya, saat perkemahan pramuka santri nusantara tingkat Kota Pariaman di bumi perkemahan Cubadak Mentawai pertengahan Juni lalu, tingkat Provinsi Sumatra Barat di bumi perkemahan Darul Ikhlas, Tanah Datar awal Agustus lalu, gandang tassa MTsN Tawalib juga ikut andil. Kemudian memeriahkan pembukaan mufakat tingkat Sumbar di asrama haji Tabing Padang, tentunya kehadiran gandang tassa memberi semangat juang yang tinggi bagi khafilah atau kontingen dari Kota Pariaman itu sendiri dalam berbagai ajang yang di adakan dan diikutinya. (damanhuri)

Senin, 10 Desember 2012

Ziarah, Tradisi NU yang Mesti Dimasyarakatkan

Ziarah, Tradisi NU yang Mesti Dimasyarakatkan

Jawa Timur---Dari 15 hingga 19 Mei 2012, kami (H. Febby Datuak Bangso Nan Putiah, H. Aminullah dan Damanhuri) melakukan rangkaian ziarah ke Jawa Timur dan Jakarta. Ziarah yang merupakan tradisi warga NU selama ini harus dimasyarakatkan, karena disamping mengingatkan kita akan kematian, juga mengenang serta belajar dari perjuangan yang dilakukan oleh ulama dan tokoh yang diziarahi itu. Kami mulai ziarah di makam Sunan Ampel, Surabaya. Tokoh yang dikenal sebagai salah seorang dari Walisongo atau wali sembilan itu cukup memberi sebuah inspirasi tersendiri.
    Siapa Sunan Ampel? Masa kecilnya bernama Raden Rahmat. Diperkirakan dia lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan, Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orangtua Sunan Ampel adalah Makhdum Ibrahim (menantu Sultan Champa dan ipar Dwarawati). Dalam catatan Kronik China dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa (suku Hui beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Pimpinan Komunitas China di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu - menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit. Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten China di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai kapten China di Jiaotung (Bangil).
    Sementara itu seorang putri dari Kyai Bantong (versi Babad Tanah Jawi) alias Syaikh Bantong (alias Tan Go Hwat menurut Purwaka Caruban Nagari) menikah dengan Prabu Brawijaya V (alias Bhre Kertabhumi) kemudian melahirkan Raden Fatah. Namun tidak diketahui apakah ada hubungan antara Ma Hong Fu dengan Kyai Bantong. Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Ampel disebut Sayyid Rahmad merupakan keponakan dari Putri Champa permaisuri Prabu Brawijaya yang merupakan seorang muslimah. Raden Rahmat dan Raden Santri adalah anak Makhdum Ibrahim (putra Haji Bong Tak Keng), keturunan suku Hui dari Yunnan yang merupakan percampuran bangsa Han/Tionghoa dengan bangsa Asia Tengah (Samarkand). Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh/Abu Hurairah (cucu raja Champa) pergi ke Majapahit mengunjungi bibi mereka bernama Dwarawati puteri raja Champa yang menjadi permaisuri raja Brawijaya. Raja Champa saat itu merupakan seorang muallaf. Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh akhirnya tidak kembali ke negerinya karena Kerajaan Champa dihancurkan oleh Kerajaan Veit Nam.
    Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (= Hikayat Banjar resensi I), nama asli Sunan Ampel adalah Raja Bungsu, anak Sultan Pasai. Beliau datang ke Majapahit menyusul/menengok kakaknya yang diambil istri oleh Raja Majapahit, yang saat itu bernama Dipati Hangrok dengan mangkubuminya Patih Maudara (kelak Brawijaya VII). Dipati Hangrok (alias Girindrawardhana alias Brawijaya VI) telah memerintahkan menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan membawa sepuluh buah perahu ke Pasai. Sebagai kerajaan Islam, mulanya Sultan Pasai keberatan jika putrinya dijadikan istri Raja Majapahit. Tetapi karena takut binasa kerajaannya akhirnya Putri tersebut diberikan juga. Putri Pasai dengan Raja Majapahit memperoleh anak laki-laki. Karena rasa sayangnya Putri Pasai melarang Raja Bungsu pulang ke Pasai.
    Sebagai ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu kemudian meminta tanah untuk menetap di wilayah pesisir yang dinamakan Ampelgading. Anak laki-laki dari Putri Pasai dengan raja Majapahit tersebut kemudian dinikahkan dengan puteri raja Bali. Putra dari Putri Pasai tersebut wafat ketika istrinya Putri dari raja Bali mengandung tiga bulan. Karena dianggap akan membawa celaka bagi negeri tersebut, maka ketika lahir bayi ini (cucu Putri Pasai dan Brawijaya VI) dihanyutkan ke laut, tetapi kemudian dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak disebut Pangeran Giri. Ketika terjadi huru-hara di ibukota Majapahit, Putri Pasai pergi ke tempat adiknya Raja Bungsu di Ampelgading.
    Penduduk desa-desa sekitar memohon untuk dapat masuk Islam kepada Raja Bungsu, tetapi Raja Bungsu sendiri merasa perlu meminta izin terlebih dahulu kepada Raja Majapahit tentang proses Islamisasi tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan memperbolehkan penduduk untuk beralih kepada agama Islam. Petinggi daerah Jipang menurut aturan dari Raja Majapahit secara rutin menyerahkan hasil bumi kepada Raja Bungsu. Petinggi Jipang dan keluarga masuk Islam. Raja Bungsu beristrikan puteri dari petinggi daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh dua orang anak, yang tertua seorang perempuan diambil sebagai istri oleh Sunan Kudus (tepatnya Sunan Kudus senior/Undung/Ngudung), sedang yang laki-laki digelari sebagai Pangeran Bonang. Raja Bungsu sendiri disebut sebagai Pangeran Makhdum.
    Sunan Ampel datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai empat orang anak; Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Syarifah, yang merupakan istri dari Sunan Kudus. Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Masjid Agung Demak. Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
    Dari Sunan Ampel, kami bertolak ke Bangkalan, Madura. Tepatnya ke makam KH. Muhammad Kholil Bangkalan. Kiai yang satu ini dikenal sebagai inspirator berdirinya organisasi besar Nahdlatul Ulama. Banyak sejarah mencatat, bahwa sebelum KH. Muhammad Hasyim Asy'ari bersama ulama lainnya mendirikan organisasi demikian, datanglah untusan Kiai Kholil ke Jombang untuk menyerahkan sebuah tongkat dan tasbih. Bahkan, utusan itu dua kali datang ke Jombang untuk menyerahkan kiriman Kiai Kholil ke KH. Hasyim. Nah, kiriman itu dinilai oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagai isyarat penyetujuan gurunya tentang sebuah keinginan bersama mendirikan NU, yang kelak menjadi organisasi terbesar didunia ini.     Menurut Saiful Rachman dalam bukunya; 'Surat Kepada Anjing Hitam, Biografi dan Karomah Kiai Kholil Bangkalan', KH. Muhammad Kholil Bangkalan adalah seorang ulama sekaligus waliyullah. Lahir bernama Muhammad Kholil. Kota Bangkalan tempat kelahirannya, kemudian dinisbahkan kepada namanya dan akhirnya dikenal dengan nama Muhammad Kholil Bangkalan.
    Dari sudut manapun, kehidupannya sangat menarik untuk dibicarakan. Legenda tentang perilakunya yang penuh keajaiban banyak sekali. Kehidupannya sangat unik. Kiai Kholil dikenal sebagai mubaligh, pimpinan pesantren, pencetak kader ulama terkemuka di Jawa dan Madura, juga menjalani kehidupan sufi dan Mursyid Thariqat. Disamping itu, Kiai Kholil adalah inspirator berdirinya NU. Beliau lahir pada 11 Jumadil Akhir 1235 H bertepatan dengan 14 Maret 1820 M, dari KH. Abdul Latif, seorang ulama besar keturunan Sunan Gunung Jati. Sebagai seorang ulama sufi, Kiai Kholil dikenal banyak karomah, sehingga sampai saat ini makamnya selalu ramai dikunjungi masyarakat.
    Kami berzikir, menghadiahkan fatihah sebagaimana layaknya orang ziarah di makamnya. Memang waktu kami datang, makam Kiai Kholil yang terletak dikomplek masjid itu sedang ramai dikunjungi oleh banyak orang. Hari sore ditengah hujan yang cukup lebat, kami merapat diantara puluhan peziarah lainnya, bersama membaca wirit-wirid ziarah. Dari Madura, kami melanjutkan perjalanan ke Blitar, setelah sebelumnya bertemu dengan Menteri PDT RI, Helmy Faishal Zain. Perjalanan dari Surabaya ke Blitar kami tempuh dimalam hari, dan akhirnya istrirahat di salah satu hotel di Blitar. Paginya, kami langsung ke makam Bung Karno. Ternyata kesempatannya juga sama. Kami juga dapat menempati tempat yang agak didepan dari kerumunan peziarah yang semakin ramai berdatangan dari berbagai pelosok Jawa Timur itu. Terlihat sekali banyak orang yang datang dan berziarah ke makam sang Proklamator dan Presiden RI pertama tersebut. Sebab, disamping hal demkikian, Bung Karno juga dikenal sebagai salah seorang tokoh Islam yang paling berpengaruh di Indonesia. Seperti ditulis oleh Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza, dalam bukunya; '100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia disebutkan, Bung Karno yang lahir pada 1901 M di Blitar itu adalah keturunan dari Raden Hardjodikromo, seorang bangsawan Jawa yang dikenal dengan Priyayi. Ada hal yang paling menarik pada Bung Karno. Dia selalu pakai peci hitam, yang saat itu bila ada orang Indonesia lainnya berada di Makkah pakai peci, selalu digelari sebagai Soekarno. Inilah ciri Islam kuat yang dipegangi oleh bapak bangsa itu. NU pernah memberikan gelar kepada Soekarno; 'Waliyyul amri dharuri bissaukah', karena diangap telah melindungi dan memberi kebebasan kepada umat Islam Indonesia untuk melaksanakan ajaran agamanya. Sementara, Muhammadiyah memberikan gelar Doktor Honoris Causa. Bung Karno (1901-1970) jelas figur yang bersejarah. Dia telah meninggalkan pengaruh yang sangat luar biasa. Diantara peninggalannya, kesadaran kebangsaan kita, perasaan dan kesadaran ke-Indonesiaan kita, kesadaran kita sebagai bangsa yang tidak menjiplak begitu saja dari dunia luar, melainkan menggelutinya secara kritis dan menjadikannya sebagai bahan untuk pengembangan Indonesia.
    Selesai di Blitar kami menuju daerah Jombang. Ya, siapa lagi, kalau bukan makam ulama besar dan pahlawan nasional; KH. Muhammad Hasyim Asy'ari, KH. Abdul Wahid Hasim dan KH. Abdurrahman Wahid (1940-2009). Kami tiba di makam yang terletak di komplek Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang itu pas waktu shalat Zuhur masuk. Ratusan peziarah keluar dan masuk secara bergantian. Mereka datang dari jauh. Laki-laki dan perempuan. Ada juga kelompok santri dari pesantren lain. Namun, dengan mudahnya kami bisa masuk dan duduk pada barisan pertama. Melakukan rangkaian ziarah. Menurut informasi yang kami peroleh, ternyata makam Bani Hasyim itu tak pernah sepi dari peziarah. Setiap hari ada saja orang yang datang ziarah ke makam demikian. Sebagai orang besar, pendiri NU, makam ulama itu tampak biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Berada dibagian belakang masjid. Tidak diatap. Hanya berada diruang terbuka. Diatas pusara KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Wahid Hasyim sengaja dipancangkan sangsaka merah putih, menandakan kedua ulama yang merupakan anak dan bapak itu seorang pahlawan nasional. Seperti banyak ditulis dalam sejarah, KH. Hasyim Asy'ari adalah kiblat ulama Jawa dan Madura. Dia tokoh inspirator bagi Bung Tomo dan Jenderal Soedirman. Setiap kali pergerakan dan pertempuran, Bung Tomo dan Jenderal Soedirman selalu mengirim utusannya ke Jombang, minta agar kiai Hasyim terus berdoa. Terutama ketika perperangan pasca diproklamirkannya kemerdekaan RI 1945. Bahkan, sebelum teks proklamasi dibacakan oleh duet Bung Karno dan Bung Hatta, Soekarno sempat menanyakan Kiai Hasyim, karena Bung Karno ingin membacakan proklamasi itu setelah restu Kiai Hasyim. Selama hidupnya, banyak rintangan dan tantangan yang dihadapinya. Mulai dari ketika lahir, kanak-kanak, remaja, hingga akhir hayatnya. Namun itu semua dilaluinya dengan penuh syukur dan doa kepada Tuhan.
    Anaknya, Wahid Hasyim dikenal sebagai salah seorang anggota BUPKI dan PPKI. Menteri Agama. Dalam usianya yang masih muda, dia telah mengemban pekerjaan besar. Beliau meninggal dalam kecelakaan dan dimakamkan dekat makam ayahnya; Hasyim Asy'ari di Jombang. Anak Wahid Hasyim yang tak kalah hebatnya, Abdurrahman Wahid. Kiai yang dikenal penuh dengan kontroversi ini sempat 15 tahun memimpin PBNU, salah seorang deklator PKB dan Presiden RI ke-4. Beliau meninggal akhir 2009. Bersama kakek dan ayahnya, Gus Dur, begitu dia sering disapa rekan sejawatnya dimakamkan juga di Tebuireng. Lama juga kami di Tebuireng. Yang jelas, sebagai orang yang kini dipercaya untuk memimpin PKB Sumatra Barat, tentu ziarah ke Jombang sangat besar artinya. Apalagi NU mengajarkan, bahwa kurnia itu datangnya dari Allah, syafaat dari Nabi dan berkah dari guru. Baik Hasyim Asy'ari, Wahid Hasyim maupun Gus Dur adalah guru bangsa, sekaligus Maha Guru PKB itu sendiri. Kami telah melihat dan datang langsung dikampung yang selama ini hanya kenal lewat buku. Kami merasakan, betapa pertautan NU dan PKB sebagai sebuah kekuatan besar yang sangat dahsyat. Tentunya perjalanan ini diharapkan mampu memberikan yang terbaik, terumata dalam melihat arti penting kebesaran NU dan PKB di Ranah Minang nantinya.
    Dari Tebuireng, kami melanjutkan perjalanan ke Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif di Denanyar, Jombang. Pesantren itu didirikan oleh KH. Bisri Syansuri. Kami kesitu sowan dan bersilaturrahim dengan Ketua Umum DPP PKB, H. A. Muhaimin Iskandar, yang kebetulan pada kesempatan itu sedang pulang kampung. KH. Bisri Syansuri adalah kakeknya Muhaimin Iskandar. Rumah orangtuanya berada di komplek pesantren demkikian. Lagi-lagi kesempatan emas yang kami dapatkan. Waktu kami datang, di pesantren itu sedang diadakan seminar pra HAUL KH. Bisri Syansuri yang ke-33, yang kebetulan pematerinya; Muhaimin Iskandar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI dan Helmy Faishal, Menteri PDT RI. Ada satu hal yang kami catat dari kebiasaan Ketua Umum PKB itu, yang selalu memberikan uang ala kadarnya kepada tukang becak disekeliling Denanyar. Kabarnya, kata salah seorang tukang becak, hal yang seperti itu selalu dia terima pada waktu Muhaimin pulang kerumah orangtuanya, sejak Muhaimin berada di Jakarta. Senang benarlah hati tukang becak itu menerima uang dari Menteri. "Ibu, ini Ketua PKB saya di Sumatra Barat. Febby namanya," kata Muhaimin memperkenalkan H. Febby Datuak Bangso Nan Putiah kepada orangtunya. Setelah itu kami disuruh ikut oleh Ketua Umum kekampung sebelah, karena dia diminta meresmikan keberadaan Kantor LP. Ma'arif NU Cabang Jombang.
    Sorenya, Kamis itu kami sowan ke KH. Abdul Aziz Manshur di Pondok Pesantren Tarbiyatun Nasyi'in, di Pacul Gowang, Jombang. Kami tiba dikediamannya saat Ketua Dewan Syura DPP PKB itu tengah shalat Ashar. Kami disuruh menunggu diruangan tamu oleh pembantunya. Kami berbincang-bincang, memperkenalkan diri. Kiai paham dan merasa senang dikunjungi. Kiai Aziz turut mendoakan kami. Ikut berharap banyak, PKB Sumatra Barat bisa besar, seperti halnya PKB Jawa Timur juga. Saran Kiai Aziz, kami disuruh mengamalkan surat Alam Nasrah satu kali sehabis shalat Subuh. "Insya Allah, kalau surat itu diamalkan, semua permintaan kita akan dikabulkan Tuhan. Semua kesulitan kita akan dimudahkan-Nya," kata Kiai Aziz kepada kami. Menjelang Magrib, kami meninggalkan kediaman dan pesantren Kiai Aziz. Kamipun mengakhiri rangkaian ziarah di Jawa Timur untuk saat itu. Malamnya kami terbang ke Jakarta dengan Lion Air. Dan pagi Jumat, kami menuju Tanah Kusir, dimana Bung Hatta dimakamkan, sebagai penutup dari rangkaian ziarah di pulau Jawa.
    Selaku anak muda NU, kami ingin belajar dari sejarah. Ya, sejarah bangsa, sejarah NU dan PKB yang secara kebetulan untuk Sumatra Barat kami tengah menjalankan roda partai itu. Karena banyak orang sukses lantaran mau belajar dari sejarah masa lalu itu sendiri. Dan lagi ziarah dan budaya silaturrahim harus ditumbuh-kembangkan ditengah masyarakat. Apalagi orang yang kami kunjungi adalah orang-orang besar di zamannya. Paling tidak, kami telah melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang dulu, tentang arti penting sebuah ziarah kubur. Dimakam ulama terkenal itu kami menampungkan telapak tangan, berdoa kepada Yang Maha Kuasa, melalui kemulyaan hamba-Nya yang dimakam ditempat itu, agar kami diberi kekuatan dan kemampuan dalam memimpin dan mengelola organisasi besar didaerah yang bukan basisnya. Kami punya harapan yang sangat besar, ditengah masa transisi PKB yang masih belum selesai. Kami mengambil nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan para ulama dan tokoh bangsa itu. Bung Karno, Gus Dur, Hasyim Asy'ari, Wahid Hasyim, Kiai Kholil, Bung Hatta, Sunan Ampel adalah orang-orang hebat di zamanya. Mereka telah membuat perubahan yang cukup signifikan, dan dirasakan oleh masyarakat republik ini hingga kini hari. Berkah-nya itulah yang kami ziarahi.        

Kamis, 06 Desember 2012

Sari Bulan Lima Tahun Bergelut Dengan Tumor Ganas

Sari Bulan Lima Tahun Bergelut Dengan Tumor Ganas

Lubuk Alung---Sari Bulan (65) tak kemana lagi untuk batenggang. Sudah habis binatang ternaknya dijual untuk mengobati tumor ganas yang menyerang wajahnya sejak lima tahun yang silam, namun penyakit itu tak juga kunjung sembuh. Kini, ibu tua dengan sembilan orang putra-putri itu hanya bisa pasrah, sambil menahan sakitnya ketika bernafas dan sesekali juga terjadi pening.
    Suaminya, Angah Reli (67) tak dapat pula berbuat banyak. Disamping sebagai garin di Masjid Istiqamah, Angah Reli hanya petani biasa. Dengan kondisi umur yang semakin tua, tentu tidak banyak pula kekuatannya untuk turun ke sawah dan keladang.
    "Kadang-kadang ada kiriman uang dari anak yang tinggal di rantau. Tetapi itu tak banyak. Maklum, anak ambo yang dirantau hanya jadi anak buah orang lain. Sedangkan anak yang dikampung, hidup saja dia sudah syukur. Dan anak yang masih sekolah ini terpaksalah pergi belajar dengan apa adanya saja," cerita Anduang Bulan, sapaan orang kampung kepada Sari Bulan dalam kesehariannya sambil iba hati.
    Sari Bulan yang warga Korong Rawang, Nagari Aie Tajun Lubuk Alung, Padang Pariaman itu banyak menghabiskan waktunya di rumah yang sangat tidak memadai pula. Berkali-kali dia mendatangi rumah sakit di Pariaman, dan bahkan ke Kota Padang untuk berobat. Dokter menyarankan kepadanya untuk beroperasi. Namun, apa hendak dikata, pitih dia yang tidak cukup untuk biaya operasi yang mencapai jutaan rupiah tersebut.
    Baginya, uang untuk operasi tersebut sangat terbilang besar. Saking seringnya dia kerumah sakit, terjual pula seekor kerbaunya untuk biaya demikian. "Kini dimana tibanya saja lagi nak. Kalau untuk berobat ke medis, rasanya tak kuasa lagi membiayainya. Obat kampung nampaknya tidak juga mampan dalam menyembuhkan tumor ganas yang tumbuh sejak lima tahun belakangan itu," ungkapnya.
    Saat Singgalang bersama Walikorong Rawang, Yudianto dan Zulkifli, salah seorang pemuda setempat bertandang kerumahnya kemarin, tampak diraut wajahnya rasa pasrah yang begitu tinggi. Karena berbagai usaha sebatas kemampuannya sebagai keluarga miskin, telah dilakukannhya dalam upaya penyembuhan penyakit tersebut. Namun, nasib akan kesembuhan itu benar yang belum berpihak kepada dirinya.
    Ketika datang waktunya susah bernafas itu, dia merintih kesakitan. "Rasanya sudah mau meninggal saja awak ko. Kini, awak banyak berdoa saja lagi setiap kali selesai shalat lima waktu. Hanya Yang Maha Kuasa yang mampu menyembuhkan segala penyakit. Termasuk tumor ganas ini. Kita hanya berusaha sebatas kesanggupan yang diberikan-Nya pula," ungkapnya.
    Walikorong Rawang, Yudianto sangat mengharapkan uluran tangan berbagai pihak untuk kesembuhan warganya itu. Sebagai pemuka dan pemimpin masyarakat, Yudianto hanya bisa berharap dan bermohon pada banyak orang, agar Anduang Bulan bisa sembuh kembali, seperti sedia kala. (damanhuri)

Rabu, 05 Desember 2012

Bergelimang Gomok Demi Masa Depan

Bergelimang Gomok Demi Masa Depan

Lubuk Alung---Selama 10 hari belakangan, tangan Yopi Nanda Saputra (19) dan Wendi Rasihan Aulia bergelimang gomok. Mereka ditantang untuk merasakan kerasnya hidup. Anak nan jolong gadang yang selama ini hanya bergantung kepada kedua orangtuanya itu dengan telatennya mengikuti pentujuk dan pengetahuan perbengkelan yang diajarkan langsung oleh orang yang ahli dalam soal bengkel motor di Balah Hilia Utara, Lubuk Alung.
    Jumat kemarin mereka baru merasa lega, karena pelatihan itu telah berakhir. Namun demikian, mereka bertekad untuk menjadikan kepandaiannya itu sebagai modal dasar dalam mengarungi kehidupan masa depan yang lebih baik lagi. Apalagi, Yopi Nanda Saputra merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai tukang rumah. Dia hanya mampu di sekolahkan oleh kedua orangtuanya sampai SMP di Manggopoh, Lubuk Basung.
    Sedangkan Wendi Rasihan Aulia yang asli Balah Hilia Lubuk Alung selama ini bekerja serabutan. Karena di kampungnya banyak anak seusia dia yang bekerja di Sungai Batang Anai, mengeluarkan bahan galian, dia juga sempat kerja seperti itu. Namun, pria berusia 19 tahun itu tak tahan kerasnya hidup. Dia merasa senang sekali diberi kesempatan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (UPTD BPKB) Provinsi Sumatra Barat di Pariaman untuk ikut Pelatihan Kecakapan Hidup (PKH), khusus service sepeda motor demikian.
    "Alhamdulillah, selama 10 hari dilatih sudah bisa menangani sepeda motor yang rusak. Tentu yang ringan-ringannya. Dari awalnya tidak memiliki ketrampilan, kini kita sudah pandai seadanya. Tinggal lagi peningkatannya, karena saat ini motor canggih semakin banyak beredar ditengah masyarakat," cerita mereka.
    Mereka itu adalah dua dari 20 orang peserta yang ikut PKH tersebut. Dan insya Allah juga mendapat kesempatan langsung manggang di bengkel DC II, tempat PKH itu diadakan, karena dinilai layak dan patut untuk mengembangkan dan melanjutkan ketrampilannya.
    Dodi Andrika, pimpinan DC II yang melatih mereka menilai kesungguhan peserta PKH cukup signipikan. "Dari sebanyak itu peserta, ada sekitar empat orang yang bisa dimagangkan langsung, yang selanjutnya mendalami ilmu service ini," ujarnya.
    Menurut Codoik, begitu Dodi Andrika sering disapa dalam kesehariannya, untuk kemapuan dasar semua peserta sudah oke. Nantinya, tinggal menambah pengetahuan soal motor jenis baru, seperti metix dan enjeksi, yang saat ini mulai marak dipakai banyak orang.
    Panitia kegiatan, Edwar bersama Koordinator Pamong Belajar BPKB, Bagindo Ruswan Tanjung menyebutkan, akan ada pelatihan lanjutan dibidang ini. "Kita ingin, anak-anak yang putus sekolah dan dari keluarga kurang mampu ini mampu memiliki ketrampilan yang cukup, sehingga mereka tidak lagi merasa rendah diri dalam persaingan hidup yang semakin ketat.
    "Dunia service sepeda motor zaman sekarang memang sangat dibutuhkan. Semua orang pakai kendaraan demikian. Sedangkan yang remaja yang pandai service itu tidak banyak. Ini tentunya sebuah kesempatan bagi mereka dalam menuju masa depan hidupnya kelak," ungkapnya. (damanhuri)